a a a a a a a a a a a
logo
Tentang KamiKontak Kami
Iklan Utama 2

Aku Takut Jadi Presiden

Aku Takut Jadi Presiden
Ilustrasi
Oleh : Gugus Elmo Ra’is

Dulu semasa kecil terkadang aku menghayal seandainya jadi presiden itu enaknya seperti apa ya ?. Tetapi hayalan itu seketika pupus dan berubah menjadi rasa takut semenjak adanya amandemen UUD 1945. Terutama Pasal 6A UUD 1945, tentang pemilihan presiden dan wakil presiden secara langsung. Apalagi bila aku dituntut untuk benar-benar jujur. Disaat yang nyaris bersamaan terjadi perubahan sistem kepartaian dari partai dominan (dominant party) menjadi partai majemuk (multy party).

Perubahan sistem itu memberikan dampak high cost politic (politik biaya tinggi) bagi siapapun yang mencalonkan diri sebagai presiden dan wakil presiden. Selain biaya kampanye dan mobilisasi massa yang nyaris tak terukur, ada beberapa variable cost (komponen biaya) yang tidak murah. Misalnya untuk memastikan perolehan suara, ada komponen biaya saksi dari sekitar 813.350 TPS yang ada di seluruh Indonesia dan itu pasti tidak sedikit. Karena hingga saat ini pemerintah belum menyetujui usulan biaya saksi sebesar Rp 3,9 triliun. Artinya biaya itu saat ini masih ditanggung oleh para pihak.

Seandainya ada partai atau orang-orang yang simpati dengan gagasan kebangsaanku sekaligus  mau  memberikan donasi dan mendukung keinginanku untuk mewujudkan impianku sebagai presiden itu, ketakutanku selanjutnya adalah, adakah saat ini orang yang benar-benar tulus dan tanpa pamrih dalam memberikan dukungan terhadapku. Karena aku takut dituduh pembohong bila aku terpilih dan tidak bisa memberikan konsesi terhadap para pendukungku.

Rasa takutku semakin bertambah setelah terjadi perubahan sistem kepartaian dari dominan partai menjadi multi partai. Karena sesuai dengan wejangan dari Scot Mainwaring, Jose Chaebub, Adam Przeworzki dan Sebastian M Saiegh, sistem multi partai akan melahirkan minority governance (pemerintahan minoritas) karena perolehan suara yang relatif berimbang. Hal inilah yang akan melahirkan kompleksitas persoalan, terutama dalam proses koalisi untuk membentuk pemerintahan. Karena sesuai dengan tesis Huang Wa, koalisi partai cenderung mengesampingkan kesamaan platform dan memilih demi kepentingan politik praktis semata.

Maka seandainya aku terpilih, rasa takutku tidak akan bisa mewujudkan gagasanku akan semakin bertambah. Pasalnya, meski dalam sistem pemerintahan presidensial, aku dibekali mantra sakti berupa, ‘hak prerogatif presiden’, (dengan kekuasaan yang sedemikian besar) tetapi kakiku tetap akan terjerat tali konsesus bersama selama proses pencalonan. Pasca, pengumuman kemenanganku semua partai pendukung pasti akan segera menyodorkan draft dan portofolio, departemen atau kementerian mana saja yang telah dikavling oleh partai pendukung. Karena rasa takutku dianggap tidak tahu terima kasih, maka aku harus mengakomodir semua kepentingan itu. Bila aku tidak akomodatif, pasti akan muncul serangan yang bergelombang di parlemen, sehingga keinginanku untuk menciptakan pemerintahan yang kuat ala Shang Yang pasti tidak akan terwujud.

Sementara perbandingan antara beban kerja dengan pendapatan yang diperoleh sebagai presiden juga membuatku takut. Berdasarkan  Undang-Undang No. 7 Tahun 1978 tentang Hak Keuangan/Administratif Presiden dan Wakil Presiden serta Bekas Presiden dan Wakil Presiden. Dalam Pasal 2 UU tersebut, tercantum bahwa gaji pokok Presiden adalah enam kali gaji pokok tertinggi pejabat di Indonesia selain Presiden dan Wakil Presiden. Sementara gaji pokok Wakil Presiden adalah empat kali gaji pokok tertinggi pejabat selain Presiden dan Wakil Presiden.

Menurut Peraturan Pemerintah No. 75 Tahun 2000, gaji pokok tertinggi pejabat negara (Ketua DPR, MA, BPK) adalah sebesar Rp 5.040.000 per bulan. Dengan demikian, besarnya gaji pokok Presiden setiap bulannya adalah enam kali gaji tersebut, yaitu Rp30.240.000. Sedangkan gaji pokok Wakil Presiden setiap bulannya adalah empat kali dari gaji tersebut, yakni Rp20.160.000.

Sedangkan, besarnya tunjangan jabatan yang diterima Presiden dan Wakil Presiden setiap bulannya sesuai dengan Keputusan Presiden No. 68 Tahun 2001 yaitu sebesar Rp 32.500.000 untuk Presiden dan Rp 22.000.000 untuk Wakil Presiden. Jika digabung gaji pokok dan tunjangan, maka Presiden RI menerima gaji sebesar Rp 62.496.800, sedangkan Wakil Presiden RI gaji sebesar Rp 42.548.670.

Di sisi lain beban kerja seorang presiden terbilang sangat berat, karena harus memikirkan nasib sekitar 250 juta orang di seluruh Indonesia. Maka bila ukurannya sekedar pengabdian dan ingin tercatat dalam sejarah, sebagai presiden aku pasti berpikir seribu kali. Maka aku takjub, dengan presiden dan para mantan Presiden dan Wakil Presiden itu. Karena mereka sanggup memikul beban yang demikian berat, apalagi Nabi Muhammad SAW telah bersabda : Sesungguhnya  setiap orang adalah pemimpin dan akan diminta pertanggungjawaban atas kepemimpinannnya. Seorang kepala negara adalah pemimpin atas rakyatnya dan akan diminta pertanggungjawaban perihal rakyat yang dipimpinnya. Seorang suami adalah pemimpin atas anggota keluarganya dan akan ditanya perihal keluarga yang dipimpinnya. Seorang isteri adalah pemimpin atas rumah tangga dan anak-anaknya dan akan ditanya perihal tanggungjawabnya. Seorang pembantu rumah tangga adalah bertugas memelihara barang milik majikannya dan akan ditanya atas pertanggung jawabannya. Dan kamu sekalian pemimpin dan akan ditanya atas pertanggungjawabannya (HR. Muslim).

Para Presiden dan Wakil Presiden itu harus menanggung beban pertanggungjawaban dunia akhirat yang demikian berat. Karena ada kemungkinan juga mereka harus menanggung beban tanggung jawab hirarki dari  orang-orang disekitarnya yang kemungkinan telah berbuat kesalahan. Dan itulah yang membuatku takut punya cita-cita jadi presiden. Kecuali bila nanti ada perubahan sistem baru, ada kemungkinan aku berani membangunkan mimpiku lagi.*** 
Opini Aku Takut Jadi Presiden
Iklan Utama 5