Negeri Yang Tidak Ramah Terhadap Kaum Setengah Miskin
Oleh : Gugus Elmo Ra’is
Dalam pidato kenegaraan, 16 Agustus 2018 lalu Presiden Jokowi menyatakan jika pemerintah telah berhasil menurunkan tingkat kemiskinan. Hingga bulan Maret 2018 lalu, angka kemiskinan turun satu digit menjadi 9,82 %. Bila sebelumnya 11, 22 persen atau sekitar 28,59 juta jiwa kini menjadi 9,82% atau sekitar 25,95 juta jiwa. Dalam kesempatan yang sama Jokowi juga mengatakan jika pemerintah telah memberikan bantuan melalui Program Keluarga Harapan (PKH) terhadap 10 juta keluarga pada tahun 2018. Selain program PKH pemerintah juga memiliki beberapa program pro sosial, seperti program BPJS, serta program Indonesia Pintar. Sehingga kehidupan orang miskin di Indonesia saat ini relatif terjamin.
Sementara menurut Global Wealth Report, jumlah orang kaya Indonesia dengan kepemilikan aset diatas USD 1 juta atau sekitar Rp 14,9 miliar terus meningkat. Jumlah orang kaya di Indonesia pada 2017 mencapai 111 ribu orang atau sekitar 0, 041 % . Angka itu naik dari tahun sebelumnya yang 105 ribu orang, dan 98 ribu orang di 2015. Jika kita menggunakan asumsi. jumlah kelas menengah dan atas yang ada di Indonesia mencapai 10% atau sekitar 26 juta jiwa, maka dari sekitar 267 juta jiwa (berdasarkan data tahun 2019) ada sekitar 52 juta jiwa warga negara Indonesia yang saat ini masuk ‘zona nyaman’. Yang terdiri dari dua strata sosial yakni masyarakat yang miskin dan kelas menengah atas yang saat ini bisa hidup dengan tenang. Meski angka 10% untuk kelas menengah atas itu terbilang mustahil.
Dengan kata lain, bila kita menggunakan asumsi itu ada sekitar 217 juta jiwa warga negara Indonesia yang masuk dalam kelas midlle low (menengah kebawah). Atau dalam bahasa yang lebih mudah dicerna adalah masyarakat yang masuk kategori setengah miskin yang jumlahnya lima kali lipat lebih banyak daripada masyarakat miskin. Masyarakat dalam strata sosial inilah yang saat ini sedang ‘nangis bombay’ menghadapi berbagai realitas sosial, ekonomi yang terjadi.
Argumentasinya, untuk mendukung berbagai program yang dimiliki, pemerintah melakukan berbagai kebijakan yang inflatoir dengan mencabut berbagai subsidi seperti kenaikan TDL, kenaikan harga BBM yang menimbulkan contagion effect (efek karambol) berupa kenaikan beberapa komoditas terutama bahan-bahan kebutuhan pokok. Sementara pendapatan mereka statis dan tidak mengalami perubahan yang signifikan. Padahal kelas sosial ini relative mobile, karena aktiv melakukan kegiatan ekonomi yang memerlukan cost/biaya yang ekstra. Faktor inilah yang memunculkan fenomena gerakan emak-emak memprotes kenaikan harga kebutuhan pokok.
Selain untuk mendukung berbagai program, pencabutan berbagai subsidi itu dilakukan pemerintah untuk memperoleh anggaran yang diperlukan untuk pembangunan infrastruktur selain dari hutang. Tetapi semua pembangunan infrastruktur seperti jalan tol, pelabuhan atau bandara itu adalah fasilitas berbayar. Artinya untuk menikmati semua fasilitas itu harus memerlukan biaya atau tidak gratis. Sehingga tetap memerlukan biaya bagi para penggunanya karena semua itu bukan fasilitas sosial.
Kondisi itulah yang mengakibatkan daya beli masyarakat ngedrop. Dari aspek budaya memang kondisi itu bisa memberikan dampak positif. Karena bisa mengerem budaya konsumtif di masyarakat. Tetapi dari aspek ekonomi ini adalah lampu kuning dan sinyal yang berbahaya bagi perekonomian nasional. Karena ambruknya daya beli masyarakat akan membuat sector riil bisa hancur. Tesis inilah yang menjelaskan kenapa saat ini memasuki musim gugur berbagai pusat perbelanjaan. Multiplier effect dan spill over efffect hancurnya daya beli itu menghancurkan sektor industri yang pada gilirannya merusak pasar tenaga kerja. Maka bila pemerintah terlalu pede dan membiarkan persoalan itu bukan tidak mungkin perekonomian nasional akan stag, karena mampetnya sektor konsumsi.
Sementara mengandalkan belanja pemerintah juga sangat riskan, mengingat rendahnya tingkat penyerapan anggaran. Hal itu terjadi karena banyak pejabat yang enggan menjadi pimpro karena takut terjerat kasus korupsi. Dampaknya banyak program yang mangkrak di kementerian. Sehingga anggaran tidak bisa diserap, harapan terjadinya efek rembesan (trickle down effect) tidak terjadi. Bila pemerintah tidak segera mengeluarkan kebijakan yang menjadi antitesa dari kebijakan yang memunculkan turbulensi ekonomi itu, bukan tidak lama lagi perekonomian nasional akan mengalami krisis.
Selain sektor konsumsi yang kembang kempis, kalangan dunia usaha juga mengalami lesu darah, selain karena rendahnya daya beli dan tingkat persaingan yang semakin ketat. Disinilah negara harus hadir dan mau berpihak kepada pengusaha kecil. Kebijakan melepaskan ke mekanisme pasar dengan pendekatan profesional merupakan pilihan yang tidak bijak dan merupakan ciri-ciri liberalisme. Kaum pemodal (kapitalis) akan dengan mudah menggilas para pengusaha kecil. Bahkan tak jarang mereka melakukan praktek kartel untuk mengendalikan pasar. Sementara kemampuan KPPU relative terbatas. Kesimpulannya teori Adam Smith maupun Keynes tidak tepat diterapkan di Indonesia yang masuk kategori negara berkembang dengan kualitas SDM yang masih terbatas.
Maka pendekatan ala Mancur Olson yang menekankan perlunya negara hadir dan memberikan stimulus menjadi sangat relevan. Penulis buku The Logic of Colectiv Action mengeluarkan tesis jika negara harus memberikan stimulus agar ada kelas tertentu yang tumbuh secara bersama-sama untuk menghela kelas di bawahnya. Sehingga keseimbangan pertumbuhan ekonomi antara sector makro dan mikro akan terjaga. ***