a a a a a a a a a a a
logo
Tentang KamiKontak Kami
Iklan Utama 2

Demokrasi Bisa Hasilkan Pemimpin Yang Tidak Berkualitas

Demokrasi Bisa Hasilkan Pemimpin Yang Tidak Berkualitas
ilustrasi
Oleh : Gugus Elmo Ra’is

Dalam teori bentuk negara ala Plato dan Aristoteles, demokrasi adalah bentuk negara yang paling ideal. Secara etimologis, demokrasi berasal dari terminologi bahasa Yunani, demokratia  yang terdiri dari suku kata demos (rakyat) serta cratos  (kekuatan). Sehingga Karl Raymond Popper dan Mc Ivir memberikan deskripsi, jika demokrasi adalah bentuk negara yang mengikut sertakan rakyat dalam proses pengambilan keputusan. Ketika era kerajaan Yunani, rakyat terlibat langsung dalam proses pengambilan keputusan negara, kondisi saat itu masih memungkinkan karena jumlah penduduk yang relatif sedikit.

Demokrasi yang sehat sangat ditentukan oleh civil society yang kuat. Masyarakat madani atau civil society, adalah masyarakat yang memiliki tingkat pengetahuan   serta penguasaan informasi yang memadai sebagai bahan referensi dalam menentukan sikap dan pilihan. Seperti halnya tesis, filsuf Francis Bacon yang menyatakan jika knowledge is power (pengetahuan adalah sumber kekuatan),  pengetahuan itulah yang menjadi guiden (panduan) dalam menentukan sikap dan pilihan. Penentuan sikap dan pilihan itu bukan didasari oleh sikap latah (ikut-ikutan) dan gumunan (gampang heran).

Bila struktur masyarakat masih didominasi oleh masyarakat awam dengan low basic education (pendidikan yang rendah), tak akan mengherankan bila demokrasi akan menghasilkan pemimpin yang tidak visioner. Karena ketidak mampuan masyarakat dalam mengintreprestasikan misi, visi calon pemimpinnya selama masa kampanye. Referensi utama yang digunakan oleh masyarakat awam biasanya hanya ditentukan oleh isu-isu sektarian atau sikap gumunan terhadap popularitas dan proses pencitraan yang dilakukan oleh sang calon. Atau dalam bahasa sederhana, dalam demokrasi, orang bodoh bisa mengalahkan orang pintar bila jumlah orang bodohnya jauh lebih banyak. Maka tak mengherankan bila Soekarno cenderung menghindari pemilihan langsung yang menjadi ciri dari demokrasi liberal.

Terpilihnya Joseph (Erap) Ejercito Estrada sebagai Presiden Philipina dalam Pilpres 11 Mei 1998 mungkin bisa menjelaskan anomali demokrasi itu. Saat itu Estrada memperoleh suara sebesar 39,86 % mengungguli dua rivalnya, Jose Venezia yang memperoleh suara, 15,87 % serta Raul Roco yang mendapat suara 13,38%. Ironisnya, kemenangan Estrada itu ditentukan karena popularitas dia sebagai aktor yang sering memerankan tokoh-tokoh protagonis. Sehingga Erap mendulang suara yang signifikan di daerah-daerah yang  miskin dan terbelakang. Sebaliknya dua rivalnya yang dinilai  lebih visioner justru tidak memperoleh suara yang memadai. Dan hasilnya, Estrada tercatat sebagai Presiden Philipina yang tidak mampu mengangkat perekonomian negaranya, bahkan kemudian terjerembab  dan diturunkan oleh rakyatnya karena tersangkut kasus korupsi.

Pesepakbola legendaris asal Liberia, George Oppong Maneh Weah juga terpilih sebagai Presiden Liberia karena berbekal popularitasnya. Dalam Pilpres Liberia  2017 itu, mantan pemain klub sepak bola AC Milan dan Machester City ini meraih suara 61,% % mengalahkan pesaingnya Joseph Boakai yang merupakan calon petahana, karena sebelumnya menjadi Wakil Presiden. Popularitasnya sebagai pemain sepakbola serta hobinya melakukan  kegiatan filantropi (amal) membuat Weah dengan mudah mengalahkan lawannya. Meski Weah sempat dua kali mengalami kekalahan dari Sirleaf dan William Tubman. 

Tetapi semenjak Weah teripilih sebagai Presiden Liberia, kondisi perekonomian Negara di pesisir barat Afrika ini tidak juga bangkit dari keterpurukan ekonomi. Padahal Liberia merupakan salah satu Negara Afrika yang maju dan modern, karena tidak pernah mengalami kolonialisasi. Artinya, Weah tidak memiliki visi dan konsep untuk memperbaiki perekonomian negaranya. Masyarakat Liberia hanya gumun (terpukau) dengan ketenaran Weah semata.

Sementara dalam demokrasi terpimpin, kondisinya lebih parah lagi. Karena tidak memiliki civil society yang kuat, dalam Pemilu Maret 2019 Partai Kim Jong Un memperoleh suara mutlak 99,9 %. Padahal dibawah kepemimpinan, Kim Jong Un, Korut terjerembab dalam krisis kemanusiaan yang berkepanjangan, karena  Kim asyik dengan propaganda militernya. Sementara dalam pemilihan Presiden Kuba, Raul Castro yang juga adik dari Fidel Castro mampu mendulang suara 99,7% suara yang membuat Raul terpilih untuk menggantikan abangnya. Namun tipologi masyarakat Kuba juga sama dengan negara-negara yang memiliki ideologi Komunis, tidak memiliki civil society yang kuat. Maka masyarakat tidak memiliki kemampuan untuk menentukan sikap, akhirnya tetap memilih klan Castro meski terbukti tidak mampu mengangkat  perekonomian negaranya.***
Opini Demokrasi Bisa Hasilkan Pemimpin Yang Tidak Berkualitas
Iklan Utama 5