Sistem presidensial dalam pemerintahan yang menjadi produk Pemilu dengan sistem multi partai, akan melahirkan kompleksitas persoalan tersendiri. Setiap presiden terpilih pasti akan terjerat fatsoen politik ‘balas budi’ terhadap partai-partai pendukungnya. Siapapun calon presidennya pasti menebar konsesi untuk merayu partai-partai agar mau menjadi anggota koalisi partai pendukungnya. Kontrak politik tak tertulis inilah yang menjadi dasar parati-partai untuk mengingkatkan diri dalam jalinan koalisi. Dan akan ditagih ketika presidennya telah resmi terpilih.
Sehingga hak prerogatif yang dimiliki oleh presiden terpilih terutama hak untuk menentukan calon pembantunya (menteri) dalam kabinet adalah hak simbolik belaka. Karena sebelumnya pasti ada deal-deal berapa pos menteri yang akan diperoleh oleh masing-masing partai. Maka tak mengherankan jika Scot Mainwaring sempat mengingatkan jika sistem ini sebenarnya kurang cocok dalam sistem ketata negaraan di Indonesia. Menurut Andrew Heyword sistem ini cenderung menjadi rumit.
Meski memiliki hak prerogatif yang absolute setiap presiden tentu tidak bisa lepas dari tekanan-tekanan para partai pendukungnya untuk mengakomodir kader-kader mereka, selain itu presiden terpilih juga harus menghadapi manuver-manuver dari lawan politiknya. Bila presiden terpilih tidak bisa memanage semua elemen itu bisa jadi pemerintahan yang akan datang tidak akan pernah stabil karena mendapat gangguan dari oposisi. Jalan tengah dari kompleksitas persoalan itu adalah mengakomodir semua elemen itu agar terwakili dalam kabinet yang disusun presiden. Kemungkinan jalan tengah inilah yang saat ini menjadi konsideran Jokowi dalam membentuk ‘Kabinet Kompromi’.
Tetapi pembentukan Kabinet Indonesia Maju atau yang lebih tepat disebut Kabinet Kompromi ini tak urung memicu kontroversi sekaligus mengaduk-ngaduk emosi bagi para pendukung kedua kubu yang pernah berseteru. Semua proses politik itu tak ubahnya seperti sebuah dagelan slapstick yang merupakan bentuk perselingkuhan ideologi. Karena kedua kubu yang semula saling berseteru saat ini justru bercumbu mesra dan berbagi kekuasaan.
Sementara di mata pendukung presiden terpilih justru meninggalkan luka, karena mereka merasa jauh lebih berhak untuk mendapat jatah sebagai upah yang telah bekerja keras selama Pemilu kini justru diambil alih oleh kelompok lain dan ditinggalkan begitu saja. Gejala itu telah nampak dengan munculnya kritikan dari kader-kader partai pendukung yang menganggap pembagian kekuasaan itu kurang adil. Bahkan Ketum Partai Nasdem, Surya Paloh sempat mengeluarkan ancamannya untuk keluar dari koalisi dan pindah haluan menjadi oposisi.
Diluar persoalan bagi-bagi kekuasaan yang melanggar fatsoen politik dan pakem demokrasi itu, penunjukkan beberapa orang dalam Kabinet Indonesia Maju itu menimbulkan pertanyaan besar. Seperti misalnya penunjukkan Menteri Pendidikan Nasional, Nabiel Makarim yang sebelumnya hanya dikenal sebagai pengusaha Ojek On Line.
Padahal pos kementerian ini sangat fundamental dan strategis sebagai wadah untuk character national building (wadah pembentukan karakter bangsa). Apakah mungkin pos kementerian yang seharusnya diberikan kepada figur yang memiliki tingkat keilmuan yang tinggi ini diberikan kepada anak muda yang belum memiliki pengalaman dalam bidang organisasi yang memadai. Katakanlah dia memiliki visi yang besar, tetapi belum tentu memiliki licence to kill (baca ekekusi) dalam hal kebijakan. Sekaliber Anies Bawesdan pun sempat gagal memimpin kementerian ini. Satu hal yang mungkin luput dari perhitungan tim thing thank Jokowi-Maruf, Mendiknas ini secara tradisional merupakan jatah buat tokoh-tokoh dari Ormas Muhammadiyah sebagai Ormas Islam terbesar kedua di Indonesia. Maka pemberian jatah kursi ke anak muda yang belum jelas afiliasi politiknya ini, kemungkinan bisa menimbulkan ketersinggungan bagi orang-orang Muhammadiyah. Bila ini terjadi kepentingan politik jangka panjang PDIP dalam Pilpres 2024 pasti akan terganggu dan tidak akan memperoleh dukungan dari Ormas ini. Artinya penunjukkan Mendiknas ini telah meninggalkan lubang yang sangat besar bagi kepentingan politik jangka panjang PDI-P.
Apalagi setelah Jokowi juga meninggalkan Pangeran Partai Demokrat, AHY niscaya barisan gigit jari ini akan merapatkan barisan untuk bahu-membahu melawan PDI-P dalam Pilpres 2024, apalagi nanti diprediksikan suara PKS sebagai opoisi akan meningkat secara signifikan. Bila kepentingan politik jangka panjang PDI-P ini terabaikan, pertanyaannya siapa yang berada dibalik pengusulan nama Mendiknas ini ?.
Penunjukkan nama menteri yang juga berpotensi akan mengurangi tingkat elektabilitas PDI-P adalah penunjukkan nama Fahrul Razi sebagai Menteri Agama menggantikan Lukman Hakim Saifudin. Sama seperti Mendiknas pos Kementerian Agama ini secara tradisional menjadi jatah dari NU sebagai Ormas Islam terbesar di Indonesia. Bahkan seorang Gus Dur yang dikenal sangat morderatpun tak mau melepaskan pos ini dengan menunjuk KH Tolchah Hasan.
Memang Menteri Agama yang berlatar belakang militer bukan kali yang pertama, dulu Alamsyah Ratuprawira Negara juga Menteri Agama yang berlatar belakang militer tetapi meninggalkan NU struktural sebagai juru kunci Kemenag merupakan langkah politik yang perlu dipertanyakan. Secara pribadi memang Jokowi tidak ada beban, karena tahun 2024 telah habis masa jabatannya, tetapi untuk PDI-P juga akan meninggalkan lubang yang sangat besar. Bila kedua Ormas ini sudah mutung (ngambek) maka bisa dipastikan, saiapapun calon presidenya pasti akan gigit jari.***