Bom Bunuh Diri Polsek Astana Anyar Alarm Bukti Sel Terorisme Terus Bergentayangan
Mapolsek Astana Anyar yang menjadi serangan bom bunuh diri (rep)
Jakarta, Pro Legal - Munculnya aksi teror bom bunuh diri di Kantor Polsek Astana Anyar, Bandung Jawa Barat, pada Rabu (7/12) pukul 8.20 WIB menjadi ancaman serius bagi seluruh pihak ihwal bahaya laten dari kebangkitan sel-sel terorisme di Indonesia.
Dalam aksi teros di Polsek Astana Anyar, sedikitnya 10 orang menjadi korban itu yakni 9 anggota Polri, dan seorang warga. Satu orang anggota Polri atas nama Aiptu Sofyan meninggal. Pelaku bom bunuh diri juga tewas.
Berdasarkan keterangan polisi, pelaku Agus Sujatno alias Agus Muslim, adalah eks narapidana teroris yang tengah jalani program deradikalisasi.
Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo mengatakan pelaku sebelumnya terafiliasi jaringan Jemaah Ansharut Daulah (JAD) Jawa Barat. Meskipun tengah menjalani program deradikalisasi usai bebas dari penjara, Listyo mengatakan Agus masih berstatus 'merah'. "Yang bersangkutan ini sebelumnya ditahan, diproses di LP Nusakambangan. Artinya dalam tanda kutip masuk ke dalam kelompok yang masih merah," ujar Listyo saat meninjau lokasi kejadian di Polsek Astana Anyar, Bandung, Rabu (7/12). Bom bunuh diri yang diledakkan oleh Agus ini menjadi ancaman yang lebih serius khususnya menjelang momen natal dan tahun baru (Nataru) 2023.
Kriminolog asal Universitas Indonesia (UI) Ardi Putra Prasetya mengatakan aksi teror di Astana Anyar kemarin sejala dengan pola aksi teror di masa lalu yang menunjukkan peningkatan pada masa-masa pergantian tahun.
"Kalau kita lihat trennya memang aksi teror itu banyak terjadi di awal atau akhir tahun. Kalau itu tren Jemaah Islamiyah ketika itu ada bom malam Natal dan tahun baru itu terjadi di bulan-bulan ini dan tren yang lain juga," ujar Ardi, Jumat (9/12).
Menurut Ardi, hal yang ditakutkan terjadi ialah aksi bom bunuh diri kemarin justru menjadi stimulus bagi kelompok lainnya untuk menggencarkan aksi. "Karena yang ditakutkan selain trennya, aksi kemarin bisa jadi detonasi atau replikasi kelompok-kelompok lain. Yang awalnya ada jaringan-jaringan yang enggak berani padahal ada niat, karena terpicu aksi kemarin jadi berani. Nah, ini juga harus di waspadai," ujarnya.
Ardi juga memberikan catatan terhadap proses deradikalisasi yang diatur pada UU 5/2018 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme.
Menurutnya, UU tersebut tidak mengatur proses deradikalisasi sebagai suatu hal yang bersifat memaksa. "Ini kelemahan regulasi ya. Jadi di UU 5/2018 itu yang diadili di situ adalah perbuatannya, bukan ideologinya. Jadi sangat dimungkinkan setelah dia menjalani proses pidana ideologinya masih keras. Itu karena dalam UU [pemberantasan tindak pidana terorisme], enggak ada terminologi untuk deradikalisasi dengan memaksa. Itu enggak ada," katanya.(Tim)