Perlu Sinergi Antar Kepolisian RI Dengan Advokat Untuk Mewujudkan Indonesia Sebagai Negara Hukum
PH, saat bersama Irwasum Polri, Komjen Moechgiyarto
Oleh : Kamaruddin Simanjutak SH
Polri merupakan alat negara yang berperan dalam memelihara Kamtibmas, menegakkan hukum, serta memberikan perlindungan, pengayoman, dan pelayanan kepada masyarakat, dalam rangka terpeliharanya keamanan dalam negeri, sebagaimana dimaksud oleh Pasal 13 tentang Tugas Pokok Kepolisian Negara Republik Indonesia menurut UU RI No. 2 tahun 2002 tentang Kepolisian RI.
Bahwa menurut Pasal 2, UU RI No. 2 tahun 2002 tentang Kepolisian RI, “Fungsi Kepolisian adalah salah satu fungsi pemerintahan Negara di bidang pemelihara keamanan dan ketertiban masyarakat, penegak hukum, perlindungan, pengayoman dan pelayanan masyarakat”.
Menurut ketentuan Pasal 3: “(1) Pengemban fungsi Kepolisian adalah Kepolisian Negara Republik Indonesia yang dibantu oleh : a. kepolisian khusus, b. pegawai negeri sipil dan/atau c. bentuk-bentuk pengamanan swakarsa. (2) Pengemban fungsi Kepolisian sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf a,b, dan c, melaksanakan fungsi Kepolisian sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang menjadi dasar hukum masing-masing.
Adapun tugas pokok Kepolisian menurut Pasal 13 UU RI No. 2 tahun 2002 tentang Kepolisian RI, bahwa Tugas Pokok Kepolisian Negara Republik Indonesia adalah sebagai berikut:
a. Memelihara keamanan dan ketertiban masyarakat b. Menegakkan hukum c. Memberikan perlindungan, pengayoman dan pelayanan kepada masyarakat. Penjabaran tugas Kepolisian dijelaskan lagi pada Pasal 14 UU Kepolisian RI[/b]
Kewenangan Kepolisian RI menurut Pasal 15 dan 16 UU Kepolisian RI adalah perincian mengenai tugas dan wewenang Kepolisian RI, sedangkan Pasal 18 berisi tentang diskresi Kepolisian yang didasarkan kepada Kode Etik Kepolisian.
Sesuai dengan rumusan fungsi, tugas pokok, tugas dan weweang Polri sebagaimana diatur dalam UU No. 2 tahun 2002, maka dapat dikatakan fungsi utama kepolisian meliputi :
1. Tugas Pembinaan masyarakat (Pre-emtif), Tugas Polri dalam bidang ini adalah Community Policing, dengan melakukan pendekatan kepada masyarakat secara sosial dan hubungan mutualisme.
2. Tugas di bidang Preventif adalah segala usaha dan kegiatan di bidang kepolisian preventif untuk memelihara keamanan dan ketertiban masyarakat, memelihara keselematan orang, benda dan barang termasuk memberikan perlindungan dan pertolongan, khususnya mencegah terjadinya pelanggaran hukum. Dalam melaksanakan tugas ini diperlukan kemampuan professional tekhnik tersendiri seperti patrolil, penjagaan pengawalan dan pengaturan.
3. Tugas di bidang Represif, bahwa di bidang represif terdapat 2 (dua) jenis peran dan fungsi Kepolisian Negara Republik Indonesia yaitu represif justisiil dan non justisiil, hal ini terkait dengan Pasal 18 ayat 1(1) , yaitu wewenang ” diskresi kepolisian” yang umumnya menyangkut kasus ringan.
KUHAP memberi peran Polri dalam melaksanakan tugas represif justisil dengan menggunakan azas legalitas bersama unsur Criminal Justice Sistem lainnya. Tugas ini memuat substansi tentang cara penyidikan dan penyelidikan sesuai dengan hukum acara pidana dan peraturan perundang-undangan lainnya.
Bila terjadi tindak pidana, penyidik melakukan kegiatan berupa:
1. Mencari dan menemukan suatu peristiwa yang dianggap sebagai tindak pidana; 2. Menentukan dapat atau tidaknya dilakukan penyidikan; 3. Mencari serta mengumpulkan bukti; 4. Membuat terang tindak pidana yang terjadi; 5. Menemukan tersangka pelaku tindak pidana, sehingga untuk mewujudkan itu semua, Polri dalam melaksanakan tugas pokok, fungsi dan perannya itu, perlu bersinergi dengan Advokat untuk tujuan melegitimasi tindakan Kepolisian sebagai penegakan hukum.
Advokat adalah berstatus sebagai penegak hukum yaitu satu dari empat perangkat penegak hukum, yang dalam proses peradilan kedudukannya setara dengan penegak hukum lainnya, guna menegakkan hukum dan keadilan. Lebih tegas lagi Advokat adalah bagian dari Caturwangsa Penegak Hukum (Polisi, Jaksa, Hakim dan Advokat) atau satu pilar dari empat pilar penegak supremasi hukum dan juga sebagai pelindung hak asasi manusia di Indonesia, sehingga Advokat sering pula disebut sebagai Pengawal Konstitusi “The Guardian Of Constitution” sehingga ketika Advokat Dilabeli Sebagai Profesi Yang Terhormat & Mulia “Officium Nobile” menurut saya sudah tepat.
Menurut ketentuan pasal 24 Ayat (1) UUD 1945 : “bahwa kekuasaan kehakiman merupakan kekuasaan yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan, maka selain pelaku kekuasaan kehakiman, yaitu Mahkamah Agung dan Mahkamah Konstitusi, dan badan-badan lain yang fungsinya berkaitan dengan kekuasaan kehakiman, wajib mendukung terlaksananya kekuasaan kehakiman yang benar-benar merdeka. Salah satunya adalah Profesi Advokat Yang Bebas, Mandiri, Dan Bertanggungjawab, sebagaimana yang diamanahkan oleh Undang-Undang RI Nomor 18 Tahun 2003 tentang Advokat.
Advokat tidak bisa lagi dipandang sebagai pelengkap persidangan, atau sebagai pelengkap penderita dalam persidangan dan kadang-kala hanya dianggap memperlambat dan/atau mempersulit jalannya persidangan, pandangan seperti ini adalah pandangan kuno yang tentunya harus ditolak karena keliru dan/atau salah menurut hukum modern, karena oknum yang berpikir seperti itu tentunya karena tidak mau “move on” untuk belajar tentang kedudukan, fungsi dan peranan advokat sesuai perkembangan jaman dan system hukum positif yang modern.
Bahwa sejak diundangkannya Undang – Undang RI Nomor. 18 Tahun 2003 tentang Advokat di Jakarta pada tanggal 5 April 2003, maka Undang-undang Advokat ini telah memberikan kedudukan hukum advokat secara tegas dan jelas adalah setara atau sejajar dengan penegak hukum lainnya yaitu setara dengan polisi, jaksa dan hakim, hal ini didukung & diperkuat oleh ketentuan pasal 37 Undang-undang No. 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman meyebutkan “ Setiap orang yang tersangkut perkara berhak memperoleh bantuan hukum”.
Advokat memiliki kewenangan dan/atau hak hukum untuk menguji materil Hukum dan perundang-undangan yang berlaku, termasuk untuk menguji “adanya bukti permulaan cukup atas setiap orang yang disangka melakukan perbuatan dugaan kesalahan dan/ atau dugaan perbuatan tindak pidana" maka advokat bersama penegak hukum lainnya berhak menguji materil, (prapenyidikan maupun prapenuntutan) dengan tetap berpedoman pada azas praduga tak bersalah, sebagai dasar untuk menguji kesalahan seseorang, apakah cukup bukti yang ditentukan dalam KUHAP dan telah memenuhi semua unsur pasal dari setiap pasal yang disangkakan, berdasar atau beralasan hukum ?
Adapun asas praduga tak bersalah “Presumption Of Innocence” sebagaimana dijelaskan dalam Penjelasan Umum KUHAP butir ke 3 huruf c yaitu:
“Setiap orang yang disangka, ditangkap, ditahan, dituntut dan atau dihadapkan di muka sidang pengadilan, wajib dianggap tidak bersalah sampai adanya putusan pengadilan yang menyatakan kesalahannya dan memperoleh kekuatan hukum tetap.”
Sedangkan dalam UU RI tentang Kehakiman, asas praduga tak bersalah diatur dalam Pasal 8 ayat (1), SBB : “Setiap orang yang disangka, ditangkap, ditahan, dituntut, atau dihadapkan di depan pengadilan wajib dianggap tidak bersalah sebelum ada putusan pengadilan yang menyatakan kesalahannya dan telah memperoleh kekuatan hukum tetap.”
Undang-Undang Advokat merupakan asas legalitas bagi setiap advokat dalam menjalankan tugas, fungsi & peran profesinya yang tentunya wajib patuh kepada Kode Etik Advokad, sehingga dalam menjalankan profesinya tetap harus berpegang pada sumpah atau janji dan kode etik profesi advokat dan peraturan perundang-undangan terkait lainnya yang berlaku di NKRI, agar advokat dimaksud memperoleh hak Imunitas.
Menurut Pasal 16 UU RI tentang Advokat “Advokat tidak dapat dituntut baik secara perdata maupun pidana dalam menjalankan tugas profesinya dengan itikad baik untuk pembelaan Klien dalam sidang Pengadilan”.
Adapun menurut penjelasan Pasal 16 UU Advokat menyatakan, “Yang dimaksud dengan “itikad baik” adalah menjalankan tugas profesi demi tegaknya keadilan berdasarkan hukum untuk membela kepentingan Kliennya. Yang dimaksud dengan “sidang pengadilan” adalah sidang pengadilan dalam setiap tingkat pengadilan di semua lingkungan peradilan.”
Berbeda dengan Putusan Majelis Mahkamah Konstitusi (MK) akhirnya mengabulkan tuntutan sejumlah advokat muda agar memperoleh perlindungan hukum di luar sidang lewat uji materi Pasal 16 UU No. 18 Tahun 2003 tentang Advokat. Majelis menyatakan Pasal tersebut inkonstitusional bersyarat.
Dalam putusannya, Mahkamah menyatakan Pasal 16 UU Advokat harus dimaknai bahwa advokat tidak dapat dituntut secara pidana atau perdata selama menjalankan tugas dan profesinya dengan iktikad baik di dalam maupun di luar persidangan.
“Pasal 16 UU Advokat bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai, ‘advokat tidak dapat dituntut baik secara perdata maupun pidana dalam menjalankan tugas profesinya dengan iktikad baik untuk kepentingan pembelaan klien di dalam maupun di luar sidang pengadilan’,” ucap Ketua Majelis, Hamdan Zoelva saat membacakan putusan bernomor 26/PUU-XI/2013 di gedung MK, Rabu (14/5).
Adapun Hak- Hak Dan Kewajiban Advokat telah diatur secara tegas dan limitatif dalam Pasal 14, 15, 16, 17, 18, 19, 20 Undang – Undang RI Nomor 18 Tahun 2003 tentang Advokat seperti advokat bebas mengeluarkan pendapat atau pernyataan dalam membela perkara yang menjadi tanggung jawabnya di dalam sidang pengadilan dengan tetap berpegang pada kode etik profesi dan peraturan perundang-undangan.
Advokat bebas dalam menjalankan tugas profesinya untuk membela perkara yang menjadi tanggung jawabnya dengan tetap berpegang pada kode etik profesi dan peraturan perundang-undangan. Advokat berhak memperoleh informasi, data, dan dokumen lainnya, baik dari instansi Pemerintah maupun pihak lain yang berkaitan dengan kepentingan tersebut yang diperlukan untuk pembelaan kepentingan Kliennya sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
Advokat dalam menjalankan tugas profesinya dilarang membedakan perlakuan terhadap Klien berdasarkan jenis kelamin, agama, politik, keturunan, ras, atau latar belakang sosial dan budaya.
Advokat tidak dapat diidentikkan dengan Kliennya dalam membela perkara Klien oleh pihak yang berwenang dan/atau masyarakat. Advokat wajib merahasiakan segala sesuatu yang diketahui atau diperoleh dari Kliennya karena hubungan profesinya, kecuali ditentukan lain oleh Undang-undang.
Advokat berhak atas kerahasiaan hubungannya dengan Klien, termasuk perlindungan atas berkas dan dokumennya terhadap penyitaan atau pemeriksaan dan perlindungan terhadap penyadapan atas komunikasi elektronik Advokat.
Advokat dilarang memegang jabatan lain yang bertentangan dengan kepentingan tugas dan martabat profesinya. advokat dilarang memegang jabatan lain yang meminta pengabdian sedemikian rupa sehingga merugikan profesi advokat atau mengurangi kebebasan dan kemerdekaan dalam menjalankan tugas profesinya.
Advokat yang menjadi pejabat negara, tidak melaksanakan tugas profesi advokat selama memangku jabatan tersebut.Untuk penegakan supremasi hukum, maka Polri dan advokat perlu bersinergi, termasuk dengan jaksa maupun dengan hakim, dengan tujuan agar semakin kuat Legitimasi penegakan hukumnya, sebab sudah ada undang – undang yang mengatur tindakan masing-masing penegak hukum mulai dari : Kepolisian, Kejaksaan, maupun Kehakiman termasuk Advokat dalam rangka menjalankan tugas, fungsi dan perannya sebagai penegak hukum.
Keberadaan advokat akan memperkuat legitimasi hukum, sehingga Polri akan lebih berani dan yakin “Firm” dalam menegakkan hukum itu sendiri bila dibantu oleh advokat karena produk/berkas perkara Kepolisian/Penyidik akan lebih sah “legitimate” bila ada unsur advokatnya didalamnya, seperti hal yang dilakukan oleh Penyidik KPK RI pada setiap OTT dan pemeriksaan tersangka, selalu menunggu advokat untuk mendampingi pada setiap pemeriksaan tersangka.
Advokat sebagai pengawal konstitusi tentunya akan mendukung pemerintah yang sah dan/atau mendukung pasangan terpilih secara demokratis dan konstitusional dan/atau akan menolak segala tindakan yang ingin mengambil kekuasaan dengan cara inkonstitusional dan/atau makar.
Advokat sebagai “The guardion of constitution” atau pengawal konstitusi tentunya bersama penegak hukum lainnya (polisi, jaksa dan hakim) harus berani menolak oknum-oknum yang menyalahgunakan kekuasaan maupun kewenangan yang ada padanya, misalnya dengan memperalat atau menggunakan issu SARA sebagai alat untuk “konflik management” seperti pembentukan Ormas-ormas radikal oleh oknum-oknum tertentu, untuk merusak tatanan Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Untuk mengatasi permasalahan “SARA & Provokasi serta Ujaran Kebencian” tersebut diperlukan fungsi & peran advokat untuk mendukung tindakan tegas pemerintah Indonesia guna membina dan/atau membubarkan setiap organisasi atau faham radikal yang selalu merusak dan/atau mengancam eksistensi Negara Kesatuan Republik Indonesia Yang Berbhineka Tunggal Ika ini.
Advokat, Polri, Kejaksaan dan Kehakiman bersama rakyat, wajib menegakkan Pancasila sebagai dasar dan ideologi Negara RI, sebagai sumber segala sumber hukum positif di NKRI, juga menolak segala bentuk kecurangan, penyalahgunaan kewenangan termasuk menolak segala bentuk tindak pidana korupsi disegala bidang pelayanan masyarakat.
Advokat, Polri, Kejaksaan dan Kehakiman bersama rakyat, harus berani berikrar dan/atau bersumpah/berjanji bahwa akan selalu setia dan taat kepada Pancasila, UUD 1945 serta menjaga kedaulatan Negara Kesatuan Republik Indonesia yang ber-Bhinneka Tunggal Ika, dengan menolak segala bentuk provokasi dan ujaran kebencian yang berpotensi merusak persatuan dan kesatuan Bangsa Indonesia.
Bahwa seperti halnya hakim dan jaksa serta polisi, advokat pada hakikatnya juga mempunyai satu tujuan dengan penegak hukum lainnya yaitu : “hendak meluruskan hukum, mempertahankan serta menegakkan hukum dan keadilan agar jalannya penegakan hukum materil sesuai dengan hukum acara / formal yang berlaku”.
Bahwa ketentuan Pasal 5 Ayat (1) UU Advokat memberikan status kepada advokat sebagai penegak hukum yang mempunyai kedudukan setara dengan penegak hukum lainnya dalam menegakkan hukum dan keadilan. Adapun kedudukan advokat tersebut memerlukan suatu organisasi yang merupakan satu-satunya wadah profesi advokat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28 Ayat (1) UU Advokat, yaitu ”Organisasi Advokat merupakan satu-satunya wadah profesi advokat yang bebas dan mandiri yang dibentuk sesuai dengan ketentuan Undang-Undang ini dengan maksud dan tujuan untuk meningkatkan kualitas profesi advokat”.
Bahwa agar ada tanggung jawab advokat untuk menyelenggarakan peradilan yang jujur, adil dan memberi kepastian hukum bagi semua pencari keadilan (klien) dalam menegakkan hukum, kebenaran dan hak asasi manusia, maka sangat diperlukan organisasi tunggal advokat (single bar) sehingga kwalitas atau standar mutu advokat dan perilaku advokat bisa diatur dan ditingkatkan oleh organisasi advokat melalui pendidikan, ujian, seminar, magang dan Kode Etik Advokat dan apabila ada pelanggaran yang bersangkutan dapat ditindak oleh Dewan Kehormatan Advokat.
Demikian tulisan ini, semoga bermamfaat bagi para pembaca yang budiman.
• Penulis adalah advokat dan pendiri Firma Hukum Victoria