a a a a a a a a a a a
logo
Tentang KamiKontak Kami
Iklan Utama 2

Penangkapan dan Prinsip Legalitas

Penangkapan dan Prinsip Legalitas
Oleh : Houtlan Napitupulu SH,MM,MH

Saya sangat setuju dengan pendapat Dr Azmi Syahputra SH,MH dalam artikelnya dengan topik polemik penangkapan Munarman, diuji saja melalui praperadilan. Melalui gugatan praperadilan, akan terang benderang apakah penangkapan atas Munarman sudah sesuai hukum atau sebaliknya. Meskipun kita ketahui bahwa peluang keberhasilan gugatan praperadilan ini tidak terlalu besar. Karena yang diuji adalah proseduralnya saja tidak masuk pada pokok perkara, jika prosedur penangkapan sudah sesuai hukum, maka praperadilan ditolak.
Terdapat beberapa prinsip atau asas yang harus dipenuhi agar suatu penangkapan tidak melanggar hak asasi manusia, yaitu sbb.

A.Prinsip Legalitas.

Tidak ada tindak pidana tanpa undang-undang yang mengaturnya, dan berlakunya undang-undang tersebut tidak berlaku surut. Penangkapan adalah kewenangan yang diberikan oleh undang-undang kepada penyidik dan penyelidik atas perintah penyidik untuk membatasi sementara kebebasan atau kemerdekaan pelaku tindak pidana berdasarkan dua alat bukti yang sah ( pasal 16, 17 dan pasal 184 KUHAP). Dengan demikian agar penangkapan tidak sebagai pelanggaran hak asasi, maka penangkapan harus memenuhi syarat sbb.

1) Penangkapan dilakukan oleh Penyidik dan PPNS serta penyelidik atas perintah penyidik

2) Penangkapan ditujukan kepada seseorang yang diduga melakukan tindak pidana berdasarkan bukti permulaan yang cukup (pasal 17.). Berdasarkan putusan MK tahun 2014, frasa bukti yang cukup, cukup bukti dan bukti permulaan yang cukup dalam KUHAP, harus dimaknai sebagai dua alat bukti yang sah sebagimana dirumuskan dalam pasal 184 KUHAP.

3).Anggota Polri yang melakukan penangkapan harus dapat memperlihatkan surat tugas dan memberikan Surat Perintah Penangkapan kepada tersangka dan mencantumkan identitas tersangka serta alasan penangkapan termasuk uraian singkat tentang kejahatan yang disangkakan dan tempat pemeriksaannya.

4) Waktu penangkapan dibatasi iaitu satu hari atau 24 jam.(pasal 19) Sebelum berakhir harus diputuskan apakah pelaku dilepaskan atau dilanjutkan dengan status penahanan. Berbeda halnya dengan batas waktu penangkapan pada pasal 28 UU No.5 tahun 2018 tentang Pemberantasan TP Terorisme, yaitu selama 14 hari dan dapat diperpanjang selama 7 hari atas penetapan pengadilan.Tentu sesuai dengan asas lex specialis, batas waktu penangkapan yang berlaku adalah Undang-Undang Terorisme. Jadi tidak heran setelah seseorang ditangkap, beberapa jam kemudian sebelum berakhir batas waktu, status penangkapan berubah menjadi penahanan untuk waktu 20 hari.

Berbeda halnya dengan tertangkap tangan, yaitu tertangkap pada saat sedang melakukan tindak pidana, atau tertangkap saat pelaku buru-buru meninggalkan TKP atau tertangkap pada saat diteriaki sebagi pelaku tindak pidana. Dalam hal ini, tidak diperlukan adanya Surat Perintah Penangkapan, dengan syarat si tertangkap segera diserahkan kepada penyidik. Upaya Praperadilan atas penangkapan ditujukan untuk membuktikan apakah penangkapan sudah sesuai hukum yang mencakup hal-hal diatas berupa prinsip Legalitas. Siapa yang menggugat maka dia harus membuktikan gugatannya dalam gugatan praperadilan.

B.Prinsip Nesesitas.

Meskipun ini bukan prinsip hukum tapi prinsip moral ini sangat mendukung prinsip legalitas agar suatu penangkapan yang bersinggungan dengan hak asasi tidak menjadi suatu pelanggaran hak asasi manusia meskipun sudah sesuai hukum. Dalam prinsip Nesesitas ini dipersoalkan apakah upaya paksa penangkapan sebagai suatu keharusan untuk memudahkan pemeriksaan seseorang yang diduga sebagai pelaku tindak pidana. Apakah tidak ada lagi alternatif lain selain penangkapan, jika masih ada maka alternatif tersebut yang digunakan, misalnya adanya jaminan pelaku akan bersikap koperatif.

Tidak saya sebut sebagai tersangka karena penangkapan bisa saja terjadi dalam ranah tindakan penyelidikan. Pada penyelidikan ini belum ada ditetapkan siapa sebagai tersangkanya. Sebab penyelidikan adalah pemeriksaan perkara untuk menentukan apakah perbuatan yang terjadi yang dilaporkan masyarakat sebagai suatu tindak pidana berdasarkan bukti permulaan, atau bukan sebagai tindak pidana. Sementara pada penyidikan adalah tindakan mengumpulkan alat bukti guna membuat terang suatu tindak pidana dan menetapkan siapa tersangkanya. Dengan demikian pada penyelidikan penangkapan atas perintah penyidik, didasarkan pada bukti permulaan iaitu adanya laporan masayarakat.

Sementara tindakan penyidikan adalah untuk penetapan tersangka maka penangkapan didasarkan pada dua alat bukti yang sah, tapi oleh putusan MK kedua dasar tersebut harus dimaknai sebagai dua alat bukti yang sah. Perlu diketahui bahwa penangkapan tidak selalu harus diawali dengan surat panggilan untuk diperiksa, jika tidak dipatuhi dilanjut dengan panggilan kedua dan berikutnya baru penangkapan. Proses seperti ini sebagai suatu diskresi dari Polri dan situasional. Jika tidak memungkinkan lagi melalui pemanggilan karena sifat tindak pidana yang merusak dari pelaku maka penangkapan melalui upaya paksa bisa dilakukan asal syarat dan dasar hukum penangkapannya sudah dipenuhi. Dan penangkapan bisa terjadi pada tindakan penyelidikan, dengan batas waktu penangkapan selama 24 jam dan penangkapan di tindakan penyidikan. Ada kalanya, Masyarakat mempertanyakan,

Apakah dalam penangkapan ini sudah ada target sebelumnya dari penyidik ? Apa salah jika ada target ? Tentu tidak salah, hanya saja pada waktu itu belum cukup bukti, untuk melakukan penangkapan, sehingga penangkapan dilakukan dikemudian hari saat sudah terkumpul alat bukti yang kuat. Hanya saja kelemahannya, bisa saja target sudah keburu kabur keluar negeri karena tidak ditahan, setelah target mencium melalui info yang diperolehnya, bahwa dirinya akan ditangkap. Terkadang kekhawatiran penyidik jika seseorang akan melarikan diri atau menghilangkan alat bukti, yang menjadi alasan penyidik melakukan penangkapan dan menetapkannya sebagai tersangka dan selanjutnya menahannya, meskipun sesungguhnya pada saat penangkapan belum cukup bukti sebgai dasar hukum untuk penangkapan, sehingga disebut premature atau dipaksakan.

Oleh sebab itu untuk mengurangi gesekan dengan pelanggaran hak asasi seseorang, maka tidak perlu buru-buru menetapkan seseorang sebagai tersangka dan menahannya, tapi biarlah dilakukan pengintaian pada target yang prosesnya dilakukan dalam tindakan penyelidikan. Pemantauan, pengintaian pada seseorang sebagai pelaku tindak pidana dilakukan dengan senyap, secara diam-diam, menggunakan alat bantu seperti photo, rekaman suara, dsb, yang dimaksudkan untuk mengumpulkan barang bukti dan alat bukti. Jika sudah semua alat bukti lengkap, baru dinaikkan status menjadi tindakan penyidikan, dan menerbitkan SPDP ke Kejaksaan, serta menerbitkan Sprindik. Dengan cara demikian proses penahanan tersangka pada tindakan penyidikan ini, tidak perlu berlama-lama, agar tidak dianggap melanggar hak asasinya, karena alat bukti yang cukup sudah terkumpul pada saat penyidikan, sehingga dalam waktu yang relatif lebih singkat, perkara sudah bisa dilimpahkan ke kejaksaan untuk P21, dan berikutnya masuk dalam persidangan.

Berarti dalam waktu lebih kurang satu bulan sejak penangkapan si tersangka sudah dapat menjalani persidangan, karena alat bukti sudah terkumpulkan di tindakan penyelidikan dan tindakan penyidikan hanya berfungsi untuk mendokumentasikan alat bukti yang akan diserahkan pada kejaksaan sekakigus melegitimasikan nya, yang disebut sebagai pelimpahan pertama, disusul kemudian pelimpahan kedua berupa menyerahkan si tersangka pada kejaksaan. Sejak saat itu wewenang penahanan tersangka menjadi tanggung jawab Kejaksaan.

Hal ini menunjukkan bahwa pada tingkat penyelidikan yang tidak dibatasi dengan waktu, memberikan ruang dan tempat yang cukup leluasa bagi kepolisian untuk melakukan fungsi penyelidikan sekaligus fungsi penyidikan. Keleluasaan ini membuat tindakan penyelidikan dan penyidikan sudah lebih berkualitas, dan dilakukan dalam waktu yang relatif lebih lama, lebih diam, senyap, tapi tiba-tiba perkaranya sudah masuk dalam persidangan. Dan ini lebih baik dibanding dengan penyelidikan yang dilakukan dalam waktu singkat lalu dinaik menjadi penyidikan dan menetapkan tersangkanya, dengan alasan kekhawatiran kalau si pelaku akan melarikan diri, menghilangkan alat bukti, jika tidak ditahan, maka melalui penetapan sbg tersangka, pelaku sudah bisa langsung ditahan, sehingga tidak lagi ada kekhawatiran tsk melarikan diri.

Tapi apa sudah cukup bukti ketika atau saat dilakukan penahanan atas tersangka ? Idealnya demikian. Dan hal ini lah yang di uji dalam gugatan Praperadilan. Tetapi dalam praktek nya masyarakat tidak percaya, dan dianggap proses ini sebagai pelanggaran ham. Karena itu tidak menutup kemungkinan, bahwa pengumpulan alat bukti dilakukan pada masa penahanan ini, karena lebih mudah dan cepat untuk memeriksa atau croos chek si tersangka dengan menjemputnya dari ruang tahanan, dan pemeriksaan ini dapat dilakukan setiap waktu saat dibutuhkan, tinggal menjemput tersangka dari ruang tahanan. Maka yang menjadi masalah dalam proses buru-buru menahan tersangka adalah apakah alat bukti yang dikumpulkan sebagai syarat penahanan sdh mempunyai nilai pembuktian yang kuat dan apakah proses memperoleh alat bukti tersebut sudah sesuai hukum, ini akan dipersoalkan di sidang Praperadilan maupun pada tahap pembuktian di persidangan PN.

Proses ini rentan untuk tebang pilih, atau menetapkan target untuk diproses. Sebaiknya biarlah penyelidikan dilakukan dalam waktu yang lama/panjang untuk mengumpulkan alat bukti, setelah mendekati sempurna, baru naik menjadi penyidikan dan menetapkan tersangka. Tidak seperti sekarang ini, ada masa penyidikan yang memakan waktu panjang hingga bertahun-tahun tapi perkara tidak naik ke pengadilan, bisa sbg pelanggaran ham katena statusnya tersandera sebagai tersangka hingga sekian tahun tentu haknya pun menjadi terganjal. Ini yang mendorong lahirnya praperadilan atas penetapan tersangka meskipun si tersangka tidak ditahan. Dan ini pula yang mendorong SP3 di KPK.

C.Prinsip Proporsionalitas.

Prinsip ini merupakan satu kesatuan dengan prinsip Nesesitas, jika Nesesitas sudah diabaikan cenderung proporsionalitas dalam penangkapan juga diabaikan. Pada proporsionalitas ini diharapkan adanya keseimbangan diatara tujuan penangkapan dengan karakteristik kejahatan yang dilakukan serta profil pelakunya. Jika pelaku sudah usia tua, uzur/renta dan tindak pidananya adalah kecelakaan lalu lintas, apakah pelaku harus dilakukan penangkapan, atau ada alternatif lain yang dapat dilakukan tanpa melakukan penangkapan.*
Opini Penangkapan dan Prinsip Legalitas
Iklan Utama 5