a a a a a a a a a a a
logo
Tentang KamiKontak Kami
Iklan Utama 2

Membangun Tradisi Suksesi Damai

Membangun Tradisi Suksesi Damai
Ilustrasi
Oleh : Gugus Elmo Ra’is

Diiringi alunan simphoni Dying Young, Kenny G perasaan perih menyergap hatiku karena pertumpahan darah kembali terjadi. Dengan mata masih perih terkena gas air mata, kugoreskan tinta  untuk menorehkan kepedihan dan kegundahan tentang  suksesi berdarah. Kerusuhan terjadi seusai demo massa yang menolak hasil Pemilu di depan Gedung Bawaslu, Kamis (22/5). Hingga opini ditulis, setidaknya ada 6 anak muda yang meninggal tertembus peluru serta puluhan yang luka-luka. Tragedi ini mengingatkan kita pada peristiwa Tri Sakti dan Semanggi pada tahun 1998 lalu. Sehingga melahirkan tanya, begitu sulitkah kita membangun tradisi  suksesi damai?.

Setelah proses amandemen UUD 1945 terutama Pasal 6A ayat 3 serta terbitnya UU No 42  Tahun 2008  tentang Pemilihan Presiden terjadi perubahan sistem Pemilu yang mendasar. Penentuan presiden baru melalui  pemilihan langsung berdasarkan  syarat, memperoleh suara lebih dari 50 % serta memenangkan lebih dari setengah jumlah provinsi di Indonesia. Secara teknis, proses pemilihan dan penentuan pemenang itu sangat rasional, sehingga semua pihak menyepakati cara itu, kecuali tentang pelaksanaan Pilpres dan Pileg secara bersamaan yang masih menyisakan persoalan.

Tetapi sesuai dengan tema membangun tradisi suksesi damai, yang menjadi persoalan krusial adalah  cara pemahaman para elit politik kita untuk memahami fatsoen (tata krama) politik. Sehingga tidak menimbulkan ekses yang negatif bagi para pendukung masing-masing. Dengan civil society yang masih lemah  karena secara mayoritas memiliki latar belakang  pendidikan  yang rendah, maka secara umum para pemilih itu memiliki tingkat rasionalitas yang rendah. Secara sosiologis kondisi itu membuat masyarakat kita cenderung menganut budaya patron klien. Para pemilih cenderung melakukan personifikasi terhadap calon pemimpinnya sebagai referensi utama dalam menentukan pilihannya.

Maka para calon pemimpin harus benar-benar berhati-hati dalam memelihara lisan dan tindakan. Karena setiap lisan dan tindakan niscaya akan diikuti oleh para pendukungnya. Apalagi proses kampanye yang cukup panjang akan menciptakan ikatan emosional yang kuat antara pemilih dan calon pemimpinnya. Sehingga setiap ada situasi yang tidak menguntungkan secara politis bagi calon pemimpinnya akan selalu direspon secara ekspresif tak jarang hingga bertindak anarkis oleh para pendukungnya.

Semua mesti belajar dari sejarah, bahwa kita telah memiliki konsensus bersama, bahwa kita akan berusaha menghindari isu-isu SARA. Karena berpotensi akan memecah belah bangsa. Sebagai bangsa yang telah maju publik Amerika saja menghujat keras terhadap Trump yang selalu menggunakan isu-isu SARA untuk membangun legitimasinya.  Setiap politisi dan public figure mestinya menyadari itu, sehingga tidak mengeluarkan ujaran kebencian (hate speech). Apabila masing-masing pihak menyadari itu, niscaya masyarakat tidak akan terbelah dan terfragmentasi.

Sementara untuk mengurangi tingkat distrust masyarakat terhadap para penyelenggara Pemilu seperti KPU dan Bawaslu, setiap ada pengaduan terhadap adanya dugaan kecurangan, para pihak itu harus segera memberikan respon dengan menyelidiki sekaligus memberikan penjelasan terhadap adanya dugaan kecurangan itu. Tidak hanya sekedar membantah, tetapi harus menyelidiki dan menjelaskan.Sehingga kekecewaan itu tidak terakumulasi dan menimbulkan apatisme terhadap kredibilitas, profesionalitas serta independensi penyelenggara Pemilu. Bila kekecewaan itu terakumulasi  menjadi apatisme, maka publik akan sangat mudah terprovokasi oleh pihak-pihak tertentu.

Publik yang sudah apatis akan sangat mudah diprovokasi untuk bertindak anarkis. Karena dalam mindset mereka, para penyelenggara itu sudah tidak kredibel. Meski para penyelenggara itu telah berbuat secara maksimal. Distrust itulah yang menjadi penghalang setiap upaya  untuk membangun tradisi suksesi yang damai. Dan yang sangat menyedihkan, massa yang meninggal  dalam kerusuhan itu  kemungkinan besar tidak tahu validitas dugaaan kecurangan yang terjadi. Semua berhulu dari mindset yang apatis, karena mereka  tidak  memperoleh penjelasan yang memadai terhadap apa yang mereka tuduhkan.***
Opini Membangun Tradisi Suksesi Damai
Iklan Utama 5