Pro Legal News - Presiden Jokowi telah melakukan ketuk palu untuk memindahkan ibu kota dari Jakarta ke Penajam Paser Utara, Kutai Kertanegara, Kalimantan Timur.
Tentu kebijakan itu telah melalui proses kajian yang dalam dengan berbagai pertimbangan. Apalagi kondisi Jakarta yang sudah overload serta daya dukung yang sudah tidak memadai. Tetapi keputusan pemindahan itu tetaplah sebuah keputusan yang berani, karena isu itu tidak pernah disentuh oleh presiden-presiden sebelumnya.
Hanya ketika zaman Orde Baru sempat mengapung wacana jika Presiden Soeharto ingin memindahkan ibu kota ke Jonggol Jawa Barat, namun sebelum terealisasi Soeharto keburu lengser.
Pemindahan ibu kota dari Jakarta ke Penajam Paser Utara itu tak urung mengundang sejumlah pertanyaan. Seperti diketahui, ketika era Presiden Soekarno sempat muncul gagasan membangun twin cities, sister cities, antara Jakarta dengan Palangka Raya, Kalimantan Tengah. Keinginan itu sempat diungkapkan oleh Soekarno ketika meresmikan Tugu/Monumen Provinsi Kalteng, 17 Juli 1957. Dengan dalih jika letak kota dengan luas 2400 KM2 ini terletak tepat di atas garis khatulistiwa.
Secara topografis letak kota yang berada di tepi Sungai Kahayan ini juga tepat di tengah-tengah Indonesia. Sehingga memudahkan orang datang dan pergi dari seluruh pelosok Nusantara ke Palangka Raya.
Dengan memilih kota semacam Palangka Raya maka akan memudahkan para arsitek untuk membuat master plan serta landscape yang ideal, seperti rasio ruang terbuka hijau sekitar 30 % bahkan bisa lebih. Sehingga kualitas lingkungan ibu kota baru akan senantiasa terjaga. Namun pemilihan Penajam Paser Utara adalah sebuah keputusan yang sangat mengejutkan.
Sehingga mengundang banyak pertanyaan, ada apa dibalik pemilihan kota tersebut sebagai ibu kota baru. Dan siapa yang paling diuntungkan dibalik keputusan untuk membuat mega proyek senilai sekitar Rp 500 triliun itu. Nilai itupun belum dihitung dengan multiplier effect dari proyek tersebut.
Proyek infrastruktur sebesar itu tentu merupakan sebuah nilai yang sangat menggiurkan bagi kalangan developer.
Maklum dengan nilai sebesar itu bisa diestimasi setidaknya Rp 50 triliun atau 10% dari nilai proyek akan bisa dikeduk oleh kalangan pengusaha/developer. Belum juga keuntungan yang akan diperoleh oleh kalangan pengusaha yang memiliki lahan luas karena melonjaknya harga Nilai Jual Obyek Pajak (NJOP) lahan yang berada di wilayah itu.
Maka bisa dipastikan banyak pengusaha yang akan ‘tiong-tiong’ menikmati keuntungan itu.
Tesis seperti itu bukanlah isapan jempol semata. Seperti misalnya pengembang Agung Podomoro, sehari setelah keputusan itu langsung mengiklankan property Borneo Bay City yang menawarkan sejumlah mall dan apartemen. Tidak tanggung-tanggung developer milik Trihatma K Haliman itu menginvestasikan modal sebesar Rp 2,8 triliun untuk membangun property mewah yang terletak di atas lahan seluas 8 Ha itu.
Selain Agung Podomoro yang diprediksikan akan meraup untung besar, sejumlah nama juga disebut-sebut akan menikmaati keuntungan dibalik keputusan itu. Ada beberapa elit politik yang disebut memiliki lahan sangat luas di Kutai Kartanegera seperti misalnya adik Prabowo, Hashim Djojohadikusumo yang disebut-sebut memiliki lahan yang cukup luas. Selain itu juga disebut-sebut nama Luhut Binsar Panjaitan yang memiliki konsesi lahan pertambangan yang cukup luas di wilayah itu.Oleh : Gugus Elmo Ra’is