a a a a a a a a a a a
logo
Tentang KamiKontak Kami
Iklan Utama 2

Diplomasi Dangdut Dalam Proses Rediscovery Nusantara

Diplomasi Dangdut Dalam Proses Rediscovery Nusantara
Oleh : Gugus Elmo Ra’is

Sumpah amukti Palapa, menjadi mantra sekaligus doktrin yang dahsyat bagi Mahapatih, Gajah Mada untuk menyatukan wilayah Nusantara yang mencakup semua wilayah Andalas (Sumatera) hingga berbatasan dengan Kerajaan Siam (Muangthai), semua wilayah Borneo, Celebes, semua Papua hingga Philipina.

Tercatat, Majapahit sebagai kerajaan yang berbasis di Trowulan, Mojokerto pernah menjadi super power pada abad 12-14 M. Setelah tercabik-cabik oleh politik devide et impera (politik pecah belah) oleh kolinialisme yang mengusung semangat imperialisme dan kapitalisme, Soekarno menjahit dan menghimpun semua kekuataan itu dengan wawasan nasionalisme yang berhulu dari sinketrisme ideology antara nasionalisme, islamisme dan marxisme, untuk merangsang munculnya keinginan bersatu sesuai dengan tesisnya Karl Renan dan Otto Bauer.

Namun Soekarno dengan para founding fathers hanya berhasil menghimpun sebagian yakni wilayah yang sekarang disebut dengan Negara Republik Indonesia (NKRI) minus, Malaysia, Singapura yang menjadi koloni, Inggris serta kehilangan Philipina dan Papua Nugini dan Brunei Darusallam. Itupun setelah melalui proses yang panjang termasuk revolusi fisik selama periode 1945-1950. Dinamika politik yang terjadi selama 7 dasawarsa juga telah mengarah terjadinya disintegrasi bangsa, apalagi setelah Timor Timur lepas dari tangan Indonesia melalui proses referendum. Bangsa ini berada dalam bayang-bayang perpecahan.

Nostalgia kebesaran Majapahit kembali mengapung setelah munculnya kontestasi music dangdut di Indosiar yang mulai pada tahun 2015 lalu. Kontestasi itu telah mampu menembus batas territorial imaginer yang pernah diwariskan oleh Gajah Mada karena diikuti oleh negara-negara yang dulu masuk teritori Nusantara yakni, Indonesia, Malaysia, Singapura, Brunei, Philipine, Thailand serta Timor Leste. Dangdut ternyata bisa menjadi sarana ‘diplomasi’ yang efektif. Karena seperti yang diungkapkan oleh almarhum Suhaimi Mohd Zain atau yang lebih dikenal dengan nama Pak Ngah, musik dangdut telah menjadi identitas budaya Bangsa Mulayu/Nusantara. Atau bisa dibilang sebagai national antum bagi (bangsa dalam rumpun Melayu).

Sebagai tuan rumah, Indonesia memiliki home advantage (keuntungan tuan rumah) untuk menentukan standar nilai dengan mengacu pada cengkok-cengkok dangdut khas Indonesia. Tanpa ada complain para peserta mencoba menyesuaikan dengan standar nilai yang ditetapkan oleh tuan rumah. Antusiasme negara-negara
peserta itu membuktikan jika inflitrasi budaya jauh lebih efektif dari pada aneksasi militer, seperti yang dilakukan oleh rezim-rezim masa lalu.

Menurut hasil studi yang berjudul Form and Function in Song yang diterbitkan di Current Biology, menunjukkan bahwa lagu-lagu dengan vokal yang berhasil memicu reaksi emosional seperti menenangkan anak yang menangis atau pengungkapan cinta kepada pasangan, terdengar mirip satu sama lain meski berasal
dari berbagai belahan di dunia. Studi yang dilakukan oleh periset dari Harvard University, Amerika Serikat dan Victoria University of Wellington, Selandia Baru, ini menegaskan adanya hubungan universal antara bentuk dan fungsi dalam bermusik. "Meskipun keragaman musik yang menakjubkan dipengaruhi oleh budaya yang tak terhitung jumlahnya dan mudah didapat oleh pendengar modern, sifat alami manusia yang kita bagi bersama dapat mendasari struktur dasar musik yang melampaui perbedaan budaya," kata penulis studi Samuel Mehr dari Harvard University.

Maka diakui atau tidak diplomasi dangdut itu telah membantu proses penemuan kembali (rediscovery) Nusantara yang pernah hilang ditelan sejarah. Publik mungkin banyak yang baru sadar jika ternyata, rakyat Thailand masih banyak yang menggunakan Bahasa Melayu atau minimal paham dengan Bahasa Indonesia.

Audiens mungkin juga baru paham jika masih banyak generasi muda Timor Leste yang masih menguasai bahasa Indonesia dengan baik. Bahkan muncul kesan jika mereka cukup happy bergaul dengan Bangsa Indonesia, apalagi terbukti kehidupan mereka pasca referendum ternyata jauh lebih sulit ketimbang masih berada dalam
pangkuan Indonesia. Bukan tidak mungkin jika suatu saat akan uncul keinginan untuk referendum lagi.

Selain ideology, tenyata musik dan lagu menjadi instrument yang sangat penting untuk menyatukan rasa dan jiwa bagi para penyanyi maupun penikmatnya. Sehingga tinggal mengisi bagaimana dari proses cipta, rasa bisa melahirkan karsa (kehendak) untuk kembali bersatu seperti pada masa lalu. Tanpa harus menggunakan kekuatan militer yang selain memerlukan biaya yang besar juga akan menghadirkan tragedy kemanusiaan.***
Opini Diplomasi Dangdut Dalam Proses Rediscovery Nusantara
Iklan Utama 5