Eks Direktur Utama Perumda Pasar Jaya Arief Nasrudin saat acara sosialisasi larangan pengunaan kemasan plastik sekali pakai di pasar tradisional, yang dihadiri pejabat Pemprov DKI Jakarta (dok Pasar Jaya)
Jakarta, Pro Legal News - Pemilihan dan penunjukan PT MMS sebagai konsultan yang menangani sertifikasi hak pengelolaan lahan (HPL) Perumda Pasar Jaya berlangsung tidak wajar. Tim redaksi menemukan fakta, Perumda Pasar Jaya menggunakan metode penunjukan langsung dalam memilih PT MMS dan diwarnai proses akal-akalan.
Proses pemilihan penyedia jasa konsultan sertipikasi HPL di Perumda Pasar Jaya sarat penyimpangan. Pemilihan dilakukan oleh Kepala Divisi PPA pada Perumda Pasar Jaya. Kepala Divisi PPA Pasar Jaya mendapat rekomendasi Ar, seorang Tenaga Ahli Pratama di Badan Pengelolaan Aset Daerah (BPAD) Provinsi DKI Jakarta yang ditugasi mengikuti pensertipikatan HPL Perumda Pasar Jaya.
Hasil penelusuran Tim Pro Legal menunjukkan, atas rekomendasi itu kemudian Kadiv PPA Pasar Jaya menghubungi perempuan bernama Ir. Setelah itu, Ir menghubungi pihak PT MMS, sebuah perusahaan konsultan dan menjembataninya dengan pihak Perumda Pasar Jaya.
Didapat informasi, Direktur Keuangan dan Administrasi Perumda Pasar Jaya selaku Kuasa Pengguna Anggaran (KPA) dan Pejabat Pembuat Komitmen (PPK) bersama staf di Pengadaan dan Pengelolaan Aset (DPPA) menyusun Kerangka Acuan Kerja (KAK) dan Harga Perkiraan Sendiri (HPS). Mereka menetapkan HPS senilai Rp16.773.350.000 (termasuk PPN 10 persen). Disebutkan bahwa penyusunan HPS itu berdasarkan Pedoman Standard Minimal tahun 2018 yang diterbitkan Ikatan Konsultan Indonesia (Inkindo).
Pihak PT MMS mendapat pengarahan Ar dalam menyiapkan penawaran pekerjaan sebagai konsultan jasa sertipikasi tanah. Perusahaan itu mengajukan penawaran pekerjaan sertipikasi HPL 63 bidang lahan di lingkungan Perumda Pasar Jaya dengan nilai Rp 16,464 M. Sedikit lebih rendah dari HPS yang disusun pihak Pasar Jaya.
Sumber Pro Legal menjelaskan, Ar mengatur agar PT MMS lolos sebagai perusahaan jasa konsultan pemenang. Supaya rencana itu terlaksana, Ar meminta Direktur PT MMS mencari dua perusahaan selain PT MMS yng bersedia mengajukan penawaran pekerjaan jasa sertipikasi HPL di Perumda Pasar Jaya. Kedua perusahaan itu digunakan sebagai perusahaan pembanding.
Sumber Pro Legal menjelaskan, pihak direksi PT MMS menghubungi PT BMS dan PT BSM dan meminta kedua perusahaan itu membuat surat penawaran jasa sertipikasi HPL. Pimpinan kedua perusahaan itu diberitahu bahwa PT MMS sudah membuat penawaran di Perumda Pasar Jaya tentang pekerjaan jasa sertipikasi itu. Penawaran yang diajukan PT MMS tertanggal 5 Maret 2019, bernilai Rp16,464 milyar. Supaya PT MMS muncul sebagai pemenang jasa konsultansi pensertipikatan HPL di Perumda Pasar Jaya, maka nilai penawaran PT BMS dan PT BSM harus lebih tinggi.
Pihak PT tanggal 21 Maret 2019 mengajukan dokumen penawaran dan mencantumkan nilai Rp 17,36 M. Pada hari yang bersamaan, pihak PT BMS mengajukan dokumen penawaran jasa yang sama dengan nilai Rp18,14 milyar. Kedua perusahaan pembanding itu menawarkan harga yang lebih tinggi dari HPS. Berdasarkan pembandingan nilai yang ditawarkan, akirnya PT MMS.memenangkan pekerjaan jasa konsultasi yang ditawarkan.
Direksi Perumda Pasar Jaya kemudian menunjuk PT MMS dan membuat Perjanjian Jasa Konsultasi No 305/1.711 tertanggal 12 Juli 2019. Isinya menyebutkan PT MMS harus mengurus sertifikasi HPL atas nama ‘Pemprov DKI Jakarta’ terhadap 63 lahan yang dikelola Perumda Pasar Jaya. Nilai kontrak keseluruhan Rp 16,33 M, sudah termasuk pajak pertambahan nilai sebesar 10 persen.
Dalam perjanjian awal disepakati bahwa pekerjaan sertipikasi itu diselesaikan selama tujuh bulan, sampai 31 Desember 2019. Belakangan dibuat addendum No 1146/1.711 tertanggal 5 Desember 2019, isinya mengubah nama pada sertifikat HPL dari ‘Pemprov DKI Jakarta’ menjadi ‘Perumda Pasar Jaya’.
Entah apa alasannya, tepat pada Tahun Baru 1 Januari 2020, dibuat lagi addendum dengan nomor 1270/1.711, isinya memperpanjang jangka waktu kontrak yang semulai hanya sampai dengan 31 Desember 2019 menjadi 31 Agustus 2020. Ternyata pekerjaan itu tidak terselesaikan pada waktunya, sehingga dibuat addendum ketiga antara Perumda Pasar Jaya dengan PT MMS, bernomor 678/1.711 tertanggal 1 September 2020, isinya memperpanjang waktu kontrak setahun sampai dengan 31 Agustus 2021.
Sumber Pro Legal menyebutkan, sampai akhir Oktober 2020 setelah dibuat addendum yang ketiga, realisasi pembayaran kepada PT MMS baru senilai Rp 4.74 milyar. “Waktu itu sisa yang belum direalisasikan pembayarannya bernilai Rp11,6 milyar,” ujar sumber itu.
Tahap pertama pembayaran dilakukan dengan Surat Perintah Mengeluarkan Uang (SPMU) tertanggal 18 Juli 2019 senilai Rp 2,29 milyar. Disusul realisasi pembayaran tahap kedua dengan SPMU tertanggal 28 November 2019 senilai Rp 2,45 milyar. “Jadi waktu itu semuanya bernilai Rp 4,74 milyar,” ujar sumber Pro Legal yang lain.
Ternyata pihak PT MMS mencantumkan 17 tenaga ahli dalam kontrak. MW yang bertindak sebagai Team Leader dan Rn sebagai tenaga ahli, sejak awal pekerjaan sampai awal Oktober 2020 sama sekali tidak pernah hadir di Perumda Pasar Jaya. Sisa 15 yang disebut sebagai tenaga ahli, ternyata adalah orang-orang yang tidak memiliki sertifikat keahlian dan pengalaman dalam pengurusan sertifikat tanah.
Dari nilai Rp 4,74 milyar yang keluar dari kas Perum da Pasar Jaya, dipotong pajak penghasilan sehi ngga tersisa Rp 4,65 milyar yang ‘diterima’ oleh PT MMS. Dari jumlah itu, disetorkan ke Kas Negara oleh PT MMS sebagai pajak pertambahan nilai sebesar 10 persen senilai Rp 430,58 juta. Sisanya dibagi-bagi.
Pihak PT MMS kabarnya sesungguhnya hanya menerima Rp 507 juta. Kelompok Ir menerima Rp 300 juta. Sisanya yang bernilai sekitar Rp 3,41 milyar, ‘dikelola’ dan digunakan oleh Ar dan teman-temannya. Dari uang senilai Rp 4,65 yang ‘dibayarkan’ Perumda Pasar Jaya kepada pihak PT MMS, ternyata hanya Rp 1,1 M yang bisa dipertanggungjawabkan dengan bukti-bukti pengeluaran yang wajar dan sah. Tidak diperoleh bukti pengluaran yang sah dan wajar atas uang senilai Rp 3,55. “Pihak Perumda Pasar Jaya sudah tahu soal itu dan sudah melakukan verifikasi,” kata sumber Pro Legal.
Beberapa sumber Pro Legal menyebutkan, hasil audit atau verifikasi itu menunjukkan anggaran yang tidak dapat dipertanggungjawabkan dalam realisasi ‘pembayaran’ kepada PT MMS sampai akhir Oktober 2020 bernilai Rp 3,55 milyar. Redaksi sudah menanyakan secara resmi kepada pihak Direksi Perumda Pasar Jaya, namun sampai laporan ini diturunkan, belum diperoleh tanggapan.
Redaksi Pro Legal sudah mengirim surat konfirmasi minta penjelasan dari Direksi Perumda Pasar Jaya. Sampai berita ini diturunkan, belum ada tanggapan dari pihak Perumda Pasar Jaya. Tim