a a a a a a a a a a a
logo
Tentang KamiKontak Kami

Karen Yang Terperangkap Dalam Pukat Harimau

Karen Yang Terperangkap Dalam Pukat Harimau
Karen Galaila Agustriawan saat di Pengadilan Tipikor Jakarta
Oleh : Gugus Elmo Ra’is

Jakarta, Pro Legal News - Mantan Direktur Utama PT Pertamina, (Persero)  Karen Galaila Agustriawan akhirnya divonis hakim Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Jakarta dengan hukuman 8 tahun penjara serta denda Rp 1 Milyar, Senin (10/6). Karen didakwa telah melanggar Pasal 3 ayat I Undang-Undang No 31 tahun 1999 sebagaimana diubah dalam UU Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo Pasal 55 ayat 1 KUHP.

Dalam amar putusannya hakim menyatakan jika Karen dinilai telah mengabaikan prosedur dalam proses investasi PI di Blok BMG Australia sehingga terindikasi merugikan Negara sekaligus memperkaya korporasi  kepada PT Roc Oil Company Ltd sesuai dengan hasil audit dari Kantor Akuntan Publik Drs Soewrano sebesar, Rp 568 miliiar.

Kasus ini sangat menarik ditelaah agar tidak menjadi preseden buruk dalam tata kelola BUMN sekaligus  menutup ruang terjadinya, ‘Kriminalisasi Struktural atau Victimisasi Struktural’ karena adanya tanggung jawab hirarki. Sehingga tidak melanggar asas, praduga tak bersalah (presumption of innonencent) tetapi juga bisa memenuhi asas persamaan di depan hukum (equality before the law) proses hukum.

Tulisan ini sama sekali tidak bermaksud untuk mereduksi tekad dan semangat penegakan supremasi hukum dan pemberantasan korupsi, tetapi semata-mata hanya untuk mengingatkan jika para aparat penegak hukum  dalam hal ini majelis hakim harus benar-benar obyektif sesuai dengan kaidah-kaidah hukum yang berlaku dalam menjalankan proses hukum. Saat ini semua lembaga hukum terutama Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) selalu menggunakan pasal ‘pukat harimau’ yakni pasal 1 jo pasal 2 UU Tipikor yang berisi frasa penyalah gunaan wewenang (abuse of power) serta memperkaya orang lain dan korporasi.

Serta Pasal 3 UU No 31 Tahun 1999 yang berbunyi, “Setiap orang yang dengan tujuan menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi, menyalahgunakan kewenangan, kesempatan, atau sarana yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan atau sarana yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara, dipidana dengan pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan atau denda paling sedikit Rp. 50.000.000 (lima puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp. 1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah) Pasal 4 Pengembalian kerugian keuangan negara atau perekonomian Negara”.

Dengan pasal inilah nyaris semua pejabat termasuk Karen Agustiawan, tak ada yang bisa lolos dari jeratan aparat penegak hukum bila terindikasi melakukan tindak pidana korupsi. Persoalannya, semua aparat penegak hukum harus tetap dikritisi, apakah semua upaya hukum itu dilandasi oleh kondisi obyektif serta sesuai dengan kaidah-kaidah hukum yang berlaku. Apalagi seorang pejabat sesuai dengan fungsinya memiliki hak imunitas, selama dalam menjalankan tugasnya telah sesuai dengan ketentuan  yang berlaku.

Hak imunitas itu telah diatur dalam  Pasal 51 KUHP  yang dikenal sebagai klausul perintah jabatan (ambtelijk bevel). Sering digunakan sebagai alasan untuk menghapus pidana terhadap terdakwa (exemption from liability). Pasal 51 ayat (1) KUH Pidana menyebutkan “Tidaklah dapat dihukum barangsiapa melakukan suatu perbuatan untuk melaksanakan suatu perintah jabatan yang telah diberikan oleh suatu kekuasaan yang berwenang memberikan perintah tersebut”.

Maka disinilah pentingnya peran seorang hakim yang memiliki wewenang melakukan rechvinding, untuk mencari terobosan hukum. Sesuai dengan diktum, Prof, Andi Hamzah, SH,MH seorang hakim harus bisa melakukan inteprestasi gramatikal, interprestasi teologis, interprestasi yuridis, sehingga semua putusan hakim yang berhulu dari keyakinan hakim harus berdasar kondisi obyektif, sehingga putusannya benar-benar memenuhi rasa keadilan. Putusan yang tidak berdasar karena  gebyah uyah (sama rata) dalam setiap kasus, sehingga menimbulkan tesis kriminalisasi structural.

Frase mengabaikan prosedur dalam persetujuan investasi itu juga perlu dikaji lebih dalam, bagaimanakah  Standart Operation Procedur (SOP) dalam tubuh BUMN sebesar PT Pertamina (Persero) yang sesungguhnya. Secara subyektif apakah seorang Karen yang notebene memiliki latar belakang pendidikan serta pengalaman yang cukup tidak tahu SOP itu. Sehingga antara proses Participating Interest (PI) dengan Sale Purcahse Agrement (SPA) adalah menjadi satu kesatuan atau merupakan hal yang terpisah.   

Menurut penulis terdakwa dalam hal ini ‘terperangkap’ dalam frasa penyalah gunaan wewenang serta memperkaya orang lain sesuai dengan pasal 1 jo pasal 2 pasal 3 UU Tipikor. Atau minimal mereka telah terjerat oleh frase pertanggung jawaban hirarki, atau kriminalisasi strutktural. Padahal sesuai dengan premis, ’accesoriumnon ducit, sed sequitur, suum principale’ bahwa mereka bukanlah pelaku utama, tetapi hanya mengikuti keputusan bersama (collective collegial) dengan jajaran direksi dan komisaris. Atas dasar asumsi itulah seharusnya  terpidana itu dibebaskan atau minimal dihukum seringan-ringannya. Sehingga para terpidana itu tidak terdzolimi oleh putusan yang tidak berdasar oleh kondisi obyektif.

Setidaknya, terjadinya dissenting opinion itu membuktikan jika majelis hakim memiliki pertimbangan yang berbeda. Dan masih ada yang menilai dari persepektif itu, sehingga  sekarang tinggal penasehat hukum terdakwa harus bias meyakinkan majelis hakim pada tingkat banding. Agar para hakim  bias mengambil putusan yang benar-benar obyektif. ***
Tipikor Karen Yang Terperangkap Dalam Pukat Harimau