Jakarta, Pro Legal News - Seorang negarawan Romawi yang juga mertua dari Julius Caesar, Lucius Calpurnius Piso Caesoninus (43 SM) pernah melontarkan semboyan yang sangat terkenal, fiat justitia ruat caelum (hendaklah keadilan ditegakkan, walau langit akan runtuh) yang kemudian dilanjutkan dengan semboyan, fiat justitia et pereat mundus (hendaklah keadilan ditegakkan agar langit tidak runtuh). Semboyan itu hingga saat ini menjadi mantra dan doktrin bagi para hamba wet (aparat penegak hukum) untuk menjaga ‘stamina’ mereka dalam menegakkan supremasi hukum (law enforcement).
Sebagai negara hukum (rechstaats) maka semua elemen catur wangsa penegak hukum yang terdiri dari, polisi, jaksa, hakim serta advokat memiliki spirit yang sama berbekal doktrin dari Lucius. Bahkan advokat memiliki fungsi dan peran untuk mengawal proses hukum dari seorang klien, sehingga proses hukum yang dijalani itu sesuai dengan kaidah-kaidah hukum yang berlaku yakni, KUHP, KUHAP serta KUHper.
Hal itu diungkapkan oleh pengacara senior Muara Karta, SH, MH, sebagai bentuk keprihatinan terhadap adanya aparat penegak hukum yang kurang konsisten. Seperti diketahui, belum lama ini Muara Karta, telah melaporkan Jaksa Penuntut Umum (JPU) PN Medan, ke Jaksa Agung Muda Bidang Pengwasan di Kejaksaan Agung. Pasalnya, ada dua jaksa yakni Joice Sinaga dan Artha Sihombing yang dianggap menghalang-halangi sidang pidana perkara penipuan dengan terdakwa Benny Hermanto dengan virtual.
Ketua Ikatan Alumni UI (Iluni) ini menilai, Joice V Sinaga dan Artha Sihombing telah melanggar instruksi Mahkamah Agung (MA) yang tidak mewajibkan terdakwa datang ke persidangan demi keselamatan masyarakat di tengah wabah virus Corona. Karta mengaku sudah dua kali melaporkan sikap tidak profesional Joice V Sinaga dan Arta Sihombing kepada Jaksa Agung Muda Bidang Pengawasan dengan Nomor 67/MKP/S/V/2020 tanggal 14 April 2020 dan 18 Mei 2020. "Sikap dua JPU Kejari Medan tidak profesional dan menghalangi jalannya persidangan secara online dalam perkara pidana register Nomor 17/Pid.B/2020/PN, Mdn di Pengadilan Negeri Medan," ujar Karta melalui WA, Jumat (5/6).
Sidang virtual itu digelar, selain karena adanya pandemi Covid-19 dan PSBB, juga lantaran terdakwa dalam kondisi sakit parah. "Terdakwa sampai saat ini sakit kanker hati serta paru-paru. Klien saya tidak bisa berjalan jauh. Hal ini diperkuat dengan surat keterangan dari RS Cijantung Kesdam Jaya, Jakarta Timur," ujar Karta.
Pada persidangan tanggal 19 Mei 2020 dengan agenda pembacaan pledoi, Karta sudah menyerahkan surat keterangan asli dokter tentang kesehatan terdakwa dengan Nomor RSC/001/V/2020 yang dikeluarkan Rumah Sakit Cijantung Kesdam Jaya kepada majelis hakim yang memeriksa perkara dan fotokopi surat kepada JPU. Ternyata JPU Joice menolak mengikuti persidangan secara teleconference sebagaimana penetapan majelis hakim. "Majelis hakim menyatakan agar keberatan tersebut dicatat dan tetap melanjutkan persidangan sebagaimana telah ditetapkan," ungkap Karta.
Namun JPU Joice kemudian memilih walk out tanpa seizin majelis hakim. Setelah kurang lebih 5 menit meninggalkan ruang sidang, JPU kembali memasuki ruang sidang dan menyampaikan kepada majelis hakim bahwa mereka tidak diperbolehkan pimpinannya untuk mengikuti persidangan secara teleconference sebagaimana penetapan majelis hakim. Akibatnya, majelis hakim menunda persidangan hingga 2 Juni 2020, karena persidangan tidak mungkin dilakukan tanpa kehadiran JPU dan akan melaporkan tindakan walk out tersebut."Tindakan JPU yang mengakibatkan ditundanya persidangan oleh majelis hakim telah melanggar hak konstitusi dan terdakwa," tandas Karta.
Karta menambahkan, pada 26 Mei 2020, pihaknya menerima surat panggilan terdakwa yang dibuat dan ditandatangani oleh JPU Joice agar hadir pada 9 Juni 2020 di Pengadilan Negeri Medan untuk bersidang."Ini namanya membangkang majelis hakim yang telah menetapkan sidang selanjutnya tanggal 2 Juni 2020," ucap Karta.
Karena itulah Karta berharap JAM Pengawasan mengusut tuntas pengaduannya dan memberikan sanksi tegas terhadap JPU Joice serta Artha Sihombing. Diketahui, Benny Hermanto merupakan pengusaha kopi, direktur PT Sari Opal Nutrition. Beralamat di Ruko Green Garden, Blok C-II/37, RT/RW 009/003, Kelurahan Kedoya Utara, Kecamatan Kebon Jeruk, Jakarta Barat. Tahun 2018 melakukan perjanjian jual beli kopi dengan Direktur PT Opal Coffee Indonesia, Suryo Pranoto, yang beralamat di Jalan Tengku Amir Hamzah, Lingkungan XII Blok C No. 56, Kelurahan Helvetia Timur, Medan Helvetia.
Sementara Kepala Kejaksaan Tinggi (Kajati) Sumut, Amir Yanto menegaskan, dalam tahap persidangan perkara pidana, JPU wajib melaksanakan penetapan hakim. “Maaf saya belum dapat laporan secara lengkap. Tetapi Saya kira dalam tahap persidangan perkara pidana, JPU wajib melaksanakan penetapan hakim,” ujarnya.
Menurut Kapuspenkum Kejagung Hari Setiyono, ketika perkaranya digelar di persidangan, maka kewenangan maupun pengendalian ada di tangan majelis hakim untuk menetapkan acara sidang berikutnya.Bila memang ketua majelis hakim menetapkan persidangan dilanjutkan secara teleconference (online), imbuhnya, otomatis membutuhkan perangkat teknologi dan perlu dipersiapkan dengan baik menyangkut kesiapan institusi terkait.
Menurut Muara Karta oknum JPU bersama rekannya berinisial AS dinilai berpotensi membangkang produk hukum. Di antaranya Pasal 30 ayat (1) huruf b UU Nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia yang mewajibkan penuntut umum untuk menjalankan penetapan hakim maupun Surat Edaran Mahkamah Agung (SEMA) Nomor 1 Tahun 2020 jo SEMA Nomor 2 Tahun 2020 tentang Pedoman Pelaksanaan Tugas Selama Masa Pencegahan penyebaran Corona Virus Disease 2019 (Covid-19).
Perjuangan Muara Karta itu akhirnya berbuah setelah Anggota Komisi III DPR RI Habiburokhman SH, MH memberikan respon dan menilai Aksi WO oknum jaksa itu menandakan tidak patuh pada ketentuan-ketentuan yang berlaku, khususnya perintah pengadilan, dalam hal ini majelis hakim yang memimpin persidangan di Pengadilan Negeri Medan. “Ini merupakan pelanggaran serius yang telah dilakukan oknum jaksa, yaitu tidak mentaati perintah pengadilan atau disebut Disobeying Court Orders,” ujar anggota Komisi III Habiburokhman SH, MH dalam percakapan Whatsapp dengan wartawan, Senin (8/6).
Anggota Fraksi Partai Gerindra ini meminta agar kedua oknum jaksa tersebut diberi hukuman sesuai dengan ketentuan internal yang berlaku di institusi kejaksaan. Bahkan juga pimpinan satuan kerja kedua oknum jaksa tersebut harus dimintai pertanggungjawabannya. “Rapat kerja di Komisi III DPR RI dengan Kejaksaan Agung mendatang akan saya tanya langsung ke Pak Jaksa Agung ST Burhanuddin masalah ini,” jelas mantan aktivis 98 ini.***