Demonstran menggelar aksi unjuk rasa di depan gedung Bawaslu
Oleh : Gugus Elmo Ra’is
Tragedi berdarah kembali terjadi di Jakarta, 21-22, Mei 2019. Dalam kerusuhan yang membonceng aksi menolak hasil Pemilu 2019 di depan Gedung Bawaslu, di Jalan MH Thamrin itu setidaknya ada enam orang meninggal serta puluhan lainnya menderita luka-luka. Kini kondisi Jakarta mencekam, bahkan Polisi telah menetapkan status siaga 1 untuk wilayah DKI Jakarta dan sekitarnya. Bayang-bayang terjadinya perpecahan bangsa sudah di depan pelupuk mata. Mungkinkah tragedi 1998 akan terulang ?.
Disaat yang krusial dan mencekam ini, seandainya kedua tokoh yang berseteru itu, Jokowi dan Prabowo mau bertemu mungkin akan menjadi cerita yang indah. Apalagi bila sehabis pertemuan Jokowi menyatakan, “Demi keselamatan bangsa ini, mari kita saling berpelukan erat dan menyatukan langkah bersama. Terkait adanya dugaan kecurangan selama Pemilu silahkan diperiksa dan diusut dengan sebenar-benarnya. Saya juga tidak ingin tercatat dalam sejarah jika saya terpilih sebagai Presiden dengan perolehan suara yang meragukan. Jadi kita tidak saling tuduh ladi”.
Sebaliknya Prabowo juga mengatakan, “Demi tercapainya kebenaran dan demi harkat serta martabat bangsa ini kami ingin mencari kebenaran itu dengan cara-cara konstitusional dan tidak dengan cara anarkhis. Bila memang Pak Jokowi memperoleh suara yang lebih baik, maka sudah seharusnya kami legowo dan mendukung setiap langkah Pak Presiden demi terwujudnya cita-cita mencapai kesejahteraan dan keadilan sosial,” Apalagi bila kedua tokoh itu segera menindaklanjuti dengan mengistruksikan kepada orang-orang di sekitarnya untuk tidak celometan dan saling menghujat, niscaya tensi dan eskalasi politik akan segera mereda dan pasti itu akan diikuti oleh para pendukung masing-masing.
Bila keduanya mampu bersikap negarawan, maka kedua tokoh itu akan tertulis dengan tinta emas dalam ephos (cerita kepahlawanan) bangsa ini. Dua tokoh itu akan ditulis dan dikenang sebagai Pahlawan Demokrasi dan Pahlawan Kemanusian sekaligus Pahlawan Persatuan bangsa ini. Keduannya juga akan dikenang sebagai ksatria sejati, karena dalam terminology Jawa kesatria sejati itu adalah, iso ngalahake tanpo ngasorake (bisa mengalahkan musuh tanpa mempermalukannya). Jadi kedua kubu tidak perlu lagi saling hujat yang merendahkan kubu lain.
Seperti diketahui berdasarkan hasil rekapitulasi resmi KPU pada 21 Mei, Jokowi - Ma'ruf meraih 85 juta suara atau 55,5 persen, sedangkan Prabowo - Sandiaga meraih 67 juta suara atau 44,5 persen. Jokowi - Ma'ruf meraih 85.607.362 suara, unggul 16,95 juta suara dari Prabowo - Sandiaga yang mendapatkan 68.650.239 suara. Tetapi sebelumnya kubu Prabowo mengklaim jika berdasarkan survey internal mereka meraih suara 63% dan kemudian direvisi menjadi 53 %. Artinya saat ini bangsa ini terbelah dan terfragmentasi menjadi dua kelompok yang saling berhadapan dengan kekuatan yang nyaris berimbang. Maka bila tensi dan eskalasi politik ini dibiarkan ini pasti sangat berbahaya bagi keutuhan bangsa ini. Apalagi kedua kubu juga punya akar di tubuh militer yang cukup kuat.
Kekhawatiran itu tidaklah berlebihan, karena untuk move on dari semangat kompetisi politik itu tidaklah mudah. Maklum selama lima tahun serta selama 7 bulan masa kampanye secara intensif terjadi aksi saling serang. Apalagi dibumbui dengan berbagai stigma dan framing negative yang tak jarang menghadirkan luka hati yang dalam. Bukti perseteruan yang terus berlanjut bisa diintip dalam medsos masing-masing. Kondisi bila dibiarkan maka menebar ujaran kebencian akan menjadi tabiat baru yang sangat buruk bangsa ini.
Bila filsuf kebudayaan asal Jerman, Ernest Casireen serta Haliday dan Joseph Broam membuat tesis menarik yang menyatakan jika manusia adalah animal symbolicum (manusia adalah makhluk symbol) berupa bahasa untuk berkomunikasi dan berinteraksi dengan manusia lainnya, yang terjadi di Indonesia justru sebaliknya. Masyarakat Indonesia menggunakan binatang sebagai simbol (animal as a symbol), yakni kampret dan kecebong. Simbol yang bernuannsa cercaan karena dalam strktur social fauna, keduanya adalah binatang marginal. Fenomena ini tidak bisa dipandang sebagai bentuk selera humor kita yang tinggi, tetapi justru upaya untuk membelah masyarakat menjadi dua kelompok yang saling berhadapan.
Maka sudah saatnya kedua pemimpin harus mengintruksikan para pendukungnya untuk menghilangkan imaginasi liarnya dengan bersikap nyinyir, menghina dan menghujat kelompok lainnya. Sekaligus menghapus dua frase itu dalam literatur pergaulan masyarakat. Bila keduanya ingin tercatat sebagai pemimpin yang benar-benar mencintai negeri (hubbul wathan). Karena sesungguhnya cinta tanah air adalah sebagian dari iman, QS,Al Qhashas 85. Bahkan dalam sebuah hadist sahabat Umar RA berkata; “Jika bukan karena cinta tanah air, niscaya akan rusak negeri yang jelek (gersang), maka sebab cinta tanah air lah, dibangunlah negeri-negeri”. (Ismail Haqqi al-Hanafi, Ruhul Bayan, Beirut, Dar Al-Fikr, Juz 6, hal. 441-442).
Mencintai tanah air bukan berarti meniadakan kelompok yang lain. Antara kampret atau kecebong tidak bisa mengklaim yang paling berhak hidup di negeri ini. Tetapi cinta tanah air harus diwujudkan dengan cara menebar kasih terhadap kelompok lain agar mau bergandengan tangan dan berjalan bersama-sama. Maka sekarang kita tunggu, apa yang akan dilakukan oleh para pemimpin kita itu.”Piye gelem opo ora Kang Jokowi dan Mas Prabowo ?”.***