Sosok Rocky Gerung (Roger) selama ini dikenal sebagai ahli filsafat. Sesuai dengan disiplin ilmu yang dimiliknya mantan Dosen Universitas Indonesia ini dikenal sering melontarkan pernyataan-pernyataan reflektif yang sering membuat orang mengernyitkan dahi. Hakekat filsafat sesuai dengan tesis Purnadi Purbacaraka serta Soerjono Soekanto, adalah bahan perenungan untuk merumuskan nilai-nilai serta untuk penyerasian dalam proses penerapannya. Tetapi dalam mengemukkan pendapatnya, Rocky Gerung sering menggunakan diksi-diksi yang kurang elok dan membuat panas telinga orang yang mendengarkannya. Sehingga memposisikan Roger bersama dengan orang-orang yang bersikap oposan terhadap pemerintah.
Mendengar pernyataan-pernyataan Roger, tak ubahnya seperti mendengar musik instrumentalia, terdengar indah tetapi tidak pernah konkrit karena tidak ada syair atau narasi, mau ke mana arah pernyataan itu. Meski terkadang menggunakan analogi yang menarik, tetapi tetap saja seperti diawang-awang dan tidak membumi. Karena tidak mungkin diimplementasikan, seperti misalnya penyataan dia bahwa Presiden yang ideal itu adalah Presiden yang mampu berkelahi tentang gagasan dengan masyarakatnya terutama kalangan mahasiswa, maka sulit dibayangkan teknisnya itu seperti apa ? sementara beban kerja dan tanggung jawab Presiden sudah sangat besar. Sehingga dengan berbagai pernyataanya, Roger bagi sebagian orang dinilai sebagai sosok yang nggregetne.
Maka ketika muncul kasus sengketa kepemilikan tanah antara Rocky Gerung dengan PT Sentul City, publikpun menjadi terbelah antara pro dan kontra. Publik tidak mampu berpikir jernih terkait persoalan hukumnya, lebih banyak karena faktor subyektifitas. Bagi sebagian kalangan Roger bisa dianggap sebagai trigger untuk melawan otoriterianisme, maka simpati berdatangan. Sebaliknya, bagi sebagian orang Roger telah mendapat tulah atas perbuatannya selama ini.
Terlalu naïf bila dianggap jika, kasus sengketa antara Roger dan Centul City adalah upaya pemerintah untuk membungkam oposisi melalui sosok Roger. Karena pemerintahan Jokowi telah memiliki politicall will dengan dibentuknya Satgas Anti Mafia Tanah. Meski hingga saat ini publik masih menunggu political action dari pembentukan Satgas Mafia Tanah untuk bekerja secara optimal dan seobyektif mungkin. Sehingga publik benar-benar tahu adanya upaya penegakkan supremasi hukum (law enforcement). Sehingga tidak memunculkan framing jika negara ini dikendalikan oleh mafia.
Pemerintah juga tidak boleh menganggap sepele jika kasus Roger adalah kasus kecil yang kebetulan melibatkan publik figur yang saat ini tengah berkibar namanya. Karena kasus Roger ini adalah kasus klasik yang banyak terjadi antara pemilik lahan dengan perusahaaan besar yang masuk kategori konglomerasi. Selain kasus Roger, penulis banyak mendengar keluhan serupa, seperti misalnya kuasa hukum dari Almarhum Budi Suyono, Drs Hasan Basri SH.MH yang menggugat developer besar, PT CAM. Ironisnya meski Almarhum Budi Suyono telah memenangkan gugatan hingga pada tingkat PK dalam Nomor 171 PK/TUN/2020 dan telah memperoleh kekuatan hukum yang tetap (incracht), tetapi faktanya hingga saat ini tidak bisa dieksekusi, sehingga berujung pada kematian sang penggugat.
Kasus serupa juga dialami ahli waris dari Hj Kani Sapeng yakni H Dani Sa’adih yang menggugat Pemprov DKI Jakarta serta salah satu developer besar, PT Grisenda. Meski berdasarkan nota dinas dari Pemprov DKI telah mengakui salah bayar dan berdasarkan hasil Rapat Kerja Komisi A DPRD DKI Jakarta, serta rekomendasi dari sidang paripurna DPRD DKI Jakarta yang menyatakan jika Pemprov DKI Jakarta harus membayar ganti rugi terhadap warga, tetapi hingga saat ini setelah 34 tahun berjuang ternyata belum juga membuahkan hasil. Sama dengan kasus Budi Suyono, kasus ini juga berujung pada kematian ahli waris sebelum memperoleh haknya kembali. Tak berbeda dengan, Hasan Basri, H Dani mengaku telah berulang kali mengirimkan surat ke Presiden Jokowi tetapi hingga saat ini juga belum memperoleh tanggapan yang memadai.
Maka sesuai tekad Presiden Jokowi untuk menegakan supremasi hukum, jajaran aparat penegak hukum harus segera merespon dan menterjemahkan pernyataan Presiden, untuk segera menegakan supremasi hukum. Menangani kasus sengketa pertanahan pemerintah tidak bisa hanya bersandar pada Satgas Mafia Tanah, tetapi juga harus secara holistik. Karena biasanya konflik pertanahan itu tidak terlepas dari peran mafia peradilan serta mafia birokrasi. Semua aspek harus memperoleh treatment yang sama, untuk membongkar praktek perkeliruan yang telah berlangsung lama dan berakar dalam birokrasi kita. Sehingga Satgas Mafia Tanah itu harus diendors oleh berbagai stakehoulders, agar bisa bekerja secara optimal dan seobyektif mungkin sesuai dengan asas persamaan hukum (equality before the law).***