Tulisan ini hanya dimaksudkan sebagai resonansi, agar semua elemen catur wangsa penegakkan supremasi hukum seperti polisi, jaksa, hakim dan advokat mampu menjaga amanah suci yang diembannya. Tanpa ada maksud untuk melecehkan profesi tertentu, karena seorang penulis juga bisa menjadi calon penghuni neraka yang paling utama, bila suka menulis dengan mengaburkan fakta dan mengikuti sentimen pribadi sehingga masuk kategori sebagai ghibah (bergunjing) dan fitnah. Dan sesungguhnya fitnah itu lebih kejam dari pada pembunuhan (walfitnathu asyadhu minalqatl).
Judul di atas berdasarkan sebuah hadits Nabi Muhammad SAW yang dirawi oleh Thirmidzi yang mengatakan, “Hakim itu ada tiga, dua di neraka dan satu di surge : 1) seseorang yang menghukumi secara tak benar padahal ia mengetahui mana yang benar, maka ia di neraka, 2) seorang hakim yang bodoh lalu menghancurkan hak-hak manusia, maka ia di neraka, dan 3) seorang hakim yang menghukum dengan benar, maka ia masuk surga.” (HR. Tirmidzi No. 1244). Maka melihat fungsi hakim yang menghadirkan keadilan berdasarkan kebenaran materiil yang diyakininya, membuat hakim bisa dianggap sebagai waliyullah (wakil Tuhan) di dunia untuk menghadirkan keadilan, meski itu bersifat relative.
Frase, seseorang yang menghukum secara tak benar padahal ia mengetahui mana yang benar, adalah parameter jika ada kemungkinan seorang hakim bisa dan telah melakukan deviasi (penyimpangan) atas kewenangan berdasarkan pemahaman atas sebuah perkara. Ironisnya, ada ruang teloransi bila hakim berbuat salah dalam mengambil keputusan, karena memang hakim memiliki hak berpendapat sesuai diatur dalam Pasal 5 ayat 1 UU No 48 tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman. Tetapi hak itulah yang terkadang dimanipulasi untuk memutus perkara sesuai dengan seleranya.
Tak jarang, seorang hakim mengabaikan berbagai fakta hukum dalam memberikan putusan untuk menghadirkan keadilan yang relativ. Sementara kebenaran obyektif itu bersifat absolut. Dalam konteks inilah moral menjadi benteng hukum yang sangat vital sesuai dengan pepatah Romawi quid leges sine moribus (apalah arti hukum bila tanpa moral). Karena model pengawasan untuk mengukur kredibilitas hakim, baik pengawasan yang bersifat internal maupun eksternal tidak bisa masuk pada pokok perkara. Sehingga semua tergantung dari kadar moralitas masing-masing hakim, memiliki atau tidak pemahaman jika semua keputusan itu akan dipertanggungjawabkan kelak di hadapan Tuhan, sesuai dengan petitum demi terciptanya keadilan yang berTuhanan.
Bila ada hakim berani memutus perkara dengan cepat tanpa melalui proses persidangan yang panjang untuk memperoleh kebenaran materiil terutama untuk perkara yang menyangkut hajat hidup orang banyak seperti sengketa Pemilu di Mahkamah Kontitusi (MK), maKA sikap respek harus diberikan karena keberanian mereka untuk menanggung resiko atas segala keputusannya kelak di hadapan Tuhan. Apalagi bila semua itu dilakukan demi tanggung jawabnya sebagai the guardian of constitution. Tentu dengan catatan, putusan yang diberikan berdasarkan keyakinan atas bukti-bukti materiil yang diperoleh dan bukan karena interest pribadi. Apalagi bila putusan itu dilandasi semangat ijtihad untuk menciptakan paradigma baru sebagai standar moral bangsa yang baru.
Senasib sepenanggungan, fungsi dan tugas advokat adalah untuk mengawal proses hukum sesuai dengan bukti-bukti materiil yang ada. Sehingga setiap proses persidangan itu bisa berjalan secara fair sesuai dengan alat bukti yang ada serta kaidah-kaidah yang berlaku. Karena fungsi itulah advokat dianggap sebagai profesi yang mulia (officium nobile). Kemuliaan advokat tidak ditentukan apakah dia bisa memenangkan perkara kliennya, tetapi lebih kemampuan dia dalam mengawal proses hukum sesuai dengan aturan tentang tata cara (hukum formil) maupun bukti-bukti yang ada (hukum materiil).
Advokat atau penasihat hukum (PH) yang suka mendramatisisr perkara, sesungguhnya telah melebihi batas kewenangannya dalam mengawal perkara. Karena dramatisasi perkara itu secara subyektif merupakan upaya untuk mempengaruhi public atau majelis hakim agar memberikan empatinya dalam memutus perkara (trial by opinion). Sekalipun itu telah melebihi batas-batas, berdasarkan fakta hUkum yang ada. Karakter advokat yang seperti inilah yang saat ini banyak menghiasi pemeberitaan di berbagai media massa. Tragisnya, fenomena tentang deviasi terhadap Tupoksi hakim dan advokat itu yang saat ini justru marak terjadi.***