Hingga saat ini tidak matriks dan penjelasan resmi dari pemerintah berapa jumlah undang-undang yang dimiliki oleh Bangsa Indonesia. Masyarakat awam mungkin hanya familiar dengan KUHP dan KUHAP, meski tidak semua juga faham secara rinci materinya seperti apa. Namun yang pasti, berbekal fungsi legislasi yang dimiliki, DPR sekarang paling doyan dan getol membuat undang-undang. Selama periode 2015-2019 saja tercatat setidaknya ada 160 RUU yang masuk dalam Proleganas (Program Legislasi Nasional) yang sedang digodok oleh DPR. Itupun belum terhitung dengan aturan-aturan turunannya, seperti Perppu, Keppres, Kepmen dsb. Jumlah itu semakin menegaskan terjadinya perubahan dari rezim Keppres pada Orde Baru menjadi rezim UU pada Orde Reformasi.
Ironisnya setiap pembahasan RUU itu zonder sosialisasi dan tidak melibatkan masyarakat dalam proses pembahasannya. Maka tak mengherankan bila draft RUU itu sering menjadi kontroversi dan memantik polemik yang panjang. Minimnya sosialisasi itulah yang mengakibatkan banyak pihak menjadi gagal faham terhadap materi revisi sekaligus memberikan reaksi keras untuk menolak draft tersebut. Sehingga mayoritas masyarakat kita tidak faham norma-norma hukum seperti apa yang harus dipatuhi.
Karena gagal faham itulah yang membuat mereka memberikan reaksi menolak.Tak jarang sosial cost yang ditimbulkan oleh reaksi penolakan itu justru jauh lebih mahal dari biaya sosialisasi yang seharusnya dilakukan. Bukti paling mutakhir adalah adanya aksi penolakkan yang massif terhadap proses revisi UU KPK serta RUU KUHP. Bahkan hingga menimbulkan korban jiwa serta stag-nya perekonomian nasional, karena kekhawatiran kalangan dunia usaha. Fenomena ini sering terulang dan terus terulang yang membuktikan dangkalnya konsideran, para elit politik dan pemerintah dalam proses revisi maupun menyusun UU baru.
Namun ada hal yang jauh lebih penting dari sekedar minimnya sosialisasi proses revisi dan pembuatan UU itu yakni tidak tercapainya tujuan akhir dari pembuatan UU itu yakni untuk menciptakan ketertiban sekaligus adanya kepastian hukum. Meski kita telah memiliki infrastruktur dan suprastruktur hukum yang memadai, tetapi keluhan terjadinya ketimpangan dan ketidak adilan masih terjadi di mana-mana. Hal itu terjadi karena tidak adanya konsistensi dalam penegakkan supremasi hukum. Bahkan hukum di Indonesia cenderung dibuat secara transaksional dalam proses pembuatannya hingga penerapannya. Dalam proses pembuatan atau revisi UU tak jarang ada muatan-muatan kepentingan korporasi maupun penguasa, sementara dalam proses penerapannya sering terjadi jual beli pasal untuk menghukum atau membebaskan para pihak dari jeratan hukum. Tak mengherankan bila hukum di Indonesia selalu kehilangan kewibawaanya.
Tragisnya, ada mindset yang salah dalam diri para praktisi dan akademisi hukum kita yang memiliki tesis jika hukum bisa membentuk karakter masyarakat. Bagaimana mungkin hukum yang tidak memiliki kewibawaan karena merupakan produk transaksional para politisi itu bisa dihormati dan ditaati oleh masyarakat. Idealnya justru sebaliknya moral masyarakatlah (quid leges sine moribus) yang bisa membentuk hukum yang harus dihormati dan ditaati secara bersama-sama, karena hukum adalah produk konvensi dari para politisi yang telah ditunjuk oleh masyarakat. Maka reformasi hukum saja tidak cukup untuk membentuk bangsa ini menjadi bangsa yang beradab (civilize) tanpa adanya revolusi kebudayaan. Sehingga tercipta standar moralitas yang baru yang bisa dijadikan norma hukum baru.
Saya ambil contoh karena standar moralitas yang tinggi, Bangsa Jepang dan Korea menjadi bangsa yang sangat taat dengan hukum yang dimilikinya. Mereka cenderung tidak mau mengambil dan memanfaatkan sesuatu yang bukan menjadi haknya, dan hal itu terimplementasi dalam kehidupan sehari-hari, misalnya tidak mau menggunakan fasilitas umum yang bukan haknya. Sebaliknya kita, meski sudah ada pengumuman atau aturan yang mengaturnya tetap saja dilanggar. Maka dengan mindset yang sudah salah itu, keinginan kita memberantas korupsi akan menjadi pekerjaan yang sangat berat, selama belum ada revolusi kebudayaan dan pemikiran.
Sementara mengharapkan perubahan pemikiran dari keteladan yang bersifat top down dari pemimpin nasional, nyaris mustahil selama belum ada perubahan system Pemilu dan Pilpres seperti yang saat ini kita anut. Karena dengan system yang ada, siapapun pemimpinnya akan selalu terjerat oleh hubungan emosional dengan apara anggota koalisi selama proses Pilpres dilaksanakan. Sehingga selalu menimbulkan sikap ewuh pakewuh, untuk menegakkan hukum secara konsisten dan konsekuen. Karena bagaimanapun, mereka telah bahu membahu dengan mengeluarkan biaya yang tidak sedikit selama kampanye dan pemilihan. Politik biaya tinggi (higt cost politic) serta system multipartai hanya akan menimbulkan dilema tersendiri bagi setiap presiden untuk bisa menegakkan supremasi hukum.***