Satu Periode Menutup Peluang Terjadinya Kecurangan
Oleh : Gugus Elmo Ra’is[b/]
Hajat politik lima tahunan yang dilakukan secara serentak, Pilpres dan Pileg 2019 lalu telah menelan anggaran negara setidaknya, Rp 25,59 triliun. Itu belum terhitung anggaran untuk honor saksi yang diperkirakan memerlukan anggaran sekitar, Rp 3,6 triliun. Apalagi bila diakumulasi dengan biaya kampanye para Paslon yang dapat dipastikan tidak sedikit. Maka anggaran negara ini untuk mencari pemimpin yang legitimate itu dapat dipastikan melebihi dari angka Rp 30 triliun.
Besaran biaya Pemilu 2019 itu nyaris equivalen dengan anggaran pemerintah daerah, (APBD) Provinsi Jatim pada tahun anggaran 2019 yang mencapai RP 33 triliun untuk meningkatkan kesejahteraan 39,2 juta jiwa. Anggaran itu juga hampir sama dengan APBD Provinsi Jabar tahun 2019 yang mencapai Rp 34 triliun untuk biaya pembangunan daerah dengan jumlah penduduk 46, 49 juta jiwa. Bahkan bila dikonversikan dengan APBD provinsi kecil seperti NTT yang memiliki APBD sekitar Rp 5,3 triliun, maka anggaran Pemilu itu sebanding dengan APBD 6 provinsi kecil.
Ironisnya hasil dari proses Pemilu yang menelan anggaran yang tidak sedikit dan menelan korban jiwa hingga ratusan itu kini justru menuai banyak protes oleh para pihak yang merasa dirugikan. Kekecewaan para pihak yang merasa dirugikan itu, sempat diungkapkan dengan aksi demo pada tanggal 21 Mei lalu yang berujung dengan terjadinya peristiwa kerusuhan yang ditengarai ditunggangi oleh pihak ketiga yang diduga sengaja menciptakan kekacauan. Namun disyukuri akhirnya, pihak-pihak yang merasa dirugikan itu kini menempuh upaya konstitusional dengan mengadukan dugaan kecurangan itu ke Mahkamah Konstitusi. Seperti misalnya gugatan yang dilakukan oleh Tim Paslon Prabowo-Sandi, Kamis (23/5). Hingga saat ini tercatat setidaknya ada 333 pengaduan yang diterima oleh MK.
Maka mengingat mahalnya biaya Pemilu serta eksesnya yang menimbulkan potensi terjadinya perpecahan bangsa karena terjadi aksi saling tuding itu, evaluasi tentang tata cara dan prosedur Pemilu mulai dari tahapan pencoblosan dan penghitungan suara mutlak harus dilakukan. Sehingga para penyelanggara bisa mendapatkan Standart Operation Procedur (SOP) yang kredible dan akuntabel.
Selain mencari mekanisme yang lebih transparan dan akuntabel, maka wacana untuk merubah sistem Pemilu itu juga layak dipertimbangkan. Karena sistem demokrasi liberal yang saat ini dijalankan mengandung banyak konsekuensi yang berat, seperti high cost politic (politik biaya tinggi) yang menimbulkan potensi terjadinya berbagai penyimpangan.
Wacana pembatasan masa jabatan presiden hanya cukup satu kali dengan masa jabatan yang diperpanjang menjadi 6-7 tahun layak untuk dipertimbangkan. Apabila, wacana bisa diaplikasikan, dalam kurun waktu 15 tahun kita hanya melakukan Pemilu 2 kali sehingga bisa menghemat anggaran negara sekitar Rp 30 triliun yang bisa dialokasikan untuk biaya pembangunan di 5-7 provinsi kecil.
Dengan adanya pembatasan masa jabatan menjadi satu periode, maka setiap Pemilu terutama untuk Pilpres tidak akan pernah ada calon dari petahana/incumbent. Karena setiap kontestan dalam Pemilu itu selalu calon-calon baru. Tidak adanya calon petahana secara otomatis tidak akan pernah muncul tuduhan adanya kecurangan secara Terstruktur, Sistematis dan Massif (TSM). Karena yang bisa memanfaatkan semua instrument itu hanyalah calon-calon petahana.Tidak akan pernah ada tuduhan jika aparat maupun ASN tidak netral, karena mereka tidak memiliki interest untuk mempertahankan jabatan dengan sikap memihak terhadap Paslon petahana. Karena dapat dipastikan yang akan terpilih adalah sosok baru.
Sistem ini juga akan menutup ruang terjadinya kecurangan, sebelum proses pencoblosan dilakukan. Misalnya dengan adanya dugaan dan tuduhan jika setiap calon petahanan sering mengleksploitasi setiap departemen dan BUMN-BUMN baik dalam proses mobilisasi massa maupun penggalangan dana. Maklum dengan jumlah APBN Indonesia 2019 yang mencapai sekitar Rp 2,461,1 trilun adalah nilai anggaran yang menggiurkan, sehingga ada celah digunakan untuk membiayai kegiatan-kegiatan politik. Misalnya fee-fee proyek dari pihak ketiga. Atau pemanfaatan dana-dana taktis di departemen untuk mendukung kegiatan politik.
Bahkan tidak menutup kemungkinan program-program pemerintah bisa digunakan untuk menarik simpati politik dari masyarakat terutama yang masuk kategori floating mass (massa mengambang) bagi para calon petahanan. Terutama untuk program-program pro sosial seperti Bansos dan lain-lain. Pemanfaatan itu bagaimanapun melanggar asas fairness, meski secara tidak langsung karena anggaran itu telah melalui proses perencanaan dan budgeting (penganggaran) sebelumnya di DPR. Tetapi pelaksanaannya akan tetap menguntungkan partai-partai pendukung pemerintah.[b]***