a a a a a a a a a a a
logo
Tentang KamiKontak Kami
Iklan Utama 2

Pilpres Dan Kontestasi Pedagang  Gorengan

Pilpres Dan Kontestasi Pedagang  Gorengan
Oleh : Gugus Elmo Rais

Bila kita menghitung hari, hajatan politik Pilpres 2024 terbilang masih cukup lama. Tetapi atmosfer politik sudah mulai menghangat dengan  ramainya  bursa calon pemimpin RI sebagai pengganti Jokowi. Simulasi pasangan kandidat serta kendaraan politik  yang akan mengusungnya mulai diapungkan oleh beberapa lembaga survey baik lembaga yang independen maupun survey yang dilakukan oleh sejumlah partai  yang menjadi kontestan Pemilu.

Mulai dari nama-nama yang masuk ketegori old crack (jagoan tua) seperti Airlangga Hartato, Prabowo Soebianto, hingga SBY yang telah menyiratkan ingin bertarung kembali hingga calon-calon dari kalangan milenial seperti Ganjar Pranowo, Puan Maharani, Anies Baswedan, Erick Tohir, Sandiaga Uno, Ridwan Kamil hingga Andika Perkasa. Dari bursa itu, setidaknya ada empat nama yang kini cukup dominan yakni Airlangga, Prabowo, Ganjar, Anies Baswedan. Sementara popularitas  pemilik kendaraan politik yang paling mewah  saat ini (PDIP), yakni Puan Maharani justru mendrip-mendrip (baca, fluktuatif).

Ajang Pilpres 2024 ini adalah event spesial buat PDIP untuk mengelola potensi politik yang dimilikinya. Setelah pamornya terangkat berkat ‘anak jaman’ yang bernama Joko Widodo yang bisa memimpin Indonesia dengan cukup baik, apakah dalam Pilpres 2024 nanti PDIP bisa mempertahankan kemenangannya dengan cara merawat koalisi yang sudah terbentuk atau justru sebaliknya. Tetapi bila melihat  gelagat adanya  ‘pegatan/perceraian dini’ antara Ganjar Pranowo dengan PDIP, maka bila elit PDIP ora iling lan waspodo, marwah partai Banteng Moncong Putih itu berada dalam tubir bahaya. Karena tidak bisa pungkiri bila hubungan antara Ganjar PDIP seperti halnya adagium Jawa, tumbu ketemu tutup seperti halnya hubungan antara Jokowi dan PDIP.

Apalagi  dapat dipastikan jika partai peserta koalisi Indonesia bersatu tidak akan mampu “untuk  memilih setia’ dan pindah ke lain hati. Indikasinya sederhana, mungkinkah Gerindra, dan Golkar terus menjadi ban serep PDIP,  terbukti kini mulai ancang-ancang untuk mengusung Prabowo maupun Airlangga untuk menjadi orang nomor satu di Indonesia. Bahkan Nasdem jauh-jauh hari sudah terlihat mulai main mata dengan Anis Bawesdan.

Terlepas dari hitung-hitungan politik yang cukup jlimet dan rumit serta sangat tergantung dengan dinamika politik terkini, persoalan krusial yang harus disikapi adalah model pertarungan yang akan terjadi dalam Pilpres 2024 nanti. Apakah pola pertarungan berbasiskan politik identitas  serta framing seperti halnya Pilpres 2019 lalu kembali terulang ?, ini yang harus dipikirkan bersama. Tetapi bila ketentuan presdidential threshold sebesar 20% dalam bingkai  sistem politik multi partai tetap dijalankan, dapat dipastikan jika pola pertarungan dalam Pilpres 2024  tidak akan mengalami perubahan.    

Karena model pertarungan  bersenjatakan framing seperti itu sangat berbahaya terhadap keutuhan NKRI. Jangan sampai kita terjebak oleh  irama kontestasi para penjual framing (penjual gorengan politik) yang diusulkan oleh para konsultan politik.  Hampir semua pihak menggunakan framing untuk melakukan segmentasi pemilih terutama bagi kalangan swing voters (pemilih mengambang/baru) yang belum memiliki komitmen hati yang kuat terhadap calon maupun partai yang akan dipilihnya. Seperti misalnya dalam Pilpres 2019 lalu ada kelompok tertentu  yang melakukan framing  jika calon petahana memilki kedekatan ideologi dengan kelompok kiri dengan berbagai dalih sehingga menimbulkan kesan silogisme. Apalagi ada yang secara terang-terangan mengaku bangga menjadi kelompok kiri. Padahal framing seperti itu terbukti hanyalah pepesan kosong yang menjadi dagangan politik yang terus direproduksi setiap ada event politik.

Sebaliknya, kelompok sebelah juga menjual framing  jika kubu lawannya memiliki kedekatan dengan konsep khilafah serta melakukan kardunisasi maupun talibinasisasi isu. Contoh sederhana tentang kardunisasi dan talibanisasi isu yang tersisa pasca Pilpres 2024, adalah, sebelum adanya Tes Wawasan Kebangsaan (TWK) di KPK, banyak pihak yang melemparkan sinyelemen yang unik jika ada ‘faksi Taliban’ di tubuh lembaga anti rasuah itu, sehingga perlu dilakukannya TWK untuk mengukur tingkat komitmen kebangsaan para pegawai KPK itu. Dan ternyata kemudian terungkap jika para penyidik tidak semuanya Muslim, ada yang penganut Nasrani maupun Hindu. Ironisnya, kemudian setelah 54 dicopot ternyata tidak berpengaruh  secara signifikan terhadap kinerja KPK, malah  54 karyawan yang telah dicopot justru ditawari bergabung dengan institusi Polri.  

Secara empirik radikalisme, ekstrimisme  itu tetap ada dari waktu ke waktu, tetapi kita juga sudah melihat jika kinerja BNPT maupun Densus 88 untuk melakukan trecing, profiling sekaligus tindakan yang terukur  terhadap para terduga teroris sudah berjalan dengan cukup baik.  Bahkan mereka sudah sering mendapat apresiasi dari dunia. Jadi kita percayakan dua intitusi itu untuk bertindak sesuai dengan SOP untuk mengikis habis radikalisme dan ekstrimisme. Tanpa kita harus menambahi beban  bangsa ini dengan saling melemparkan stigma dan framing jika suatu kelompok dekat dengan ideologi kiri maupun ideologi kanan. Sehingga energi bangsa ini tidak terkuras untuk hal-hal yang kontra produktif.                     

Bila kita telisik, kelompok yang sering dianggap memiliki ideologi kekerasan itu jumlahnya relatif kecil. Sebutlah misalnya, kelompok Wahabi, atau HTI,  bahkan FPI jumlahnya relatif kecil bila dibandingkan dengan kelompok Islam mind stream yang notabene moderat seperti NU, Muhammadiyah, Perti, Parmusi dll. Terbukti ketika pemerintah telah membubarkan beberapa Ormas tersebut, tidak menimbulkan  gejolak yang signifikan, kecuali beberapa kali terjadi insiden kecil. Jadi kalau ada pihak-pihak yang mem blow up, jika bangsa ini akan terjangkit Arab spring serta digiring seperti Suriah itu saya nilai agak berlebihan. Karena konstelasi politik aliran di Indonesia masih didominasi oleh kelompok yang moderat dan cinta damai yang dilatar belakangi oleh pemahaman jika Islam adalah agama yang rahmatan lil alamin.

Begitu juga halnya kekhawatiran akan terjadi perubahan pendulum politik dari sekuler  ke khilafah melalui jalur politik di Senayan  juga masih jauh panggang dari api. Setidaknya ada beberapa faktor yang mengakibatkan konsep khilafah itu sulit untuk diterapkan di Indonesia. Selain karena secara sosiologis, Indonesia sangat berbeda dengan negara-negara  di dunia. Indonesia memiliki setidaknya 5 agama besar, dengan kultur masyarakat yang berbeda-beda, memiliki sekitar 700 suku yang tersebar di sekitar 13.000 pulau.

Faktor determinan yang mengakibatkan konsep itu sulit terwujud adalah polarisasi faham bagi umat Muslim di Indonesia, yang tidak semua setuju dengan penerapan konsep khilafah. Seperti diketahui bahwa, ada dua skenario yang mungkin bisa dilakukan untuk merubah konsep negara sekuler menjadi negara berdasarkan khilafah. Yang pertama adalah perubahan undang-undang atau melalui amandemen serta revolusi seperti yang terjadi di Iran. Sekarang kita tinggal hitung kostelasi politik yang ada di Indonesia. Dalam Pileg 2014 lalu, lima partai berbasis Islam memperoleh suara sekitar 31,2% dengan rincian, PKB (8,9%), PKS (6,9%), PAN (7,7%), PPP (6,3%), PBB (1,4%).

Bila kita menggunakan asumsi  semua partai Islam itu menginginkan perubahan konsep dari negara sekuler ke khilafah, maka secara kumulatif kekuatan itu juga tidak bisa mengusung semangat perubahan karena akan berhadapan dengan 69% suara yang  tetap menginginkan konsep negara sekuler.Padahal faktanya, tidak semua parati Islam menghendaki penerapan khilafah, seperti PKB dan PPP yang terang-terangan menolak penerapan khilafah.

Skenario yang kedua adalah melalui revolusi fisik. Bila menggunakan skenario revolusi fisik, mustahil akan terjadi bila tidak melibatkan militer di dalamnya. Persoalannya kondisi TNI saat ini relative solid dan tidak terfragmentasi seperti adanya TNI hijau dan TNI merah seperti pada era masa lalu. Dan TNI dengan doktrin Kartika Eka Paksi, pasti akan mempertahankan secara mati-matian eksistensi Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Kemampuan TNI sendiri sudah tidak diragukan lagi.

Hipotesa ini bisa menjadi gambaran, bahwa khilafah itu sulit diwujudkan meski tidak mustahil. Tetapi setidaknya masyarakat tidak perlu takut secara berlebihan, sehingga berkembang sikap saling mencurigai yang justru menjadi hal yang kontra produktif. Ketika bangsa lain fokus untuk meningkatkan pembangunan dan kesejahteraan rakyatnya, kita justru masih asyik saling tuduh dan melemparkan framing yang mengancam keutuhan bangsa. Sekedar mengingatkan Soekarno membangun bangsa ini di atas pondasi nasionalisme berupa kehendak bersatu  bangsa (le desir d'etre ensemble) yang mengutip pemikiran Ernest Renan,  yang diterjemahkan Soekarno dengan sikap saling merangkul semua ideologi dan bukan saling meniadakan. Dalam bukunya, NIM 1926 Soekarno juga mengakui pemikirannya itu sama dengan pemikiran Kamarakand Gandhi dalam menyatukan India, walau kemudian terbukti gagal.

Sebagai salah satu dari empat negara besar di dunia  bisa aple to aple jika kita belajar dari kekalahan ‘kampret  jambul’ (baca : Donlad Trump) dalam Pilpres Amerika 2020 lalu. Kekalahan itu bisa menjadi refleksi serta i’tibar (pelajaran) yang berharga bagi para politisi dalam menentukan gaya politiknya. Dengan visi dan jargon American first yang diterjemahkan secara rasis oleh Trump, membuat mantan suami Marla Marples mengalami proses deligitimasi yang hebat. Sehingga kursi kekuasaanya bisa direbut oleh Joseph Rebinette Biden yang berhasil meraup 51, 3 % suara serta mengoleksi 290 kursi.

Tergusurnya Trump dari tampuk kekuasaanya itu tidak terlepas dari gaya politiknya yang ultra nasionalis serta ultra kanan dan cenderung rasis, yang mengingkari realitas jika para pemilih di Amerika itu adalah masyarakat urban dari berbagai negara di seluruh dunia. Sikap Trump yang chauvinis serta antipati terhadap kalangan imigran dan minoritas memberikan sumbangan terbesar atas kekalahannya. Sekaligus mengantarkan Biden sebagai Presiden Amerika yang ke 46.

Gaya politik Trump yang ultra nasionalis itu menjadi sebuah ironi tersendiri bagi Bangsa Amerika yang sering mengklaim sebagai negara liberal dan leluhurnya demokrasi yang bersandar pada HAM dan kesetaraan. Justru selama Trump berkuasa, Amerika kerap dirundung kerusuhan yang bermula dari isu-isu rasis seperti pasca terbunuhnya George Floyd. Bahkan Trump dan pendukungnya telah melakukan sebuah kekonyolan, sebagai negara dengan sistem demokrasi yang mapan sekaligus menjadi rule model negara demokrasi yang ideal, ternyata masih juga tidak mampu bersikap legowo ketika menderita kekalahan, dan menuduh lawan politiknya telah berbuat curang. Buktinya, para pendukungnya melakukan penyerangan terhadap US Capitol, 6 Juni lalu yang mengakibatkan enam orang diantaranya tewas tertembak oleh aparat.

Sikap Trump  itu seakan tidak mau belajar dari ‘sohibnya’ yang sering diberitakan ikut cawe-cawe membantu menaikan Donald Trump sebagai ‘US One’ yang ke 45 yakni Presiden Rusia, Vladimir Putin. Meski kerap digambarkan sebagai diktator dan otoriter, presiden berwajah kaku ini ternyata berusaha terlihat untuk moderat. Bekal suara yang diperoleh Putin melalui referendum 2020 sebesar 76% serta suara yang diperoleh Partai Rusia Bersatu yang cukup hegemonik yakni 74, 44 %, tak membuatnya songong dan suka berkoar-koar.

Pelajaran dari kedua pemimpin itu sangat jelas, jika politisi kita menjalankan politik yang sangat radikal dan ultransionalis,  misalnya dengan keinginan untuk mengusir kelompok kanan atau kelompok kiri, justru akan memincu perpecahan antara eleman bangsa. Karena ketika mereka  menentukan hak pilihnya selain karena hak konstitusi, kita telah memiliki ketentuan yang mengintrudusir jika Golput adalah sikap politik yang salah dan tidak bertanggung jawab. Maka ketika pilihannya salah bukan berarti itu cerminan jika mereka tidak cinta tanah air. Dan itu merupakan dinamika politik biasa.

Paparan diatas  itu untuk mendisrkripsikan jika kita tidak perlu menyalurkan energi  cinta dan kebencian terhadap suatu kelompok secara berlebihan. Karena cinta dan benci secara berlebihan hanya akan menutup hati nurani dan pikiran yang jernih.Apalagi bila semua itu hanya untuk mewujudkan ambisi politik yang temporer.

Salah satu pihak yang paling bertanggung jawab untuk menciptakan iklim politik yang sejuk, selain para politisi adalah konsultan politik. Merekalah yang biasanya menawarkan konsep branding  bagi para calon untuk menarik  para pemilih baru/mengambang  (swing voters). Merekalah yang seharusnya memiliki moral obligation untuk menawarkan konsep kampanye tematik yang bersentuhan langsung dengan kepentingan rakyat, misalnya tentang distribusi tanah, tentang pendidikan, konsep pertahanan negara dll. Sekaligus mendidik calon pemilih untuk menggunakan akal sehat dan kritis terhadap gagasan para calon, dan bukan hanya menawarkan sentimen berdasarkan pikiran-pikiran primordial.***
Opini Pilpres Dan Kontestasi Pedagang  Gorengan
Iklan Utama 5