Beberapa minggu terakhir publik disodori polemik tentang Rancangan Qanun (Raqan) Hukum Keluarga di Aceh yang memperbolehkan suami memiliki istri lebih dari satu (poligami). Bagi kaum feminis serta kalangan aktivis perempuan, dimasukannya plebisit poligami itu akan dinilai sebagai bentuk pelecehan serta upaya merendahkan harkat dan martabat wanita. Maka perlu sebuah diskursus secara utuh dari berbagai aspek tentang poligami. Terutama dari aspek hukum dan aspek sosial.
Dalam pesepektif historis, aturan yang mengatur tentang hukum poligami itu sebenarnya sudah tertera ketentuan (lex certa, lex scripta) yang memperbolehkan laki-laki memiliki istri lebih dari satu. Ketentuan itu telah diatur dalam Pasal 3 UU No 1 tahun 1974 tentang Perkawinan, bahkan ketentuan serupa terutama untuk para Aparat Sipil Negara (ASN) juga telah diatur dalam Pasal 4 PP 10 tahun 1983. Kedua ketentuan itu secara eksplisit jelas-jelas memperbolehkan laki-laki memiliki pasangan lebih dari satu, tentu dengan berbagai kualifikasi yang harus dipenuhi oleh laki-laki yang ingin memiliki istri lebih dari satu.
Dari aspek hukum, harus diketahui asbabul nuzul (konsideran) munculnya aturan yang memperbolehkan poligami. Sebagai negara yang berdasarkan keTuhanan Yang Maha Esa seperti yang termakthub dalam UUD 1945, maka sebuah keniscayaan jika nilai-nilai agama dianggap sebagai salah satu sumber hukum, meski Indonesia bukanlah negara agama. Maka dengan alasan sejarah serta alasan jumlah penduduk, yang mencapai sekitar 80% dari sekitar 267 juta jiwa, pemahaman dan keyakinan umat Islam yang memperbolehkan poligami (berdasarkan QS An Nisa, ayat 3) harus diakomodir dalam sistem hukum di Indonesia. Atas konsideran itulah ketentuan yang memperbolehkan poligami diakomodir dalam sistem hukum nasional melalui UU No 1 tahun 1974 tentang Perkawinan serta PP No 10 Tahun 1983.
Sehingga dari aspek hukum, Rancangan Qanun (Raqan) Hukum Keluarga yang memperbolehkan poligami itu bukanlah hal yang baru. Meski ketentuan ini sempat dihapuskan pada era Presiden Abdurrahman Wahid. Untuk menghindari terjadinya penelantaran maupun perbuatan yang melecehkan serta merendahkan harkat dan martabat wanita, penulis sepakat dengan beberapa ulama kontemporer, seperti Syekh Rasyid Ridha, Syeik Muhammad Abduh yang menyatakan jika kualifikasi laki-laki yang ingin berpoligami harus diperketat. Karena kedua ulama itu serta beberapa ulama lainnya seperti Syeikh Muhammad Maddan cenderung untuk melarang adanya poligami. Terutama bila memiliki potensi terjadinya ketidak adilan dalam rumah tangga. Karena ketidak mampuan secara ekonomi laki-laki yang melakukan poligami.
Apalagi bila dicermati tindakan poligami yang dilakukan oleh Nabi Muhammad SAW itu lebih berdimensi sosial karena untuk melindungi anak yatim serta kaum budak seperti yang tersurat dalam QS An Nisa ayat 3. Jadi bukan semata-mata menempatkan wanita sebagai obyek untuk melampiaskan nafsu, tetapi secara agung Nabi Muhammad memperlakukan wanita yang dinikahinya itu secara adil dan penuh dengan kasih sayang. Apalagi secara demografi, jumlah wanita saat ini jauh lebih banyak dari pada kaum laki-laki. Tapi fakta itu yang sering dikesampingkan oleh kalangan aktivis ataupun kelompok-kelompok yang tidak suka poligami sebagai bentuk penindasan terhadap kaum perempuan.
Poligami yang dilembagakan itu justru akan mendidik kaum laki-laki untuk bersikap jujur dan gentlemen. Banyak yang tidak mampu, namun nikah lagi secara diam-diam, atau yang lebih tragis lagi melakukan perselingkuhan dengan wanita lain yang justru lebih membahayakan keutuhan rumah tangga masing-masing. Maka sudah sewajarnya jika negara turut campur dalam urusan rumah tangga (munakahat), sebagai bagian dari upaya untuk melindungi kaum wanita dari kemungkinan terjadinya penindasan dan pelecehan.
Kalau dianalogikan, polemik tentang poligami ini mirip dengan usulan untuk melakukan lokaisasi perjudian. Dari pada dilarang, tetapi terjadi praktek pernikahan siri di mana-mana maka lebih baik dilembagakan, sehingga semua pihak mengetahui secara jelas status masing-masing. Begitu juga tentang perjudian yang susah untuk dihapuskan maka lebih dilokalisasi, sehingga tidak ada perjudian di mana-mana. Cukup hanya satu lokasi yang telah diketahui bersama. ***