a a a a a a a a a a a
logo
Tentang KamiKontak Kami

Revisi UU RI No 30 Tahun 2002 Tentang KPK Cacat Formil & Materiil

Revisi UU RI No 30 Tahun 2002 Tentang KPK Cacat Formil & Materiil
Kamaruddin Simanjutak SH
Jakarta, Pro Legal News - Menurut praktisi hukum, Kamaruddin Simanjutak SH, proses revisi UU RI Nomor 30 Tahun 2002 Tentang Komisi Pemberantasan Korupsi, yang pengesahannya telah dilaksanakan dalam Rapat Paripurna DPR RI, pada hari Selasa, 17 Setember 2019 itu cacat moril dan materiil. Argumentasinya :

1. Revisi Uu Ri Nomor 30 Tahun 2002 Tentang Komisi Pemberantasan Korupsi Cacat Formil, Karena :

a. Revisi UU RI Nomor 30 Tahun 2002 Tentang KPK RI tidak termasuk Prolegnas 2019 dan/atau bukan skala prioritas Pemerintah RI. Revisi UU RI Nomor 30 Tahun 2002 Tentang KPK RI diduga menyalahi Pasal 5 UU Nomor 12 tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan.

Bab II Asas Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan Pasal 5 dalam membentuk Peraturan Perundang-undangan harus dilakukan berdasarkan pada asas Pembentukan Peraturan Perundang-undangan yang baik, yang meliputi :

a. kejelasan tujuan;

b. kelembagaan atau pejabat pembentuk yang tepat;

c. kesesuaian antara jenis, hierarki, dan materi muatan;

d. dapat dilaksanakan;

e. kedayagunaan dan kehasilgunaan;

f. kejelasan rumusan; dan

g. keterbukaan.

Dalam hal ini KPK RI & lembaga terkait lainnya tidak tahu atas adanya revisi UU RI Nomor 30 Tahun 2002 tentang KPK RI, sehingga tidak memenuhui asas kejelasan tujuan dan keterbukaan !

Prolegnas merupakan instrumen perencanaan pembentukan peraturan perundang-undangan tingkat pusat yang memuat skala prioritas Program Legislasi Jangka Menengah dan Tahunan yang disusun secara berencana, terpadu dan sistematis oleh Dewan Perwakilan Rakyat RI bersama Pemerintah/Eksekutif sesuai dengan perkembangan Sikon ;

b. Revisi UU RI Nomor 30 Tahun 2002 tentang KPK RI bertentangan dengan keinginan rakyat banyak, khususnya rakyat penggiat anti korupsi & Lembaga KPK RI ;

c. Revisi UU RI Nomor 30 Tahun 2002 Tentang KPK RI, bertentangan dengan janji kampanye Jokowi, yang ketika 2 kali kampanye Pilpres berjanji tidak akan melemahkan KPK RI melainkan akan mendukung penguatan Lembaga KPK RI dan/atau Jokowi telah ingkar janji;

d. Diduga tidak kuorum pada saat paripurna;

Kuorum adalah jumlah minimum anggota yang harus hadir dalam rapat, dewan, majelis, dsb. (biasanya lebih dari separuh jumlah anggota) agar dapat mengesahkan suatu hal tertentu ;

Bahwa dalam revisi UU RI Nomor 30 Tahun 2002 tentang KPK RI diduga tidak kuorum, karena berdasarkan informasi yang beredar, anggota dewan dan fraksi yang hadir hanya 102 orang dewan, dalam hitungan manual di Paripurna DPR RI.

Bahwa menurut Pasal 232 UU MD3 disebutkan bahwa : "Kuorum Dalam Rapat Dewan Perwakilan Rakyat RI" mesti setengah dari keseluruhan jumlah Anggota Dewan Dewan Perwakilan Rakyat RI. Sedangkan, pada rapat pengesahan, jumlah anggota dewan tidak memenuhi kuorum dan seharusnya dianggap tidak sah dan/atau tidak sah menurut Pasal 232 UU MD3.

2. Revisi UU RI Nomor 30 tahun 2002 Tentang Komisi
Pemberantasan Korupsi cacat materil, karena :

a. Secara substansial revisi UU RI Nomor 30 tahun 2002 tentang KPK RI sangat melemahkan KPK RI, sedangkan prioritas pemerintah dan rakyat adalah menguatkan lembaga KPK RI untuk mampu memberantas korupsi dan menangkapi pelakuknya untuk segera diproses dan diadili menurut hukum yang berlaku di NKRI ;

b. Keberadaan Lembaga / Dewan Pengawas Penyadapan justru akan mempersulit kinerja KPK RI, karena keberadaan Dewan Pengawas justru membutuhkan Birokrasi yang sangat lama & panjang serta berbelit-belit, guna mendapatkan izin penyadapan, sebab permohonan dan izin harus tertulis disertai alasan yang disetujui oleh pengawas tentunya, sehingga target koruptor keburu lari dari Tempat Kejadian Perkara atau Obyek Penyidikan, sementara izin belum didapat oleh Penyidik dari Dewan Pengawas karena masih berproses sesuai birokrasi ;

c. Dewan Pengawas, terdiri dari lima orang yang dipilih dan ditunjuk langsung oleh Presiden RI. Dewan Pengawas diatur dalam Pasal 37 A hingga 37 G, adapun kewenangan Dewan Pengawas KPK RI antara lain untuk memberi izin penyadapan kepada Penyidik KPK RI.

Artinya karena Dewan Pengawas dipilih dan ditunjuk langsung oleh Presiden RI dan/atau Eksekutif, maka akan tidak memungkinkan bagi Penyidik, untuk mendapatkan Izin Penyadapan ketika Penyidik memohon izin Penyadapan kepada Dewan Pengawas, guna menyadap Pejabat Eksekutif, Teman Se-Partai / se-Koalisi, termasuk menyadap Presiden RI / Wakil Presiden RI dan Para Menteri & Kepala Daerah-separtai dan sekoalisinya, ketika akan berbuat tindak pidana kejahatan Korupsi, karena Dewan Pengawas adalah "Anak Buah dan/atau Teman Dekat" yang dipilih dan ditunjuk langsung oleh Presiden RI;

d. Keberadaan Dewan Pengawas, seketika telah merubah KPK RI dari lembaga independent / bebas dan mandiri menjadi lembaga dependent/tidak bebas dan tidak mandiri, akibat diawasi oleh Dewan Pengawas bentukan Presiden RI, sebab kedudukan KPK sebagai lembaga hukum berada dalam rumpun kekuasaan eksekutif, yang dalam kewenangan dan tugasnya "Seharusnya" bersifat independen dan bebas dari kekuasaan, Akan tetapi pasca diawasi oleh Dewan Pengawas bentukan dan/atau ditunjuk langsung oleh Presiden RI, Hal ini akan menyebabkan menjadi tidak bebas dan tidak mandiri ;

e. Izin penyadapan akan memperlambat gerak cepat Penyidik KPK RI untuk memburu target koruptor, akibatnya target koruptor sudah selesai transaksi korupsi di TKP, sementara Izin Penyadapan masih berproses dimeja para Pejabat Pengawas yang berwenang untuk memberi izin penyadapan, dengan berbagai alasan yang argumentative ;

f. Adanya wewenang menerbitkan Surat Perintah Penghentian Perkara (SP3), akan membuat kinerja Penyidik KPK RI menjadi tidak profesional, dan akan menyebabkan tindakan penyidikan dalam hal pengeluaran "SP-3" akan menjadi transaksional, seperti halnya yang terjadi selama ini di Lembaga Kepolisian RI dan Kejaksaan RI;

g. Bahwa keberadaan Pasal 24 hasil revisi UU KPK RI, dimana pegawai KPK harus tunduk dan patuh terhadap UU RI tentang Aparatur Sipil Negara (ASN), Ini jelas berpotensi bahwa pegawai KPK RI akan diintervensi, apalagi jika tengah mengusut kasus korupsi di Lembaga Eksekutif dan Partai Pendukung dan/atau Koalisinya ;

h. Bahwa atas revisi UU RI Nomor 30 tahun 2002 tentang KPK RI, ada ketentuan dan/atau aturan bahwa penyidik KPK RI wajib sehat jasmani dan rohani yang tertuang dalam Pasal 45A ayat 1 hasil revisi UU RI Nomor 30 tahun 2002 tentang KPK R, artinya Penyidik atas nama : Novel Bawesdan yang sudah tidak sehat lagi karena diduga wajah dan matanya telah dirusak dengan cara disiram air keras oleh Pecinta Korupsi, wajib keluar dari Penyidik KPK RI, artinya, bahwa ada dugaan bahwa Pemerintah RI dan DPR RI telah bersekongkol secara politik, untuk mengeluarkan Saudara Novel Baswedan dari penyidik KPK RI, karena Saudara Novel Baswedan selama ini terbukti sangat tangguh dalam memberantas praktik korupsi di NKRI tercinta ini ;

i. Adapun motif Presiden RI dan DPR RI untuk buru-buru me-Revisi UU KPK RI tanpa Prolegnas 2019 sangat tidak jelas ?, sebab selama ini KPK RI justeru sangat tangguh dan berhasil menangkapi koruptor dari kalangan pejabat politisi & rekanan/pengusaha, sehingga ada dugaan bahwa pejabat dan politisi serta pengusaha, diduga sedang merencanakan korupsi secara berjamaah, sehingga cara terbaik untuk memuluskan korupsi tersebut adalah segera merevisi UU RI nomor 30 tahun 2002 tentang KPK RI, yaitu bahwa KPK RI harus segera dilemahkan, agar korupsi berjamaah bisa berjalan dan berhasil mulus tanpa gangguan dari Penyidik KPK RI !

3. Solusi atas adanya revisi UU KPK RI ini adalah agar KPK RI, Segera melakukan uji materil Ke Mahkamah Konstitusi RI

Tujuan uji materil kepada Mahkamah Konstitusi adalah untuk mendapatkan keadilan dan kepastian hukum, utamanya tentang pemberantasan korupsi !

Judicial review atau hak uji materi merupakan proses pengujian peraturan perundang-undangan yang lebih rendah terhadap peraturan perundang-undangan lebih tinggi yang dilakukan oleh lembaga peradilan.

Bahwa dalam praktik adalah, judicial review undang-undang RI terhadap Undang-Undang Dasar 1945 yang dilakukan oleh Mahkamah Konstitusi RI.

Bahwa adapun pemohon Judicial review atau hak uji materi adalah pihak yang menganggap hak dan/atau kewenangan konstitusionalnya dirugikan oleh berlakunya undang-undang atau Revisi UU RI, yaitu bisa dari :

1. Perorangan warga negara Indonesia;

2. Kesatuan masyarakat hukum adat sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia yang diatur dalam undang-undang;

3. Badan hukum publik atau privat, semisal PT, Koperasi, dll, ; atau

4. Lembaga negara.

Bahwa prosedur pengajuan perkara untuk judicial review MK RI adalah sebagai berikut :

Pemohon, membuat, menandatangani dan mengajukan serta mendaftarkan permohonan judicial review ke Mahkamah Konstitusi RI, bisa diajukan secara langsung ke gedung Mahkamah Konstitusi RI Jakarta, atau bisa mendaftar online lewat situsnya: http://www.mahkamahkonstitusi.go.id/

Permohonan harus ditulis dalam Bahasa Indonesia baku, ditandatangani oleh pemohon/kuasanya dan dibuat dalam 12 rangkap. Permohonan yang dibuat harus memuat jenis perkara yang dimaksud, disertai bukti pendukung dengan sistematika:

1. Identitas dan legal standing posita
2. Posita petitum
3. Petitum

Adapun Prosedur Pendaftaran:

A. Pemeriksaan kelengkapan permohonan panitera:
o Belum lengkap, diberitahukan
o 7 (tujuh) hari sejak diberitahu, wajib dilengkapi
B. Registrasi sesuai dengan perkara:
o 7 (tujuh) hari kerja sejak registrasi untuk perkara.
o Setelah berkas permohonan judicial review masuk, maka dalam 14 hari kerja setelah registrasi ditetapkan Hari Sidang I (kecuali perkara Perselisihan Hasil Pemilu) akan ditetapkan jadwal sidang. Para pihak berperkara kemudian diberitahu/dipanggil, dan jadwal sidang perkara tersebut diumumkan kepada masyarakat.

Bahwa Selain itu, perlu juga diketahui tentang pemberian salinan permohonan saat memasukkan berkas permohonan ke MK RI :

1. Pengujian Undang-undang RI:
o Salinan permohonan disampaikan kepada Presiden dan DPR.
o Permohonan diberitahukan kepada Mahkamah Agung.
2. Sengketa kewenangan lembaga negara:
o Salinan permohonan disampaikan kepada lembaga negara termohon.
3. Pembubaran Partai Politik:
o Salinan permohonan disampaikan kepada Parpol yang bersangkutan.
4. Pendapat DPR:
o Salinan permohonan disampaikan kepada Presiden, selaku Pelaksana Undangundang RI.

Demikian analisis hukum atas Revisi UU RI Nomor 30 Tahun 2002 tentang KPK RI ini, semoga bermamfaat ! Tim
Tipikor Revisi UU RI No 30 Tahun 2002 Tentang KPK Cacat Formil & Materiil