Menurut Satgasus Polri Ada Potensi Korupsi Reklamasi Tambang dan BLT Dana Desa
Satgasus Pencegahan Polri (rep)
Jakarta, Pro Legal - Menurut Satuan Tugas Khusus (Satgassus) Pencegahan Korupsi Polri masih ada celah dalam pengelolaan dana jaminan reklamasi dan usai kegiatan tambang.
Wakil Kepala Satgassus Pencegahan Polri Novel Baswedan menjelaskan temuan itu dikarenakan rekening penempatan dana, khususnya untuk tambang non bantuan masih dalam penguasaan Pemerintah Provinsi/Kabupaten/Kota.
Novel menuturkan jika rekening penempatan dana jaminan reklamasi dan pascatambang seharusnya dikelola Pemerintah Pusat melalui Ditjen Minerba Kementerian ESDM. "Secara nasional diperkirakan nilainya mencapai triliunan rupiah," ujarnya dalam keterangan tertulis, Senin (2/1).
Selain itu Satgassus Polri juga menemukan adanya celah korupsi dari sisi pencatatan dan pelaporan penempatan jaminan dikarenakan belum terselenggara dan terintegrasi dengan baik. "Kegiatan pengawasan pengelolaan jaminan reklamasi dan pascatambang belum optimal setelah diberlakukannya UU Nomor 3 Tahun 2020," jelasnya.
Dalam penjelasnya Novel menuturkan kepatuhan perusahaan pemegang Izin Usaha Pertambangan (IUP) untuk melakukan dan melaporkan kegiatan reklamasi sesuai rencana relatif masih rendah. "Lembaga/unit kerja pemerintah di bidang kehutanan dan lingkungan hidup relatif tidak banyak dilibatkan dalam pengelolaan reklamasi dan pascatambang," ujar Novel.
Potensi distribusi program pupuk bersubsidi oleh Kementan Tak hanya di kasus tambang, Novel menuturkan pihaknya juga menemukan potensi korupsi dalam pendistribusian program Pupuk Bersubsidi oleh Kementerian Pertanian (Kementan).
Novel mengatakan temuan itu didapati karena masih banyak ditemukan penerima ganda Pupuk Bersubsidi yang dituangkan dalam elektronik Rencana Definitif Kebutuhan Kelompok (e-RDKK).
Selain itu, Satgassus Polri juga menemukan masih belum optimalnya penggunaan Kartu Tani, baik dari sisi distribusinya maupun sarana prasarananya. Termasuk juga belum optimalnya pendataaan penerima Pupuk Bersubsidi dan pengawasan distribusi Pupuk Bersubsidi oleh pemerintah daerah. Dalam kasus peminjaman Pemulihan Ekonomi Khusus (PEN) masih banyak celah korupsi untuk pembangunan infrastruktur di daerah.
Novel mengatakan Satgassus pun mencatat terdapat sejumlah keterlambatan dalam realisasi penggunaan pinjaman PEN di beberapa daerah. Selain itu masih pengawasan terhadap pelaksanaan pembangunan infrastruktur yang menggunakan dana PEN juga masih belum optimal.
Selain itu Satgasus juga menemukan celah korupsi BLT Langsung Dana Desa.
Temuan lSatgasus Pencegahan Korupsi Polri itu adalah celah Tipikor dalam penyaluran Bantuan Tunai Langsung Dana Desa (BLT-DD). Sebab masih ada perbedaan penerapan cara pendataan, mulai dari pendata calon keluarga penerima manfaat (KPM) BLT- DD yang berbeda-beda untuk setiap desa. "Kriteria yang beragam yang digunakan oleh desa dalam pemilihan calon KPM dan tidak semua desa menggunakan kertas kerja sebagai acuan atau tidak terdokumentasikan dengan baik kertas kerja pendataan, dapat menyebabkan potensi pemilihan penerima bantuan yang kurang transparan dan akuntabel," ujar Novel.
Novel menyebut dalam perkara tersebut pihaknya masih menemukan penyerapan rendah di sebagian desa pada penyaluran tahap I dan II, karena perubahan sistem dari tunai menjadi nontunai. Perubahan data penerima bantuan sosial Kemensos dari DTKS sebagai bahan verifikasi penerima BLT-DD yang datang belakangan, juga mempengaruhi penyerapan. Karena tidak diperbolehkan penerima BLT-DD ganda dengan bantuan sosial lainnya.
Selain itu, tidak ditemukan adanya kasus pemotongan BLT-DD bagi masyarakat. Namun demikian, tidak adanya biaya operasional dalam penyaluran tunai, dapat berpotensi terjadinya pemotongan terhadap BLT-DD yang diterima masyarakat tersebut. "Meskipun belum pernah ditemukan tindak kejahatan terhadap proses pengambilan dana BLT-DD, kondisi geografis dan jarak antara desa dengan bank penyalur dapat menjadi potensi kerawanan terjadinya tindak pidana dalam proses pengambilan dana tunai BLT-DD tersebut," ujar Novel.
Satgasus juga menemukan celah korupsi tata kelola ekspor-impor. Temuan Satgassus terkait proses perbaikan tata kelola ekspor-impor. Terdapat permasalahan dan celah penyimpangan pada penjaluran importasi. "Masih adanya importir yang bekerja sama dengan dengan oknum untuk melakukan pelanggaran importasi," ujar Novel. Pihaknya menemukan celah itu muncul karena belum optimalnya pengawasan internal di Direktorat Jenderal Bea dan Cukai serta ditemukan adanya intervensi dari pihak lain yang dapat mempengaruhi independensi dan integritas petugas pemeriksa dalam proses importasi.
Selain itu ditemukan pula praktik nominee dan 'pinjam bendera' dalam kegiatan importasi. Serta kurangnya sinergitas dan koordinasi para pemangku kepentingan terkait ekspor impor. Lebih lanjut, Novel mengatakan pihaknya saat ini telah berkoordinasi dan menyusun aksi pencegahan korupsi dengan Kementerian/Lembaga terkait diantaranya melalui kegiatan pendampingan, pengawasan dan perbaikan regulasi. "Terkait dengan program pencegahan korupsi melalui implementasi Single Identity Number (SIN) berbasis Nomor Induk Kependudukan (NIK) dan penerimaan negara yang bersumber dari cukai, saat ini masih berjalan," kata Novel.(Tim)