Banjir bandang yang terjadi Di Jabodetabek di awal tahun baru 2020, mengungkap tabir, jika kawasan ini menderita penyakit komplikasi. Rusaknya tata ruang, minimnya daerah resapan karena pembangunan yang mengabaikan amdal, tidak representatifnya sistem drainase, serta eksploitasi air tanah tak terkendali yang mengakibatkan turunnya permukaan tanah secara ekstrim membuat daya dukung wilayah Jabodetabek menjadi sangat lemah. Apalagi dengan kesadaran masyarakatnya yang masih sangat rendah yang suka membuang sampah sembarangan termasuk ke sungai.
Maka hujan yang sangat lebat dengan durasi yang panjang sekitar 12 jam, atau bila kita meminjam data BMKG sebagai curah hujan yang paling tinggi (377 ML) selama 154 tahun terakhir, merupakan cara Tuhan untuk membuka tabir, itulah penyakit bangsa ini yang harus didiagnosa dan dicari cara untuk menyembuhkannya.
Dengan kompleksitas persoalan yang terjadi selama puluhan tahun, menjadikan indikasi jika terjadinya musibah itu adalah kesalahan kolektiv (bersama) Bangsa Indonesia yang masih suka mengabaikan keseimbangan alam dalam melakukan pembangunan. Siapapun pemimpinnya, maka harus melakukan upaya yang radikal dan komprehensif untuk membebaskan wilayah Ibu Kota ini menjadi wilayah langganan banjir. Kecuali bila ingin memindahkannya ke daerah lain.
Yang tak kalah memprihatinkan adalah, biasanya pasca banjir bandang akan selalu diikuti oleh banjir caci maki yang pasti dialamatkan kepada seorang pemimpin baik itu Gubernur maupun Presiden. Padahal dengan uraian diatas persoalan ini adalah kesalahan kolektiv bangsa. Sekalipun pemberian bantuan sering terlambat menurut saya tidaklah fair jika semua kesalahan itu ditimpakan kepada Gubernur Anis atau yang sering diplesetkan dengan Gabener. Kali ini Anis dibanjiri hujatan dari tujuh penjuru mata angin, karena dinilai tidak becus dalam menanggulangi banjir.
Siapapun pemimpinnya pasti akan mengalami kuwalahan jika menghadapi situasi seperti saat ini. Bahkan bila dikomparasikan dengan pemimpin-pemimpin yang sebelumnya. Indikatornya sederhana, program pengerukan sungai melalui Program Jakarta Emergency Dredging Iniativ (JEDI) yang digagas oleh Sutiyoso, diteruskan usulannya oleh Foke (Fauzi Bowo) dan dieksekusi ketika era Gubernur Ahok ternyata juga tidak maksimal.
Buktinya adalah wilayah Kampung Melayu serta Kapuk yang notabene berada dibantaran Sungai Cengkareng Drain ternyata mesih terendam air yang cukup parah padahal kedua sungai itu telah dikeruk ketika era Ahok. Dan sejarah juga mencatat selama periode itu belum ada upaya yang radikal untuk membenahi tata ruang yang amburadul itu.
Jika hujatan itu berasal dari kelompok yang berbeda afiliasi politiknya dengan kelompok Anis, maka seperti halnya peribahasa menepuk air didulang memercik muka sendiri, karena bila ditarik ke atas ini adalah bukan semata-mata tanggung jawab Anis tetapi juga Presiden Jokowi, yang diasosiasikan sebagai kelompok politik yang berbeda. Karena musibah ini masuk kategori sebagai bencana nasional, karena meliputi beberapa provinsi seperti Jawa Barat, Banten, DKI Jakarta. Sehingga bila ditanyakan balik bagaimana ?.
Maka untuk mengurai persoalan yang kusut itu bisa dimulai dengan duduk bersama semua stake houlders dengan menggunakan konsep megapolitan, agar semua kebijakan bisa sinergi dan terintegrasi. Kesamaan cara pandang itu sangat penting sehingga tidak memunculkan tumpang tindih kebijakan yang membuat semuanya menjadi semrawut seperti saat ini. Dan yang paling penting adalahmemudahkan dalam proses eksekusi kebijakan.
Tulisan ini sama sekali tidak ada pretensi untuk membela Anis, karena penulis bukanlah warga Jakarta. Tetapi murni wujud keprihatinan atas adanya bahaya laten dan penyakit kronis dan kambuhan bangsa ini yang sering menggunakan banjir caci maki untuk menyikapi keadaan. Seakan mereka yang tak jarang berasal dari kelompok cerdik pandai tak mampu untuk berpikir jernih dalam melihat persoalan.
Jadi mari kita belajar untuk menanggulangi banjir kemarahan terhadap para pemimpin atau setiap orang yang menjadi obyek pemberitaan dengan cara yang lebih civilize (beradab).
Perbedaan pandangan politik itu adalah khitah sebagai negara demokrasi. Karena kebebasan bicara merupakan qonditio sine qua non (prasayarat utama) demokrasi, tetapi kebebasan itu tetap harus menggunakan norma-norma ketimuran. Apalagi bangsa Indonesia dikenal sebagai bangsa paling ramah dan sopan di dunia.***