Pro Legal News - Mahkota suci seorang hakim adalah kewenangan untuk memutus perkara. Dibilang suci, karena setiap putusan hakim itu akan menentukan nasib seseorang, sehingga petitum seorang hakim haruslah benar-benar ‘bersih dan suci’ dari berbagai interest kecuali kepentingan untuk menegakkan keadilan. Apalagi setiap putusan hakim itu kelak harus dipertanggung jawabkanya di depan sang Khalik. Maka tak mengherankan bila hakim bisa dianggap sebagai waliyuullah (wakil Tuhan di dunia) untuk menciptakan keadilan.
Untuk melindungi para hakim dalam menerapkan kewenangan yang dimiliknya maka dikenal dengan asas res judicata pro veritate habetur yang artinya bahwa putusan hakim harus dianggap benar hingga ada putusan hakim di tingkat yang lebih tinggi. Hak imunnitas para hakim itu diatur dalam UU No 48 tahun 2009 yang mengatur kebebasan hakim untuk berpendapat. Berdasarkan Surat Edaran MA (SEMA) No 9 tahun 1976 dinyatakan jika hakim bisa bebas dari kemungkinan ganti rugi akibat salah dalam mengeluarkan putusan. Bahkan berdasarkan SEMA No 4 Tahun 2002. dinyatakan hakim tidak bisa dilaporkan polisi, sekalipun salah dalam memutus perkara.
Majelis hakim juga tidak mengenal istilah putusan colletiv collegial (putusan bersama) meski jumlah hakim itu ada tiga. Kewenangan dan kemerdekaan hakim untuk membuat petitum itu dilindungi oleh hak dissenting opinion (hak untuk berbeda penadapat) sesuai dengan pemahaman masing-masing terhadap perkara yang ditanganinya. Pendeknya, hakim adalah profesi yang benar-benar independen dan independensi itu dijamin oleh undang-undang.
Dengan kompetensi dan kekuasaan yang absolut itu apakah ada jaminan jika setiap putusan hakim itu bisa menghadirkan keadilan yang sesungguhnya. Selain independen, para hakim itu juga dibekali hak rechvinding untuk menerobos sekat-sekat formal demi terciptanya keadilan Karena faktanya masih banyak putusan hakim-hakim kita yang memicu kontroversi. Sebutlah kasus Baiq Nuril yang terbukti sebagai korban yang dikorbankan, atau bila kita meminjam tipologi Prof Romli Atmasasmita sebagai korban yang diabaikan oleh negara. Kasus putusan hakim di PN Cibinong yang membebaskan para pelaku pelecehan seks, kasus Kapuk yang majelis hakimnya salah memutus perkara. Hingga beberapa kasus sengketa Pilkada yang akhirnya terbukti jika mantan Ketua MK, Akil Muchtar terima suap dari para pihak.
Memang semua itu bersifat kasuistis dan dilakukan oleh oknum-oknum dari aparat penegak hukum yang telah dengan sengaja melakukan perbuatan yang masuk dalam kategori contempt of court (baca, melecehkan lembaganya sendiri). Tetapi tetap harus diciptakan sebuah sistem yang bisa mengawasi sekaligus menindak hakim-hakim yang nakal. Para hakim yang memanipulasi kekuasannya untuk memperoleh keuntungan secara pribadi dengan mengabaikan tugasnya untuk menghadirkan keadilan.
Seperti misalnya, kita tak perlu malu untuk mencontek sistem yang ada di Rusia. Berdasarkan pasal 305 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Federasi Rusia bahwa hakim yang secara sadar mengetahui bahwa dia sengaja menghasilkan putusan atau produk hukum yang tidak adil maka dapat dikenakan pidana berupa denda sebesar 300.000 Rubel atau bahkan penjara hingga 5 tahun. Pemberlakuan ketentuan seperti itu bukan untuk memberikan rasa takut terhadap para hakim, tetapi seperti yang dikemukakan oleh Feurbach dalam theorie des psychologische zwangs,bahwa itu untuk melindungi kepentingan masyarakat yang lebih luas sehingga keadilan dapat ditegakkan.
Atau cara yang lebih elegan adalah, pemberlakukan konsep judicial liability (pertanggung jawaban hakim), yang dilontarkan oleh Prof. Jongbloed dari Utrech University. Konsep itu bias diakomodasikan dalam proses revisi Undang-Undang tentang Kekuasaan Kehakiman yang baru. Dengan pertanggung jawaban hakim itu setiap putusan masih bisa diuji kembali. Seakligus ada ketentuan sanksi jika putusan hakim itu melenceng dari ketentuan-ketentuan yang berlaku. Dengan konsep itu bisa dieliminir ruang terjadinya penyimpangan dan manipulasi hakim dalam proses pembuatan putusan yang merugikan para pencari keadilan.
Karena terbukti proses banding hingga PK yang dilakukan oleh para pemohon seringkali tidak bisa memenuhi rasa keadilan, karena majelis hakim tingkat banding dan PK hanya semata-mata memeriksa judec juris/judec facti pada peradilan di tingkat yang lebih rendah. Sehingga mereka tidak bisa memeriksa pokok perkara, sementara modus yang dilakukan oleh para hakim nakal itu biasanya cukup canggih, sehingga tidak bisa terendus modus komersialisasi putusan yang telah dikeluarkannya. ***