Hajatan politik Bangsa Indonesia dalam bentuk pemilihan presiden (Pilpres) dan pemilihan legislative (Pileg) serentak telah usai digelar 17 April lalu. Namun pesta demokrasi itu telah menyisakan paradoks, bahkan menjadi sejarah kelam demokrasi di negeri ini. Disatu sisi prosesi pemilihan itu berjalan dengan tertib dan aman, namun disisi lain pra dan pasca pencoblosan justru menebarkan cerita horror. Ancaman perpecahan serta banyaknya kematian para petugas telah menghadirkan kesedihan yang sangat mendalam.
Sesuai dengan ketentuan Pasal 222 UU No 7 Tahun 2017 tentang ambang batas pencalonan presiden (presidential treshold), maka setiap Capres harus didukung minimal 20 persen kursi di Parlemen. Ketentuan itu membuat tidak banyak sosok yang memenuhi kriteria untuk mencalonkan diri. Kondisi ini membuat konstelasi politik menjadi rumit, karena terjadi tarik-tarikan koalisi. Bukan seperti tesis Huang Wa, koalisi tidak bisa dibangun berdasarkan kesamaan platform tetapi semata-mata dilakukan berdasarkan pertimbangan pragmatis dan trading horse (politik dagang sapi). Dan alhasil hanya dua pasangan Capres dan Cawapres yang bisa ikut dalam kontestasi Pilpres.
Maka semenjak dimulainya masa kampanye tanggal 23 September 2018 atau sekitar 7 bulan telah terjadi perang propaganda antara dua kelompok, yang bertujuan untuk mendiskreditkan lawan. Berbagai framing dan stigma negatif saling dilemparkan oleh kedua kelompok, hanya semata-mata untuk memancing fanatisme sempit bagi massa pendukungnya masing-masing. Perang propaganda terutama melalui Medsos itu terbukti efektif untuk menggiring alam bawah sadar para pendukungnya terutama kelompok garis keras (die hard) sehingga menimbulkan militansi buta. Hingga detik ini perang propaganda dan stigma antara dua kelompok itu masih sengit. Kondisi ini bila tidak segera diredakan bisa menggiring bangsa ini terjerumus dalam perpecahan. Ironisnya, himbuan untuk menahan diri dari para calon itu sangat minim.
Kondisi yang lebih miris terjadi pasca prosesi pencoblosan. Pelaksanaan Pilpres yang dilakukan secara bersamaan dengan Pileg berdasarkan hasil judicial review ke Mahkamah Konstitusi (MK) yang dilakukan oleh Koalisi Masyarakat Untuk Pemilu Serentak ternyata menimbulkan bencana demokrasi. Terkesan jika permohonan itu sangat gegabah dan tidak melalui pertimbangan yang matang, meski konsideran permohonan itu demi efisiensi.
Seperti diketahui jika, untuk menghimpun suara dari 192 juta Daftar Pemilih Tetap (DPT) yang tersebar di seluruh daerah dan luar negeri, maka KPU membuat 813.350 Tempat Pemungutan Suara (TPS). Dengan model pemilihan serentak ini setiap pemilih harus mencoblos 5 jenis kertas suara, dengan jumlah Caleg yang sangat banyak, maka beban kerja para petugas Kelompok Penyelenggara Pemungutan Suara (KPPS) menjadi sangat berat. Apalagi dengan atmosfir penuh kecurigaan yang sangat tinggi seperti saat ini, membuat setiap petugas dituntut untuk melakukan kerja dengan teliti dan presisi yang tinggi. Jelas kondisi seperti ini sangat menguras energy baik secara fisik maupun mental.
Dan dampaknyapun sangat mengerikan, hingga opini ini ditulis tercatat 90 petugas KPPS, 26 petugas Bawaslu dan 15 anggota polisi yang meninggal dunia karena terindikasi kecapekan dalam mengawala proses pencoblosan. Bahkan kini masih ada 374 petugas KPPS yang masih dirawat di rumah sakit. Mereka berjibaku bahkan berjihad demi kesuksesan Pemilu, meski hanya mendapatkan honor sebesar Rp 500 ribu. Pemilu 2019 ini tercatat sebagai Pemilu yang paling horor dalam sejarah republik ini.
Ironisnya, hingga saat ini masih belum ada ungkapan belasungkawa dari para calon. Apalagi memperhatinkan para keluarga korban. Hanya sekedar pengumuman jika keluarga itu diberi santunan Rp 30 juta. Mereka hanya sibuk saling mengklaim telah memperoleh kemenangan sekaligus melontarkan tuduhan jika lawannya telah berbuat curang. Maka kualitas demokrasi yang didambakan untuk mewujudkan kedaulatan rakyat sesuai permis jika ‘Suara rakyat adalah suara Tuhan” (vox populi vox dei) pantas untuk dipertanyakan.
Pesta demokrasi itu telah menjelma sebagai bencana demokrasi. Diktum jika demokrasi sebagai sarana untuk memperkuat posisi rakyat terhadap pusat kekuasaan terbukti telah dimanipulasi oleh segelintir elit sebagai sarana untuk memperjuangkan kekuasaan (struggle of power ) belaka.***