a a a a a a a a a a a
logo
Tentang KamiKontak Kami
Iklan Utama 2

Masih Punya Moralkah Aparat Penegak Hukum Kita ?

Masih Punya Moralkah Aparat Penegak Hukum Kita ?
Oleh : Gugus Elmo Ra’is

Pepatah Romawi kuno, quid leges sine moribus (apa arti hukum bila tanpa moral) bisa menjadi bahan resonansi sekaligus refleksi sampai sejauh mana kualitas penegakan hukum supremasi hukum (law enforcement) kita. Moral adalah roh dari supremasi hukum. Bahkan dalam Japanese law system (system hukum Jepang) hukum itu adalah moral (law is morality). Tetapi banyaknya hakim yang tertangkap oleh KPK (dalam  rentang waktu 13 tahun tercatat ada 19 hakim) serta yang terkini hakim di PN Balikpapan, menjelaskan betapa rendahnya moral aparat penegak hukum kita.

Padahal struktur gaji hakim di Indonesia saat ini  sesuai dengan Permen No 94 Tahun 2012 terbilang lebih dari cukup. Untuk hakim utama pada tingkat banding setidaknya memperoleh take home pay sebesar Rp 33,3 juta/perbulan. Tetapi tingkat pendapat hakim yang lumayan besar itu ternyata tidak equivalent dengan kadar moralitas hakim itu sendiri. Maka  tak mengherankan bila KPK meminta MA untuk meningkatkan kadar moralitas hakim.

Masih segar dalam ingatan kita ketika majelis hakim memutus bebas para terdakwa kasus pemerkosaan di PN Cibinong. Kasus itu turut memunculkan pertanyaan seberapa besar basis moral yang digunakan oleh hakim dalam memutus perkara sekaligus memaknai hukum. Apakah hukum hanya sebatas aturan-aturan (normative an sich) sertal prosedural yang tersurat dalam KUHP dan KUHAP semata, atau justru  sebaliknya ketentuan hukum dikendalikan oleh kekuatan yang diatasnya yakni moral. Sehingga memunculkan terminology  rechvinding yang memungkinkan hakim bersikap progresif dalam menerapkan kaidah-kaidah hukum. Karena setiap peristiwa hukum (rechsfeit) itu selalu bersifat kausalitas (Austin).

Hakim salah memutus perkara itu manusiawi, apalagi hakim memang memiliki  hak berpendapat, sesuai dengan ketentuan Pasal 5 ayat 1 UU No 48 tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman. Tetapi bila kekuasaan untuk memutuskan perkara itu dimanipulasi karena faktor-faktor non hukum, seperti terima suap atau ada hubungan secara personal dengan para pihak itu adalah salah satu bentuk penistaan terhadap profesi hakim yang notabene adalah waliyullah (wakil Tuhan di dunia). Bahkan Nabi Muhammad SAW, melalui hadits yang dirawi oleh Thirmidzi pernah mengingatkan, “Hakim itu ada tiga, dua di neraka dan satu di surga: 1) seseorang yang menghukumi secara tak benar padahal ia mengetahui mana yang benar, maka ia di neraka, 2) seorang hakim yang bodoh lalu menghancurkan hak-hak manusia, maka ia di neraka, dan 3) seorang hakim yang menghukumi dengan benar, maka ia masuk surga.” (HR. Tirmidzi No. 1244).

Maka untuk mengeliminir terjadinya praktek-praktek manipulasi  serta kesalahan hakim itu wacana tentang  penerapan pertanggung jawaban hakim (justice liability) yang pernah dilontarkan oleh Prof. Jongbloed dari Utrech University, bisa dimasukan dalam  proses revisi Undang-Undang tentang Kekuasaan Kehakiman yang baru. Karena terbukti proses banding hingga PK yang dilakukan oleh para pemohon  seringkali tidak bisa memenuhi rasa keadilan.

Salah satu kasus yang menarik dan menyolok itu adalah kesalahan yang fatal yang dilakukan oleh majelis  hakim PK dalam kasus permohonan PK warga Kapuk, H Dani Cs melawan Pemprov DKI. Majelis hakim secara gambling menyatakan jika permohonan PK itu tidak disertai dengan Berita Acara Sidang Penyumpahan. Padahal bukti-bukti yang dimaksud itu jelas-jelas ada. Ironisnya, sSemua intitusi  termasuk KY justru membiarkan kesalahan yang telah dilakukan oleh majelis hakim, karena ketua majelis hakim itu adalah juga Ketua MA.

Proses banding hingga PK saat ini, majelis hakim  hanya melakukan pemeriksaan terhadap judex juris/judex facti proses peradilan di tingkat pertama. Sehingga seringkali amar putusan  majelis hakim banding maupun PK itu mengatakan jika proses hukum yang dilakukan oleh peradilan di tingkat  pertama sudah sesuai dengan ketentuan yang berlaku. Padahal ‘hakim’ justru sering bersembunyi dibalik ketentuan-ketentuan untuk untuk menutupi praktek manipulasi putusan. ***
Opini Masih Punya Moralkah Aparat Penegak Hukum Kita ?
Iklan Utama 5