a a a a a a a a a a a
logo
Tentang KamiKontak Kami
Iklan Utama 2

Abai Sosialisasi Menuai Badai

Abai Sosialisasi Menuai Badai
Oleh : Gugus Elmo Ra’is

Munculnya pagebluk (wabah mematikan) yang disebabkan oleh Corona virus, bisa menjadi blessing in disguise (baca, I’tibar) atau pembelajaran tentang berbagai hal.
Seperti mengenai norma-norma agama tentang pola makan yang ternyata relevan untuk dikaji lebih dalam. Tetapi kajian tentang relevansi nilai-nilai agama dengan pola makan yang serampangan dan menimbulkan musibah itu tentu sangat absurd untuk dibahas mengingat perbedaan sudut pandang dari setiap agama.

Namun setidaknya wabah itu telah membuka cakrawala baru bahwa mengatur pola makan serta jenis makanan yang layak atau tidak itu sangat penting. Tetapi lebih dari itu pagebluk ini telah melahirkan kompleksitas persoalan dengan eskalasi yang semakin meluas. Saya tidak ingin masuk dan membahas pada wilayah itu, saya hanya tertarik dengan adanya penolakkan masyarakat Natuna terhadap proses observasi dan karantina sekitar 238 WNI yang telah dievakuasi dari Kota Wuhan, Provinsi Hubei, China yang tiba di Lanud Raden Sadjad Ranai Natuna, Minggu (2/2). Padahal sejarah telah membuktikan jika bangsa ini adalah bangsa yang pemurah dan suka menolong sesama terutama yang sedang mengalami musibah, sebutlah dalam musibah tsunami Aceh, masyarakat begitu antusias untuk memberikan bantuan, begitu juga halnya dalam setiap bencana yang dialami oleh bangsa ini.

Tanpa mengurangi apresiasi terhadap proses evakuasi WNI di Wuhan dan China pada umumnya, munculnya reaksi negative dari masyarakat Natuna hingga ada beberapa diantaranya yang melakukan eksodus ke luar daerah, membuktikan ada mekanisme yang salah dalam proses observasi WNI tersebut di Natuna.
Penolakkan itu membuktikan jika tidak semua masyarakat Natuna paham jika penyakit itu tidak akan menular tanpa adanya kontak langsung dengan pasien/carrier (pembawa) virus Corona dalam tubuhnya yang masih masuk masa inkubasi yang diyakini berlangsung selama dua minggu. Artinya semua instansi terkait tidak mampu memberikan informasi yang memadai (sosialisasi), sehingga masih ada sebagian masyarakat yang gagal paham.

Instruksi Bupati Kepulauan Natuna untuk meliburkan sekolah selama masa karantina kian membuktikan jika sosialisasi gagal dilakukan oleh pemerintah untuk meyakinkan Pemda setempat jika proses observasi itu tidak membahayakan. Dan dalam hal ini Bupati sebagai produk dari Pilkada langsung juga tidak sepenuhnya bisa disalahkan, karena dia hanya merespon aspirasi dan dinamika masyarakat di wilayahnya. Tidak mungkin dia hanya tunduk dan patuh terhadap kemauan pemerintah pusat sekaligus mengabaikan kekhawatiran warganya, bila tidak ingin diimpeachment.

Kasus Natuna ini menjadi bukti yang kesekian kalinya jika pemerintah mengabaikan sosialisasi maka masyarakat akan banyak yang gagal paham tentang suatu kebijakan yang dikeluarkan oleh pemerintah. Dalam kultur demokrasi, bila masyarakat yang menjadi obyek kebijakan itu adalah masyarakat yang pasif tentu tidak akan menimbulkan persoalan, sebaliknya bila mereka adalah kalangan yang faham politik tentu akan direspon dengan cara yang berbeda, misalnya sikap resisten terhadap suatu kebijakan dengan melakukan aksi massa. Hal yang nyaris sama adalah minimnya sosialisasi revisi KUHP serta UU KPK, respon public terutama kalangan mahasiswa menjadi sangat massif dan membutuhkan social cost yang tidak sedikit. Disinilah pentingnya sensitifitas seorang pemimpin ketika ingin mengeluarkan kebijakan. Seharusnya setiap pemimpin maping terlebih dahulu tentang potensi terjadinya penolakan dengan berbasis dari data intelejein.

Kalau ditarik kebelakang, pemerintah Jokowi memang terbilang kurang menyukai sosialisasi terbukti dengan adanya beleid pemotongan anggaran sosialisasi serta angggaran perjalanan dinas, sekitar Rp 136 triliun pada tahun pertama pemerintahannya. Kala itu pemerintah berdalih tidak penting sosialisasi yang paling penting itu, bekerja dan terus bekerja. Tekad pemerintah itu memang sangat mulia, sesuai dengan pomeo Jawa, sepi ing pamrih rame ing gawe (sepi dalam pamrih, tetapi rajin dalam bekerja), tetapi yang menimbulkan persoalan itu adalah ketika masyarakat banyak yang menjadi gagal paham dan memberikan reaksi penolakkan dengan berbagai aksi massa, tentu biayanya akan menjadi lebih mahal ketimbang biaya sosialisasi itu sendiri. Sehingga niatan untuk berhemat justru membuat tekor.***
Opini Abai Sosialisasi Menuai Badai
Iklan Utama 5