Helena Lim Meresa Julukan Crazy Rich Jadi Bumerang & Stigma
Terdakwa kasus timah, Helena Lim saat jalani persidangan (rep)
Jakarta, Pro Legal- Dalam pledoinya Manajer PT Quantum Skyline Exchange (QSE) Helena Lim yang juga dikenal publik dengan julukan crazy rich PIK menyoroti pemakaian istilah tersebut kepada dirinya.
Menurut Helena, awalnya dia merasa diapresiasi mendapat julukan crazy rich PIK. Namun, dalam perkara hukumnya, julukan tersebut perlahan berubah menjadi stigma negatif dan berbalik menyerangnya.
Pledoi Helena itu disampikan dalam persidangan perkara dugaan korupsi tata niaga timah yang menyeretnya. "Perkara ini memanfaatkan hiperbola dunia showbiz agar muncul kenyinyiran, bahkan kebencian masyarakat terhadap stigma Crazy Rich PIK untuk menormalkan tirani dalam penegakan hukum," ujar Helena dalam sidang pembacaan nota pembelaan atau pleidoi di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Jakarta, Kamis.
Helena juga mengatakan jika seorang crazy rich yang menjadi terdakwa korupsi kemudian dianggap bahwa orang tersebut kaya dari uang rakyat. Menurut dia stigma ini menjadi drama favorit para warganet.
Helena mengaku sempat bangga dengan jargon Crazy Rich PIK yang disematkan pada dirinya. Awalnya dia merasa julukan tersebut merupakan apresiasi dari warganet atas hasil kerja kerasnya. "Namun, ternyata, Yang Mulia, harga sebuah popularitas itu sangat mahal. Mahal sekali. Saya membayarnya dengan harga diri saya," ujar Helena.
Dalam pleidoi itu Helena juga membantah jaksa penuntut umum (JPU) Kejaksaan Agung yang menyebut bahwa QSE adalah alat pengumpul dana keuntungan kerja sama smelter. "Saya menyatakan penolakan keras," ujar Helena.
Menurut Helena, transaksi pembelian valuta asing oleh terdakwa Harvey Moeis dan para terdakwa lainnya bukan transaksi fiktif maupun bantuan pengumpulan dana, melainkan transaksi pembelian valuta asing.
Diungkapkan pula bahwa valuta asing yang dibeli oleh para terdakwa sudah diterima dengan lengkap dan sudah diakui oleh mereka. Helena menegaskan bahwa keuntungannya kurang lebih sama dengan keuntungan jasa money changer atau penukaran uang lainnya. "Tidak ada suatu keuntungan lebih sehingga dapat dianggap sebagai dasar argumentasi bahwa saya dan/atau PT QSE berperan sebagai alat pengumpul dana keuntungan kerja sama smelter," ujarnya.
Tetapi Helena juga mengakui sudah melakukan kelalaian administrasi sebelum mengenal Harvey Moeis dan para terdakwa lainnya. Meskipun demikian, dia mengaku tidak ada urusan dan tidak mau tahu urusan smelter Harvey dengan PT Timah Tbk. "Saya merasa sangat tidak adil dan sangat dizalimi oleh jaksa penuntut umum. Hanya karena saya seorang figur publik, dijadikan chopping board, talenan oleh jaksa penuntut umum," ujar Helena. Pada hari Kamis (5/12), jaksa penuntut umum (JPU) Kejaksaan Agung Ardito Muwardi dalam Pengadilan Tipikor Jakarta menuntut Helena untuk dijatuhi pidana selama 8 tahun penjara terkait dengan perkara korupsi pengelolaan tata niaga komoditas timah di wilayah IUP PT Timah pada tahun 2015-2022.
JPU menilai Helena melanggar Pasal 2 ayat (1) juncto Pasal 18 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan UU Nomor 20 Tahun 2001 jo. Pasal 56 ke-2 KUHP dan Pasal 3 UU Nomor 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang jo. Pasal 56 ke-1 KUHP.(Tim)