Mantan Menko Perekonomian Dorodjatun Kuntjoro Djakti Diperiksa KPK Kasus BLBI
Mantan Menteri Koordinator (Menko) Perekonomian, Dorodjatun Kuntjoro Djakti
Jakarta, Pro Legal News - Mantan Menteri Koordinator (Menko) Perekonomian, Dorodjatun Kuntjoro Djakti, diperiksa KPK kasus dugaan korupsi Surat Keterangan Lunas Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (SKL.BLBI). Statusnya sebagai saksi atas tersangka Sjamsul Nursalim.
Sebenarnya penyidik KPK memanggil Dorodjatun untuk dimintai keterangan pada Selasa (2/7). Namun Dorodjatun saat itu berhalangan hadir sehingga pemeriksaan dijadwal ulang pada Kamis (4/7).
KPK telah menetapkan Sjamsul Nursalim sebagai tersangka kasus dugaan korupsi terkait SKL BLBI ini bersama-sama dengan istrinya, Itjih Nursalim. Pasangan suami istri pengusaha kaya raya ini diduga melakukan tindakan yang merugikan negara triliunan rupiah.
Kasus itu dilakukan Syamsul dan istrinya bersama Syafruddin Arsyad Temenggung sebagai Ketua Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN) terkait BLBI.
Kasus BLBI bermula tahun 1998 ketika BPPN dan Sjamsul menandatangani penyelesaian pengambilalihan pengelolaan BDNI melalui Master Settlement Acquisition Agreement (MSAA). Dalam MSAA tersebut, disepakati BPPN mengambilalih pengelolaan BDNI dan Sjamsul sebagai pemegang saham pengendali sepenuhnya bertanggung jawab.
Dia diwajibkan menyelesaikan kewajibannya, baik secara tunai maupun berupa penyerahan aset. Jumlah kewajiban Sjamsul selaku pemegang saham pengendali (PSP) BDNI adalah Rp 47,258 triliun.
Kewajiban tersebut dikurangi aset sejumlah Rp 18,850 triliun, termasuk di antaranya pinjaman kepada petani/petambak sebesar Rp 4,8 triliun. Namun aset senilai Rp 4,8 triliun ini dipresentasikan Sjamsul seolah-olah sebagai piutang lancar dan tidak bermasalah.
Setelah dilakukan Financial Due Diligence (FDD) dan Legal Due Diligence (LDD), disimpulkan bahwa aset tersebut tergolong macet sehingga dipandang terjadi misrepresentasi. BPPN mewakili negara meminta Sjamsul mengganti kerugian itu, ditolak oleh Sjamsul.
Pada April 2004, saat BPPN dipimpin Syafruddin Arsyad Temenggung, dilakukan penandatanganan akta perjanjian penyelesaian akhir yang pokoknya berisi pemegang saham telah menyelesaikan seluruh kewajibannya. Padahal, dalam rapat kabinet terbatas Februari 2004, tak ada persetujuan terhadap usulan white off atau penghapusbukuan terhadap sisa utang petani tambak Rp 4,8 triliun itu.
BPPN kemudian menyerahkan pertanggungjawaban aset pada Kementerian Keuangan yang berisi hak tagih utang petambak PT DCD dan PT WM yang kemudian oleh Dirjen Anggaran Kemenkeu diserahkan kepada PT Perusahaan Pengelola Aset (PT PPA). Pada 24 Mei 2007, PPA melakukan penjualan hak tagih utang petambak plasma senilai Rp 220 miliar, padahal nilai kewajiban Sjamsul yang seharusnya diterima negara adalah Rp 4,8 triliun. Tim