a a a a a a a a a a a
logo
Tentang KamiKontak Kami
Iklan Utama 2

Between Clash Civilization And Proxy War

Between Clash Civilization And Proxy War
Oleh : Gugus Elmo Rais

Sebelum Pilpres 2019 lalu muncul sebuah diskursus tentang penerapan khilafah di Indonesia. Sebagian orang menganggap  definisi khilafah adalah sebuah negara yang bercorak agama  Islam (daulah Islamiyah), faham inilah yang memang harus ditentang karena bertentangan dengan falsafah dan konstitusi negara. Tetapi bila khilafah dalam pengertian tegaknya persaudaraan umat (ukhuwah Islamiyah) atau Pan Islamisme  yang pernah dilontarkan Jamaludhin Al Afghani  pada abad 19 lalu sebatas sebagai gerakan budaya dan bukan politik. Diskursus ini tidak pernah tuntas sehingga sampai saat ini, definisi konsep khilafah  yang dilontarkan oleh sejumlah kelompok itu tetap menjadi misteri.           

Seiring berakhirnya hajatan politik mereda juga isu tentang khilafah itu, apalagi pasca pembubaran Hizbut Tahrir Indonesia (HTI). Isupun bergeser tentang maraknya radikalisme yang berbasis nilai-nilai agama dan keyakinan.  Radikalisme semakin memiliki  ruang dengan adanya kemajuan teknologi informasi melalui beragam media social (Medsos), sehingga memantik munculnya ‘perang’ retorika di dunia maya.

Kondisi ini menimbulkan sebuah hipotesa baru oleh sebagian orang dan tokoh yang mengatakan jika  kondisi saat ini telah terjadi benturan peradaban seperti yang pernah disinggung oleh Samuel Hutington dalam bukunya, The Clash of Sivilization and The Remarking of World Order (1996). Dalam buku itu Hutington mendeskripsikan jika pasca berakhirnya perang dingin terjadi benturan peradaban yang berlandaskan pada nilai-nilai agama, suku maupun ras (SARA). Sekilas hipotesa itu seakan benar berdasarkan bukti empirik  dengan munculnya kasus-kasus ujaran kebencian (hate speech) yang menguat secara siginifikan dalam beberapa waktu terakhir.      

Tetapi kalau kita kaji dan telaah lebih jauh tesis Hutington itu sangat konyol dan gegabah. Pada tataran nilai, semua keyakinan atau agama mengajarkan kedamaian. Dan terbukti hingga saat ini dialog antar agama berjalan secara intens untuk mencarikan persamaan persepsi dalam hidup berbangsa dan bernegara. Islam sebagai sebuah agama yang sering digambarkan oleh Hutington sebagai aggression and hostility (agresi dan ancaman),  terutama bagi peradaban Barat pada faktanya kini justru sangat diterima di negara-negara Eropa dan Amerika Latin.   

Bahkan secara akademis,  saat ini banyak sarjana-sarjana Barat yang mengkaji Islam secara objektif, dengan menjadikan Al-Quran dan Hadits sebagai sumber pertama dan utama. Di Amerika Serikat misalnya, ada Prof. John L. Esposito dan Prof. Michael Fischer; di Jerman juga ada ahli sufi, Annemarie Schimmel dan Dr. Murad Hofmann; di Inggris pun ada Prof. Francis Robinson, Prof. Hastings, dan lain-lain. Ironisnya, teori keadilan yang diklaim oleh Havard Law School sebagai teori keadilan terbaik sepanjang masa justru berasal dari frasa yang sederhana dalam Al Qur’an terutama Surat An Nissa 135 yang menyatakan “Wahai orang-orang yang beriman, jadilah kamu orang yang benar-benar penegak keadilan, menjadi saksi karena Allah biarpun terhadap dirimu sendiri atau ibu bapa dan kaum kerabatmu. Jika ia kaya ataupun miskin, maka Allah lebih tahu kemaslahatannya,”.

Secara obyektif, tesis Hutington itu harus dinyatakan gagal. Karena konflik yang terjadi di beberapa negara itu sesungguhnya bukan konflik nilai  tetapi semata-mata konflik kepentingan yang dibungkus dan dilabeli nilai-nilai agama. Sebutlah konflik di Jalur Gaza antara Israel dan Palestina, konflik ISIS di Suriah adalah konflik kepentingan ekonomi yang dilabeli agama, konflik di Irlandia, antara Katolik dan Protestan. Termasuk perang besar antara Irak melawan sekutu, karena Saddam tidak merepresentasikan Islam melawan Barat, tetapi lebih pada kepentingan ekonomi para pihak.     

Begitu juga terkait riuh rendahnya politik di tanah air. Sangat kecil konflik yang murni berdasarkan dari nilai-nilai agama, tetapi lebih pada konflik kepentingan para pihak yang menggunakan agama sebagai justifikasi. Contohnya, hampir  semua partai di Indonesia memiliki jargon dan retorika sebagai partai nasionalis dan religious, tetapi faktanya banyak kader dari hampir semua partai yang terlibat korupsi, seperti korupsi Bansos, benur udang, wisma atlit, korupsi daging sapi, korupsi jabatan,  bahkan korupsi cetak Al Qur’an. Padahal korupsi benar-benar diharamkan oleh semua agama di Indonesia, artinya semua tindakan mereka bukan atas dasar agama yang mereka yakini dan sering mereka gelorakan tetapi lebih pada moral pelaku yang memang benar-benar bobrok.   

Jadi ketegangan dan keriuhan politik yang terjadi di Indonesia bukan keriuhan yang merepresentasikan adanya clash civilization seperti yang pernah dilontarkan oleh Hutington atau salah satu tokoh agama di Indonesia. Tetapi lebih pada kepentingan segelintir kelompok yang tak jarang menggunakan label agama.  

Pertanyaannya kenapa bisa terjadi keriuhan politik seperti itu ?. Proses amandemen terhadap UUD 1945 yang telah merubah banyak tatanan kenegaraan, baik dari sistem Pemilu, sistem pemerintahan hingga sistem kepartaian. Liberalisme politik melalui sistem Pilpres langsung itu ditunjang oleh sistem multipartai, yang pernah dikritik oleh Scott Mainwaring kurang cocok dengan Indonesia. Dengan UU No 2 tahun 2011 yang merupakan perubahan  UU No 2 tahun 2008 tentang Parpol, siapapun bisa mendirikan partai asal memenuhi persyaratan administrasi dan ideologi.

Perubahan sistem inilah yang memberi ruang tumbuh suburnya partai. Sekaligus memberikan ruang terhadap Ormas-ormas yang memiliki ideologi yang kurang sejalan dengan ideologi Pancasila, meski saat deklarasi mereka menyatakan jika Pancasila adalah ideologi yang final. Sementara sistem Pemilu yang menggunakan ketentuan presidential threshold sebesar 20% hanya akan membuat masyarakat pemilih terfragmentasi menjadi dua kelompok yang saling berhadap-hadapan. Maka mulailah terjadi sikap saling menghujat, black campaign, hoaxs dan seterusnya  semenjak kedua pasangan ditetapkan sebagai pasangan Capres dan Cawapres.

Sistem multai partai inilah yang memberi ruang terhadap partai-partai untuk mengusung isu sektarian sekaligus sebagai upaya untuk membidik segmen konstituen yang khusus. Sehingga tak mengherankan bila jagad politik nasional akan selalu dijejali isu-isu sektarian yang akan direspon menggunakan isu sektarian juga oleh lawan politiknya yang pada akhirnya menjurus SARA dan disintegrasi bangsa.

Konstelasi politik seperti itulah yang menjadi katalisator tumbuh suburnya virus proxy war. Terjadinya peperangan yang sejatinya adalah adanya kepentingan asing  yang sering menggonakan istilah nabok nyilih tangan (menyerang untuk mengadu domba kelompok tertentu dengan meminjam kekuatan pihak lain).   Perang tanpa bentuk itulah yang kini menghantui Bangsa Indonesia. Proxy war merupakan  perubahan evolutif atau transformasi dari sistem politik devide et impera yang muncul pada abad ke 15 yang sering digunakan oleh bangsa-bangsa kolonialis. Namun perubahan budaya politik di Semenanjung Arab membuktikan jika proxy war kini jauh lebih efektif untuk menggoyang suatu rezim atau pemerintahan. Bahkan bisa menghancurkan pondasi kebangsaan suatu negara.

Menurut Joseph Nye dalam bukunya Soft Power Foreign Policy (1990),  proxy war bisa dilakukan menggunakan dua pendekatan, yaitu dengan hard power atau melalui kekuatan militer dan politik. Serta melalui soft power dengan memanfaatkan tekanan di bidang ekonomi, lembaga donor, atau melalui teknologi informasi. Fenomena seperti tesisnya Joseph Nye itulah yang saat ini terjadi di Indonesia, banyak agenda asing yang terselip dibalik proses demokratisasi maupun investasi asing. Salah satu contohnya adalah beberapa waktu kita terlibat ketegangan politik terkait adanya Tenaga Kerja Asing (TKA) asal China. Masyarakat China yang memperoleh manfaatnya,  tetapi justru kita yang saling berkelahi.   

Proxy War  seakan memperoleh momentum apalagi ditunjang  dengan kemajuan teknologi informasi. Penyebaran disinformasi menggunakan Medsos terbukti efektif untuk menggoyang semangat kesatuan dan persatuan bangsa. Apalagi disaat menghadapi event-event politik. Sering terjadi sikap saling persekusi atas dasar informasi yang salah (hoaxs). Isu-isu tentang perubahan ideologi menjadi dagangan yang paling laris untuk memancing emosi massa.

Apabila fenomena ini tidak segera dihentikan, maka disintegrasi bangsa hanya tinggal menunggu waktu. Lalu cara apakah yang paling efektif untuk melawan proxy war secara bersama-sama ?. Untuk menangkal serangan proksi itu menurut R.L. Armitage dan Nye bisa dilakukan cara membangun kekuatan cerdas (smart power) yang mampu menghalau dua pendekatan proksi tersebut. Smart power sendiri merupakan gabungan dari hard power dan soft power. Cara yang cerdas adalah  dengan tidak terpancing dan terlibat sikap saling tuduh dan hujat  terutama melalui media sosial.

Para pihak harus menahan diri untuk tidak menuduh kelompok lain sebagai kaki tangan komunis ataupun kaki tangan kadal gurun.

Karena sejelek apapun mereka adalah anak bangsa yang perlu dirangkul sebagai doktrin nasionalisme yang sesungguhnya, seperti halnya tesis Ernest Renan dan Otto Bauer,  jika suatu bangsa berdiri atas kehendak bersatu (le desire d’etre ensemble). Doktrin nasionalisme itulah yang dijadikan mantra oleh Soekarno untuk menghimpun ribuan suku dan bangsa ini menjadi satu pangkuan bumi pertiwi yakni Bangsa Indonesia.

Sangatlah memalukan jika ada orang yang mengklaim Soekarnois dan mencintai NKRI dengan harga mati, tetapi masih juga rajin menghujat kelompok lain. Ingat, Soekarno telah mengambil  resiko tidak popular dengan melakukan ujicoba sinkretisme ideologi dengan menyatukan nasionalisme, agama, dan komunis (Nasakom) menjadi satu kesatuan, tetapi kini para penerusnya justru berusaha saling meniadakan.

Pancasila sebagai ideologi itu sudah final. Dan sering saya tulis bahwa Pancasila itu adalah intisari peradaban bangsa ini. Karena Pancasila lahir dari dealektika budaya yang panjang, dan merupakan konsesus bersama bangsa ini melalui wakil-wakil mereka yang ada di BPUPKI. Meski Soekarno punya peran yang sangat dominan, tetapi kita tidak bisa menafikan peran dari tokoh-tokoh lain. Maka tantangan terbesar  bangsa ini bukan merumuskan falsafah baru, tetapi bagaimana cara memahami dan mengamalkan falsafah itu sendiri. Salah satunya adalah sila Persatuan Indonesia, dengan cara bersama-sama menangkal terjadinya proxy war.***
Opini Between Clash Civilization And Proxy War
Iklan Utama 5