Jakarta, Pro Legal News - Klaim bahwa selama kepemimpinan Jokowi tidak pernah lagi ada pelanggaran HAM berat, sebagaimana disampaikan Menkopolhukam, Mahfud MD (13/12/2019 dan 14/12/2019) terbantahkan oleh pengumuman Komnas HAM yang dalam Rapat Paripurna memutuskan bahwa kasus Paniai merupakan pelanggaran HAM berat (Senin, 17/2/20120). Kasus ini terjadi pada 7-8 Desember 2014, persis di bulan kedua setelah Jokowi mengucapkan sumpah sebagai presiden pada 2014. Penilaian itu diberikan oleh Setara Institute melalui siaran persnya, Selasa (18/2/20).
Terlepas validitas dan akuntabilitas kinerja penyelidikan Komnas HAM, yang berdasarkan UU 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM memiliki kewenangan penyelidikan pro justicia, keputusan paripurna Komnas HAM adalah produk kerja penegakan hukum yang harus direspons oleh Kejaksaan Agung sebagai penyidik kasus pelanggaran HAM berat, setelah pada Selasa, 11/2/2020 telah menerima laporan penyelidikan dari Komnas HAM. Sesuai UU 26/2000, Kejaksaan Agung akan melakukan penyidikan dan paralel dengan kerja penyidikan, Presiden Jokowi harus membentuk pengadilan HAM.
Menurut Setara, silang pendapat antara Kepala Kantor Staf Kepresidenan (KSP), Moeldoko dan Komnas HAM pasca-pengumuman status kasus Paniai bukanlah sikap produktif. Komnas HAM sebaiknya fokus memperkuat laporan penyelidikan, yang biasanya oleh Kejaksaan Agung selalu dilemahkan. Sedangkan pemerintah yang diwakili Moeldoko tidak perlu reaktif. Karena, sebagai Panglima TNI saat peristiwa Paniai terjadi, bisa jadi Moeldoko adalah pihak yang perlu dimintai keterangannya, untuk menguji validitas unsur ‘terstruktur’ sebagai variabel yang harus dipenuhi dalam sebuah kasus pelanggaran HAM berat dan memastikan adanya tanggung jawab komando (command responsibility).
Bahkan Setara menyatakan, baik pernyataan Komnas HAM maupun pernyataan Kepala KSP, keduanya adalah pernyataan politik. Jika Komnas HAM sedang menjalankan politik penegakan HAM, maka Kepala KSP sedang menjalankan peran politik melindungi rezim. Kecepatan Kejaksaan Agung menetapkan status kasus ini akan menyajikan jawaban yang lebih presisi.
Sambil menanti kinerja lanjutan dari institusi penegak hukum, yang pasti bahwa kasus Paniai adalah kasus aktual yang menuntut penuntasan yang berkeadilan. Jika banyak elit berkelit untuk menuntaskan kasus pelanggaran HAM masa lalu karena alasan dimensi waktu dan konteks yang diperdebatkan, maka kasus Paniai adalah ujian bagi Jokowi untuk menuntaskan kasus yang terjadi pada era kepemimpinannya.
Sebagai kasus yang terjadi pasca UU 26/2000, maka kasus Paniai sama sekali tidak memerlukan pertimbangan DPR untuk menuntaskannya, termasuk untuk Jokowi membentuk Pengadilan HAM.(Jon)