Minimnya sosialisasi tentang rencana penghapusan eselon III dan IV tak bisa dipungkiri telah menimbulkan keresahan di kalangan Aparatur Sipil Negara (ASN). Ketidak jelasan masa depan, mampetnya meritokrasi organisasi, hancurnya motivasi kini membayangi benak para pegawai pemerintah. Maski pemerintah telah berusaha meyakinkan tidak ada penurunan pendapatan (take home pay), tetapi ketidak jelasan nasib tetap membayangi sekitar 430.000 pejabat eselon III dan IV yang ada di seluruh Indonesia. Apalagi hingga saat ini belum ada perubahan terhadap UU No 5 Tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara (ASN).
Bila basis pengambilan keputusan itu demi efisiensi serta memperpendek rantai birokrasi perizinan, justru menimbulkan pertanyaan, bagaimana kemanisme kerja sistem bila nyaris semua jabatan itu dilebur dan tidak ada jabatan struktural tetapi menjadi jabatan fungsional. Sulit dibayangkan, bagaimana menyusun Standar Operation Prosedur (SOP) terutama untuk departemen-depertemen teknis yang membutuhkan otorisasi pejabat-pejabat struktural, apakah semua harus di take over oleh Dirjen maupun Direktur terkait. Pasti itu akan menimbulkan kerumitan tersendiri serta menambah beban kerja mereka.
Apakah itu justru tidak menimbulkan kesemrawutan serta menambah beban kerja dari eselon II dan I yang pada akhirnya justru menjadi tidak efektif. Adanya bottle neck beban kerja itu justru akan membuat kinerja departemen yang bersangkutan menjadi tidak efektif dan efisien. Apalagi setiap pekerjaan itu memiliki beban tanggung jawab secara teknis maupun tanggung jawab hukum, ini yang pasti membuat banyak orang enggan menjadi pejabat. Karena konsekuensi hukumnya terlalu berat, bisa disangka telah melakukan korupsi hanya karena tidak cermat dalam menjalankan tugas.
Tidak adanya eselonisasi praktis membuat motivasi para ASN akan menjadi menurun. Setiap ASN pasti menginginkan kariernya bisa menanjak secara sistematis, berdasarkan meritokrasi organisasi yang menggunakan beberapa parameter. PBB telah menggunakan system e-govermant, development, indexs (EGDI) sebagai standar untuk melakukan meritokrasi organisasi yang meliputi beberapa parameter meliputi tiga sub index seperti, online service index, telecommunication indexs serta human capital indexs.
Tetapi kita memiliki beberapa parameter yang bisa dijadikan acuan meritokrasi ASN untuk mencapai jabatan struktural yang diinginkanya seperti misalnya, kompetensi, latar belakang pendidikan, masa jabatan serta kinerja selama menjadi ASN. Bahkan beberapa jabatan harus melalui proses uji kompetensi, sehingga pejabat yang terkait memiliki kemampuan sekaligus wawasan yang komprehensif atas jabatan yang dimilikinya.
Adanya meritokrasi organisasi, itu akan merangsang setiap ASN untuk berkompetisi secara sehat, sekaligus meningkatkan kinerja ASN. Apalagi kita memiliki budaya yang feodal, memiliki jabatan struktural itu jelas menjadi prestise tersendiri. Dan jabatan struktural itulah yang selama ini menjadi motivasi para ASN untuk meingkatkan kinerja. Meski tetap harus diawasi secara ketat agar tidak melakukan tindak pidana korupsi dan penyalah gunaan wewenang (abuse of power).
Maka sulit dibayangkan bila eselonisasi itu tiba-tiba dihapuskan. Ironisnya hingga saat ini pemerintah belum memiliki blue print yang jelas tentang struktur organisasi serta mekanisme kerja organisasi setelah pengapusan eselonisasi. Padahal rencana penghapusan eselon itu telah lama dilontarkan oleh pesiden. Agar tidak menimbulkan gejolak serta keresahan di kalangan ASN maka sudah seharusnya rencana penghapusan itu di kaji ulang. Meski upaya untuk menciptakan cleans & good governance harus tetap dilakukan.***