Menurut filsuf asal Prancis, Micahel Fouchault dan Georges Canguilhem serta sosiolog pengetahuan asal Jerman, Karl Mannheim, ilmu pengetahuan (knowledge) tidak bisa lepas dari dunia politik. Ilmu itu bersifat obyektif tetapi tidak selalu bersikap netral dengan kondisi politik saat itu. Bahkan dalam tesisnya mereka menganggap jika pengetahuan baik apriori maupun a posteriori cenderung bersifat politis. Karena setiap perubahan itu tak jarang membutuhkan dukungan politis. Secara sinis Karl Marx menganggap jika setiap penguasa (ruling class) selalu berusaha mencengkeram pihak yang dikuasai (the ruled) mengggunakan dan memanipulasi ilmu pengetahuan yang menjadi corak kekuasaanya sebagai corak kapitalis untuk menghisap kelompok-kelompok yang ada dibawahnya.
Sementara dalam persepektif Islam setidaknya ada beberapa persyaratan yang harus dipenuhi oleh seorang ilmuwan dalam memproduksi premis dan teori sebagai bagian dari ilmu pengetahuan yakni, presisi, skeptisisme, berdasarkan fakta empiris. Bersedia membuat prediksi yang beresiko serta keterbukaan. Presisi adalah ketepatan membuat hipotesa yang berdasarkan teori umum, asumsi maupun prinsip sehingga penjelasanya bisa nyambung (Wade, 2014). Ketentuan itu diatur dalam Al Qur’an Surat Hud 16, “Dan siapakah yang lebih zalim daripada orang yang membuat-buat dusta terhadap Allah? Mereka itu akan dihadapkan kepada Tuhan mereka, dan para saksi akan berkata: "Orang-orang inilah yang telah berdusta terhadap Tuhan mereka". Ingatlah, kutukan Allah (ditimpakan) atas orang-orang yang zalim".
Syarat berikutnya harus memiliki skeptisisme, dalam dunia ilmu pengetahuan sikap skeptis berarti tidak asal menerima pemikiran yang didasarkan pada keyakinan atau kepercayaan dan pengaruh seseorang. Dan berhati-hati dalam memperlakukan kesimpulan yang ada. Atas dasar permis itulah seorang ilmuwan wajib mengembangkan sikap tabbayun untuk mencari kejelasan, sesuai yang dianjurkan dalam Al Qur’an,"Hai orang-orang yang beriman, jika datang kepadamu orang fasiq membawa suatu berita, maka periksalah dengan teliti, agar kamu tidak menimpakan suatu musibah kepada suatu kaum tanpa mengetahui keadaannya yang menyebabkan menyesal atas perbuatanmu itu." (QS. Al-Hujurot:6)
Sedangkan berdasarkan pada fakta empiris, seorang ilmuwan harus berpegang teguh pada hasil penelitian yang telah diperoleh dengan membuktikannya secara faktual. Tapi penilaian terhadap teori dan hipotesa ilmiah tidak didasarkan terhadap kesenangan atau hiburan yang diberikan atau apakah adanya teori dan hipotesis tersebut sesuai dengan prasangka kita. Dan yang terakhir adalah bersedia membuat prediksi yang beresiko. Sesuai dengan hadist nabi yang menyatakan, qullilhaq wallaukannamurran (katakannlah kebenaran itu sekalipun pahit bagimu). Para ilmuwan itu harus berani mengatakan hal yang sebenarnya, meski akan berdampak tidak menguntungkan setidaknya untuk sementara waktu.
Syarat terakhir adalah terbuka, setiap ilmuwan harus terbuka tentang metodologi yang dilakukannya dalam upaya untuk memperoleh hipotesa baru. Karena setiap kajian itu dimaknai sebagai ijtihad, maka upaya itu harus dibarangengi dengan doa untuk memperoleh petunjuk illahi seperti dalam Surat Alfatehah ayat (4-5) atau QS Al Imran 159.
Deskripsi tentang ilmuwan di atas merupakan sebuah refleksi dari keprihatinan penulis tentang mentalitas para ilmuwan yang kita miliki saat ini. Hajatan politik, Pileg dan Pilpres 2019 lalu menjadi etalase tentang kadar keilmuwan sekaligus moralitas para ilmuwan kita dalam menyikapi berbagai fenomena. Publik nyaris tidak bisa menemukan figur ilmuwan yang mampu berpikir jernih sekaligus bisa memberikan pencerahan. Para ilmuwan itu bisa ditebak hipotesanya berdasarkan afiliasi politik yang dipilihnya, meski mereka semua mengklaim independen. Fenomena inilah yang pernah disindir oleh Abdurrahaman Wahid (Gus Dur) sebagai panggungnya para ilmuwan tukang.
Ironisnya, para ilmuwan dari berbagai disiplin ilmu itu cenderung membuat hipotesa yang mutlak-mutlakan. Ilmuwan yang dekat dengan kelompok politik tertentu niscaya akan membuat hipotesa yang menyudutkan kelompok lainnya, begitu juga sebaliknya. Padahal dalam ilmu pengetahuan itu tidak ada kebenaran absolut yang ada kebenaran relativ. Karena sesungguhnya kebenaran absolut itu hanya milik Tuhan YME. Itulah ciri yang mudah dikenali jika mereka bisa dikategorikan sebagai ilmuwan tukang, terlepas apakah mereka dapat benefit tertentu atau tidak dari berbagai hipotesa-hipotesa yang diberikannya.
Sehingga hipotesa dari Michael Fouchault, Georges Changuilhem, Karl Mannheim serta Karl Marx yang sinis itu dapat teraktualisasi. Meski masih perlu dipertanyakan, apakah itu masuk dalam terminology dari upaya terstruktur, sistematis dan massif. ***