a a a a a a a a a a a
logo
Tentang KamiKontak Kami
Iklan Utama 2

Perlukah Sinkretisme Ideologi Untuk Mempersatukan Bangsa

Perlukah Sinkretisme Ideologi Untuk Mempersatukan Bangsa
Oleh : Gugus Elmo Ra’is

Suksesi kepemimpinan nasional melalui Pilpres 2019 telah menghasilkan sejumlah cacatan penting yang menjadi pekerjaan rumah bersama seluruh elemen bangsa ini. Bagaimana cara merawat kebhinekaan demi terjaganya persatuan dan kesatuan bangsa sesuai dengan semangat dari sila ke 3 Pancasila. Dalam kontestasi itu masyarakat telah terbelah oleh framing dan stigma yang membahayakan.

Pasangan calon (Paslon) no 01 dituduh dekat dengan ekstrim kirim (eks anggota PKI), apalagi dengan kedekatan pemerintah sekarang dengan Beijing, seakan menghadirkan nostalgia masa lalu. Ketika era Ode Lama ada poros Jakarta-Beijing yang telah memberikan ruang terhadap ideologi Komunis tumbuh subur di Indonesia. Sebaliknya Paslon 02 juga dituduh dekat dengan ekstrim kanan (eks anggota HTI) yang ditengarai ingin merubah haluan Negara.

Maski framing dan stigma itu hanyalah propaganda kelompok-kelompok  tertentu yang menjadi komoditas politik sesaat untuk mendiskreditkan lawan-lawan politiknya jelang Pilpres, tetapi bila sentimen itu dibiarkan mengendap dalam hati masing-masing loyalis, itu bisa menumbuhkan bibit-bibit perpecahan bangsa ini. Fenomena galon (gagal move on) masih terlihat dengan jelas di media sosial (medsos). Kondisi itu melahirkan pertanyaan besar, bagaimana cara generasi muda sekarang dalam memaknai semangat persatuan yang termaktub dalam sila ke 3 Pancasila, apalagi ditengah-tengah semangat kebebasan dengan banyaknya partai sekaligus politik aliran.

Salah satu gagasan yang sempat muncul adalah adanya komunitas Muslim Nusantara yang kontroversial. Gagasan itu hingga saat ini belum tersosialisasi dengan baik, apakah itu produk sinkretisme antara Islam dengan nilai-nilai lokal atau hanya sekedar nama sebagai komunitas Muslim yang menjalankan ibadah secara kaffah, tetapi memiliki semangat untuk menjaga dan merawat persatuan. Tanpa adanya sosialisasi yang jelas, itu hanya akan melahirkan resistensi bagi kelompok-kelompok Islam salaf (gerakan pemurnian) yang akan mengecap jika gagasan itu adalah bid’ah dholalah (tambahan yang sesat). Sehingga dalam pandangan kelompok-kelompok salaf, gagasan itu  harus ditentang bila perlu  dilawan.

Gagasan tentang sinkretisme ideologi sebenarnya bukan hal yang baru. Terilhami oleh gagasan yang sama dalam mempersatukan India yang dilakukan oleh Kamarakhan Gandhi  yang bisa menyatukan tiga ideologi besar, Hindu, Komunis serta Islam, Bung Karno  melalui bukunya Nasionalisme, Islamisme dan Marxisme 1928, ingin melakukan hal yang sama. Soekarno yang memang gandrung persatuan karena terilhami oleh gagasan kebangsaan, Otto Bauer, Ernest Renan, Karl Kausky dan Karl Radek ingin menggabungkan nasionalisme, islamisme dan komunisme (Nasakom).

Tetapi Soekarno mungkin juga lupa, perbedaan pola perjuangan membuat tiga elemen itu seperti minyak dan air yang tidak mungkin dipersatukan. Komunis selalu menggunakan ‘mahzab’  perjuangan dan revolusi kelas, seperti yang terjadi di China dan Rusia. Sementara nasionalisme dan islamisme yang cenderung sosialis filantropis lebih menggunakan pola kesadaran kelas, melalui zakat dan shodaqoh.

Dan terbukti unifikasi itu tidak berumur lama, hanya berselang dua tahun Muhammad Ali Jinah memberontak dan membentuk negara sendiri yang diberi nama Pakistan pada tahun 1947. Di Indonesia sendiri, PKI juga tidak pernah merasa nyaman dan seiring sejalan dengan dua ideologi besar lainnya, terbukti 1948 Muso ingin melakukan kudeta. Dan yang paling monumental adalah gerakan kudeta PKI yang terjadi pada tahun 1965 yang terkenal dengan G 30 S PKI.

Maka untuk menjaga dan merawat kbhinekaan  dalam bingkai persatuan seperti semangat dalam sila ke 3 Pancasila tidaklah harus melalui sinkretisme ideologi. Tetapi cukup redefinisi dan reorientasi Sila Persatuan Indonesia secara kekinian. Pancasila adalah intisari peradaban Bangsa Indonesia yang sangat plural dan majemuk. Sebagai catatan, menjadi Muslim yang kaffah, tidak akan pernah meninggalkan kodrat manusia sebagai makhluk sosial. Karena dalam Islam  sendiri perbedaan itu adalah fitrah seperti yang tersurat dalam QS Hujurat (13). Bahkan sesuai dengan isi perjanjian Madinah yang dilakukan oleh Nabi Muhmmad SAW, dengan para pemuka agama lain,   kaum muslim itu wajib merawat kebhinekaan tanpa harus mengurangi drajat keislamnnya seperti yang termaktub dalam QS Al Kafiruun.***
Opini Perlukah Sinkretisme Ideologi Untuk Mempersatukan Bangsa
Iklan Utama 5