Diperkirakan saat ini, 440 orang Kelompok Penyelenggara Pemungutan Suara (KPPS) Pemilu 2019 telah meninggal dunia dan ribuan atau tepatnya sekira 3.788 orang telah jatuh sakit, maka kematian dan sakit massal ini dinilai oleh sebagian elit politik sangat misterius dan langka.
Akibat maraknya petugas KPPS yang meninggal dan sakit massal ini, maka ada pemikiran dari sejumlah elit politik, agar korban atau petugas KPPS yang meninggal itu segera di otopsi dan / atau di visum et repertum mayatnya, demi kepastian hukum dan demi keadilan serta guna menghindari polemik misterius berkepanjangan.
Visum et repertum adalah laporan tertulis yang dibuat oleh dokter berdasarkan sumpah jabatan, mengenai apa yang dilihat/diperiksa secara fisik (bukan bedah) berdasarkan keilmuannya, atas permintaan tertulis dari pihak berwajib (dalam hal ini oleh Penyidik Polri) untuk kepentingan peradilan, hal ini dapat diterima dalam hal kasus luka berat atau ringan, namun dalam hal mengungkap sebab-sebab kematian sulit diterima sebagai kesimpulan awal Penyebab kematian Korban, Maka untuk itu, perlu dilakukan otopsi.
Bahwa menurut kamus kesehatan : Otopsi (post-mortem) adalah pembedahan dan pemeriksaan organ-organ dan jaringan mayat untuk menemukan penyakit dan cedera yang menyebabkan atau berkontribusi terhadap kematian. Otopsi (Juga Dikenal Pemeriksaan kematian atau Nekropsi) yaitu adalah “Tindakan Investigasi Medis Terhadap obyek jenazah untuk memeriksa sebab–sebab terjadinya kematian”.
Kata "Otopsi" berasal dari bahasa Yunani yang berarti "Lihat Dengan Mata Sendiri". "Nekropsi" berasal dari bahasa Yunani yang berarti "melihat mayat".
Otopsi adalah pemeriksaan kematian dan bedah mayat dan disebut juga dengan Nekropsi (investigasi terhadap tubuh yang bukan manusia). Kata "otopsi" berasal dari bahasa Yunani yang berarti "lihat dengan mata kepala sendiri". Sedangkan "Nekropsi" berasal dari bahasa Yunani yang berarti "Melihat Mayat / Jenazah".
Otopsi merupakan pemeriksaan medis tubuh manusia yang telah mati, setelah melakukan survey dan ivestigasi terhadi jenazah tersebut, selanjutnya membuat kesimpulan. Ada terdapat dua jenis otopsi yakni ;
1). Otopsi Klinis dilakukan oleh Patolog atau dokter lain atas permintaan dokter yang merawat jenazah tersebut untuk tujuan pelajaran dan riset;
2). Otopsi Forensik dilakukan oleh Ahli Patologi Forensik atas permintaan badan penegak hukum (Polisi, Jaksa, Hakim Dan Advokat) Untuk mengungkap sebab-sebab kematian agar terungkap dalam suatu perkara yang sedang ditangani.
Kesimpulan : “Jadi satu-satunya cara untuk mengetahui secara pasti, tentang penyebab kematian seseorang / korban adalah mutlak dilakukan otopsi oleh dokter yang berwenang untuk itu. bahwa diluar daripada itu, tidak ada kepastian hukumnya”.
Jika keluarga korban menolak mayat untuk dilakukan otopsi, berarti keluarga telah ikhlas atas kematian korban, dan tidak akan menuntuk pidana dan perdata kepada siapapun dikemudian hari. Namun jika keluarga atau ada pihak lain ternyata ingkar dan/atau menuntut pertanggung jawaban hukum, maka terhadap keluarga /pihak yang melarang / menghalangi otopsi itu, dapat dikenai tindak pidana, berupa tindak pidana menghalang-halangi penyidikan Polri.