RUU Kesehatan Dinilai Sebagai Ancaman Terhadap Perlindungan Hukum Bagi Nakes
Demo penolakkan terhadap RUU Tenaga Kesehatan (rep)
Jakarta, Pro Legal- Proses pembahasan Rancangan Undang-Undang (RUU) Kesehatan oleh DPR dan pemerintah saat ini justru menimbulkan penolakan dari berbagai pihak. Namun, ironisnya, penolakan tersebut justru berpotensi menghambat kebutuhan akan perlindungan hukum yang lebih jelas dan kuat bagi dokter, perawat, bidan, apoteker, dan tenaga kesehatan (Nakes) lainnya dalam memberikan pelayanan.
Menurut Juru Bicara Kementerian Kesehatan, dr. Mohammad Syahril, para dokter dan Nakes sebenarnya tidak perlu khawatir,karena pasal-pasal terkait hukum yang mereka khawatirkan telah ada dalam undang-undang yang berlaku saat ini.
Terlebih, selama hampir 20 tahun berlakunya undang-undang ini, tidak ada organisasi profesi maupun individu yang bergerak dan berinisiatif untuk memperbaikinya. "DPR justru memulai inisiatif untuk memperbaiki undang-undang yang ada sehingga pasal-pasal terkait pelindungan hukum ini menjadi lebih baik. Pemerintah pun mendukung upaya ini. Menolak RUU akan mengembalikan pasal-pasal terkait hukum yang ada seperti dulu. Yang sudah terbukti membuat banyak masalah hukum bagi para dokter dan nakes," ujarnya dalam keterangan tertulis, Selasa (16/5).
Dalam usulan peraturan dalam RUU Kesehatan itu yang menimbulkan perdebatan adalah situasi di mana dokter masih dapat digugat secara pidana atau perdata meskipun sudah menjalani sidang disiplin. Namun, penting untuk dicatat bahwa aturan ini sebenarnya sudah ada dalam Undang-Undang Praktik Kedokteran yang berlaku saat ini, yaitu UU Praktik Kedokteran 29/2004.
Pasal 66 ayat (1) UU Praktik Kedokteran 29/2004 menjelaskan bahwa setiap orang yang merasa dirugikan oleh tindakan dokter atau dokter gigi dalam menjalankan praktik kedokteran dapat mengajukan pengaduan tertulis kepada Ketua Majelis Kehormatan Disiplin Kedokteran Indonesia.
Sementara itu, ayat (3) menyatakan bahwa pengaduan tersebut tidak menghilangkan hak setiap individu untuk melaporkan dugaan tindak pidana kepada pihak berwenang atau menggugat kerugian perdata ke pengadilan.
Syahril menuturkan, pasal-pasal ini masih dalam pembahasan oleh DPR dan pemerintah untuk dapat diperbaiki. Terdapat beberapa usulan baru dalam RUU Kesehatan yang tidak terkait dengan pasal-pasal pelindungan hukum yang sudah berlaku saat ini. Dia pun memberikan contoh penyelesaian sengketa di luar pengadilan, pendekatan keadilan restoratif dalam penyelesaian perselisihan, anti-perundungan, dan pelindungan bagi peserta didik yang memberikan pelayanan kesehatan dari kekerasan fisik, mental, dan perundungan.
RUU Kesehatan juga menjamin hak peserta didik yang memberikan pelayanan kesehatan atas bantuan hukum dalam hal terjadinya sengketa medik selama mengikuti proses pendidikan. Selain itu, tenaga medis dan tenaga kesehatan yang melaksanakan upaya Penanggulangan Kejadian Luar Biasa (KLB) dan Wabah berhak atas pelindungan hukum dan keamanan serta jaminan kesehatan dalam melaksanakan tugas.
Penolakan RUU Kesehatan seharusnya tidak hanya dilakukan begitu saja, tetapi juga harus diimbangi dengan solusi alternatif untuk memperbaiki pasal-pasal yang bermasalah. Pasal ini penting bagi tenaga kesehatan agar dapat memberikan pelayanan kesehatan dengan aman dan terlindungi secara hukum.
Syahril menegaskan Pemerintah dan DPR masih membahas pasal-pasal pelindungan hukum ini dan mengundang masukan dari publik. Oleh karena itu, menghentikan proses pembahasan RUU Kesehatan bukanlah solusi yang tepat. "Apabila kepentingan utama organisasi profesi adalah pelindungan hukum, justru sekarang inilah saat yang tepat untuk melakukan perbaikan," imbuhnya.
Maka dalam rangka menciptakan lingkungan yang mendukung dan melindungi tenaga kesehatan, penting bagi DPR, pemerintah, dan semua pihak terkait untuk terus bekerja sama dan memastikan RUU Kesehatan yang disahkan mengakomodasi kebutuhan dan kepentingan nakes dalam memberikan pelayanan kesehatan yang berkualitas kepada masyarakat.(Tim)