a a a a a a a a a a a
logo
Tentang KamiKontak Kami

Dalam Menangani Bencana Perlu Intuisi

Dalam Menangani Bencana Perlu Intuisi
Kasubdit Penanganan Korban Bencana Alam (PKBA) Dit PSKBA Ditjen Linjamsos Kemensos RI, Iyan Kusmadiana
Jakarta, Pro Legal News - Sebagai negara yang memiliki wilyah bertopo grafi kepulauan  serta memiliki gunung-gunung berapi (ring of fire), Indonesia menjadi kawasan langganan bencana. Berbagai bencana seperti gunung meletus, gempa bumi hingga tsunami menjadi bencana yang sering terjadi. Dengan konsideran itulah, Indonesia memiliki beberapa unit atau lembaga yang khusus menanggulangi bencana seperti Taruna Siaga Bencana (Tagana) Badan SAR, Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) serta pasukan TNI dan Polri yang selalu siap bila diperlukan.

Dari beberapa unit itu, Tagana memiliki kekhasan tersendiri dalam menanggulangi bencana. Sebagai unit non organik karena berasal dari berbagai latar belakang, Tagana kini menjelma menjadi unit yang handal dan serba guna. Bahkan taruna yang memiliki anggota sekitar 37.817 ini kini menjadi unit kebanggaan Kementerian Sosial. Karena selain kemampuannya yang semakin handal dalam menanggulangi bencana unit ini selalu menjadi unit tercepat tiba di lokasi bencana, sesuai dengan semboyannya, 30 menit harus sudah sampai di lokasi bencana. Sehingga korban bencana segera memperoleh bantuan.

Untuk mengelola dan mengkoordinir Tagana agar menjadi unit yang cepat dan handal itu bukanlah persoalan mudah. Hal itu diungkapkan oleh Kasubdit Penanganan Korban Bencana Alam (PKBA) Iyan Kusmadiana, yang menjadi motor penggerak Tagana di seluruh Indonesia. Setidaknya ada beberapa hal yang harus diperhatikan oleh koordinator Tagana untuk menggerakkan unit itu secara simultan. Yang pertama adalah networking (jaringan), karena unit ini mustahil bisa bergerak tanpa ada koordinasi dari pihak lain seperti lembaga pemerintah lain, pemerhati hingga kalangan NGO. Sehingga unit ini bisa bergerak secara leluasa dalam memberikan bantuan kepada korban bencana.

Yang kedua, harus benar-benar ‘ngeblend’ (menyatu) dan menjiwai, seorang koordinator harus benar-benar menyatu dan menjiwai tugas yang diembannya. Tidak boleh ada jarak antara koordinator dengan para Taruna, sehingga koordinator bisa mengetahui kebutuhan para Taruna dalam memberikan bantuan kepada para korban sekaligus bisa cepat mengambil keputusan untuk menggerakan unit Tagana. Militansi itu bukan sekedar pendekatan teoritis tetapi berdasarkan langkah nyata di lapangan. Apalagi yang dihadapi adalah korban bencana yang tak jarang kondisi jiwanya yang terancam. Maka tak mengherankan bila bisa berhari-hari bahkan berbulan-bulan seorang koordinator Tagana tidak bisa bersua dengan meja kantor apalagi dengan keluarga.

Ketiga menurut Kang Ian (biasa dipanggil) adalah kesinambungan (sustainable). Dalam memberikan bantuan kepada para korban itu perlu kesinambungan sehingga tidak terjadi stag di lapangan. Apalagi secara psikologis kondisi para korban itu biasanya sangat rentan. Apabila perlakuan terhadap para korban tidak berkesinambungan, alih-alih bisa memberikan bantuan tetapi yang terjadi justru korban marah kepada para petugas pemberi bantuan. Para korban biasanya dalam kondisi stress dan cepat marah bila perlakuan petugas berubah-ubah.

Terakhir menurut pria kelahiran Sumedang, Jawa Barat ini adalah intuisi. Seorang koordinator harus memiliki intuisi yang tajam dalam mengendalikan unitnya untuk bisa memberikan bantuan secara cepat dan efektif. Apalagi kondisi lapangan serta psiko sosial masyarakat berbeda-beda. Tergantung dengan kultur budaya masyarakat setempat yang menjadi korban bencana. Sehingga seorang koordinator harus memiliki insting dan intuisi yang kuat dalam menggerakan unit yang ada untuk memberikan bantuan kepada para korban bencana. Tim
Nasional Dalam Menangani Bencana Perlu Intuisi