Terlalu absurd dan sumir bila Pemilu 2019 dinilai sebagai Pemilu yang paling buruk sepanjang sejarah republik ini. Tetapi bila dianggap yang paling menegangkan, secara empirik tidak terbantahkan. Desain politik yang salah membuat masyarakat Indonesia yang plural terjebak dalam dua kotak yang saling berbenturan. Bahkan benturan politik itu nyaris menghancurkan bangunan kebangsaan kita. Budaya patron klien, membuat setiap manuver elit politik, senantiasa direspon dan diikuti oleh para pengikutnya yang langsung direspon oleh kekuatan lawan politiknya.
Kontestasi politik selalu menimbulkan gesekan di tingkat akar rumput (grass root), bila setiap isu dikapitalisasi. Apalagi bila menggunakan isu-isu primordial (SARA), sebagai dagangan politik untuk merayu kontituen. Persaingan politik dalam konteks suksesi kepemimpinan selalu melahirkan instabilitas politik dan ekonomi. Social cost (biaya sosial) itu selalu ditanggung oleh masyarakat yang secara mayoritas tidak memiliki kepentingan langsung dengan hajatan politik itu.
Maka, bila setiap pemimpin tidak memiliki managemen konflik yang baik, eksitensi Indonesia sebagai negara kesatuan dari sekitar 300 etnik dan 1340 suku dan bahasa terancam tinggal kenangan. Pemimpin yang selalu berdiri ditengah-tengah setiap ada dinamika politik dan sosial di masyarakatnya. Bukan pemimpin yang membiarkan pertikaian politik terjadi asal dia bisa mempertahankan kekuasaanya.
Tipologi pemimpin seperti itu senantiasa memiliki sense of crisis dan segera menemukan sintesa baru sekaligus mampu memberikan panduan ideologi untuk menjaga semangat kebangsaan serta merawat gairah persatuan seperti halnya tesis Otto Bauer, bahwa bangsa dibangun berdasarkan kesamaan perangai karena rasa persamaan nasib setiap warganya sehingga muncul keinginan untuk bersatu seperti hipotesanya Ernest Renan.
Dengan kerbersamaan dan rasa senasib sepenanggungan itu semangat persatuan akan senantiasa terjaga. Sehingga tercipta stabilitas politik dan ekonomi yang menjadi syarat utama segera tercapainya kesejahteraan. Sesuai dengan semboyan, toto tentrem kerto raharjo (kedamaian membawa kesejahteraan). Karena sesungguhnya Indonesia adalah Negara yang kaya raya, gemah ripah loh jinawi. Atau dalam terminology bahasa Arab lebih dikenal sebagai bhaldhatun warrobun goffur. Dan fungsi negara sesuai dengan teori Aristoteles, negara berfungsi untuk menciptakan kesejahteraan warganya.
Semboyan itu kini menjadi semboyan Kepolisian untuk menjaga ketertiban dan keamanan nasional (Kamtibmas) sesuai dengan amanat UU No 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian untuk menjaga Kamtibmas. Korp Bhayangkara itu terbukti mampu menjalankan fungsinya dengan baik, dalam menjaga Kamtibmas sebagai bagian dari upaya untuk menciptakan stabilitas.
Tetapi persoalanya, gangguan Kamtibmas yang terjadi di Indonesia bersifat sangat khas. Tak jarang gangguan Kamtibmas itu berhulu dari sentimen politik. Kondisi inilah yang membuat aparat kepolisian menjadi gagap. Karena aparat kerap dituduh tidak netral dalam menyikapi persoalan. Sementara sesuai dengan salah satu semboyannya, Polisi wajib untuk melayani setiap pengaduan dari masyarakat. Sehingga tidaklah fair bila semua persoalan yang berpotensi menganggu Kamtibmas yang berhulu dari pertikaian politik itu dibebankan pada polisi semata.
Dengan konsideran seperti itu, maka leadership seorang pemimpin menjadi sangat vital dan urgen. Bukan hanya secara personal terlihat baik, tetapi lebih dari itu harus punya gaya kepemimpinan yang bisa mengayomi semua elemen bangsa. Sehingga semangat kebersamaan dan persatuan itu akan terjaga, dan tidak memberi ruang terjadinya konflik. Karakter pemimpin seperti itulah yang menjadi tipologi nasionalis sejati. Karena seperti tesis Andrew Ernest Gellner, bahwa nasionalisme adalah gagasan imaginer yang menjadi doktrin untuk menjaga dan merawat persatuan dan kesatuan bangsa. ***