Filsuf yang terkenal pada zaman renaissance, Francis Bacon pernah membuat ungkapan yang menarik, the knowledge is power (pengetahuan itu adalah kekuasaan). Secara etimologis ungkapan itu menunjukan betapa pentingnya ilmu pengetahuan bagi kelangsungan hidup umat manusia. Pengetahuan serta penguasaan informasi menjadi elemen penting untuk merawat nalar manusia dalam menjalani kehidupannya. Tanpa terkecuali dalam menentukan sebuah pilihan termasuk dalam memilih calon pemimpinnya.
Seloka Jawa, ojo dumeh, ojo latah lan ojo gumunan (jangan mentang-mentang, jangan latah dan jangan gampang heran dan takjub) merupakan kalimat bijak yang bisa digunakan untuk merawat nalar kita dalam menentukan sebuah pilihan, termasuk memilih Capres. Meski nalar setiap orang pasti berbeda-beda sesuai dengan latar belakang status sosial, ekonomi dan pendidikan masing-masing individu. Apalagi, Climford Geerzt telah membuat tipologi sosial masyarakat, terutama untuk masyarakat Jawa yang menjadi tiga kelompok yakni masyarakat priyayi, santri dan abangan. Sehingga daya nalar mereka pasti berbeda-beda sesuai dengan skala kepentingan masing-masing kelompok.
Kita tidak perlu mengolok olok logika masyarakat dalam menentukan pilihan, tetapi tulisan ini merupakan refleksi keprihatinan tentang bangsa ini yang menjadi korban dari demokrasi liberal yang kita anut. Demokrasi yang telah mengacak-acak daya nalar masyarakat menggunakan berbagai instrument serta propaganda dan kampanye hitam.
Setiap sosok calon pemimpin itu bisa, ‘diupgrade’ menjadi seperti dewa oleh tim konsultan politiknya. Sebaliknya lawan politiknya bisa ‘dipermak’ menjadi seperti ‘drakula’ dengan sejumlah black campaign (kampanye hitam) serta hoaks, semua tergantung kemampuan logistik calon untuk memobilisir dan kapitalisasi isu melalui media serta medsos.
Ironisnya, seperti tesisnya John Naisbit dalam bukunya Hight Tech, Higth Touch, masyarakat saat ini cenderung menjadi budak teknologi yang ditandai dengan ketidak mampuan dalam membedakan mana yang benar dan mana yang salah atas sebuah informasi yang disebarkan melalui media sosial. Masyarakat sering memberikan respon yang antusias atas sebuah informasi yang belum terverikasi dengan benar. Bahkan tak jarang responnya itu dengan cara yang negative dan merugikan orang lain.
Maka seloka Jawa, ojo latah lan ojo gumunan (jangan latah dan jangan gampang kagum) itu menjadi relevan sebagai bahan refleksi kita dalam setiap menentukan keputusan dalam memilih. Bisa jadi sesuatu yang terlihat baik dan sukses itu adalah produk pencitraan belaka dan sebaliknya sesuatu yang terlihat jelek dan kasar tetapi memiliki visi yang baik dan benar. Disinilah pentingnya sifat tabbayuun (kritis dan mau mengkaji lebih dalam) setiap informasi yang telah beredar di masyarakat.
Penguasaan ilmu pengetahuan dan informasi itu menjadi elemen yang sangat penting agar masyarakat mau tabbayyun dan tidak terkecoh oleh propaganda dan proses pencitraan belaka. Keputusan memilih yang berdasarkan kesimpulan dari produk pencitraan itulah yang masuk kategori sebagai sikap latah dan gumun, tanpa dibarengi oleh sikap kritis dan analitik, seberapa manfaat dan berguna program-progam serta kebijakan yang telah, sedang dan akan diambil oleh setiap calon itu bagi kemaslahatan masyarakat luas.
Fenomena itulah yang harus dicermati oleh para cerdik cendikia kita serta para pengambil keputusan, apakah model demokrasi yang kita anut dan kita jalankan sekarang sesuai dengan tipologi sosial masyarakat kita. Bila memang pilihan itu sudah final, bagaimana cara kita melakukan rekayasa sosial, sehingga masyarakat kita benar-benar siap berdemokrasi dengan cara yang baik dan benar. ***