a a a a a a a a a a a
logo
Tentang KamiKontak Kami

Berbelit-belit, Pengurusan Dokumen Pertanahan

Berbelit-belit, Pengurusan Dokumen Pertanahan
Kantor Pertanahan Jakarta Timur
Jakarta, Pro Legal News - Di seluruh Indonesia, selama sepuluh tahun terakhir, tercatat rata-rata 3.073 putusan perkara perdata tanah per tahun. Atau sekitar 10 putusan perkara perdata tanah per hari kerja (asumsi 1 tahun setara 300 hari kerja). “Jumlah itu belum termasuk perkara ingkar janji (wanprestasi) mengenai pembayaran sewa atau jual beli tanah,” ujar Dr Ir Albert Kuhon MS SH, advokat yang biasa mendampingi klien dalam masalah pertanahan.

“Jumlah itu juga belum termasuk gugatan pembatalan sertifikat terbitan Kantor Pertanahan atau Badan Pertanahan Nasional,” ujar Kuhon yang dihubungi Selasa (2/7) petang. Cukup banyak sertifikat tanah yang diterbitkan dengan cara menyimpang.

Sejauh ini hampir tidak pernah ada sertifikat yang dibatalkan oleh Kepala Kantor Pertanahan, Kepala Kanwil atau Dirjen di Badan Pertanahan Nasional (BPN) akibat ‘kekeliruan’. “Para pejabat itu punya kewenangan diskresi buat membatalkan sertifikat tanah yang mereka terbitkan,” tutur Kuhon, “Tapi mereka selalu cuci tangan dan menunggu pembatalan dari pengadilan.”

Advokat Kuhon dimintai pendapat sehubungan diberlakukannya sertifikat tanah elektronik atau E-sertifikat. Di kantor-kantor pertanahan di Jakarta, pemberlakuan E-sertifikat dimulai sejak 31 Mei 2024. Di daerah, ada yang sudah mulai memberlakukan proses E-sertifikat, tapi banyak juga yang belum siap. “Di beberapa wilayah Jawa Tengah mulai diberlakukan Juni-Juli ini,” tuturnya.

Berbelit-belit
Proses pengurusan sertifikat tanah di kebanyakan kantor pertanahan sangat berbelit-belit dan tidak seragam. Kantor pertanahan di Jakarta, tidak mengizinkan formulir permohonan diisi dengan tulisan tangan. Padahal tidak ada peraturan resminya. “Di Kantor Pertanahan Jakarta Timur, saya pernah terpaksa mengulang prosesnya karena loket di sana tidak mau menerima formulir yang diisi dengan tulisan tangan,” tutur wartawan senior yang juga berprofesi sebagai advokat itu.

Dia juga bercerita pernah membantu bekas teman kosnya di Yogyakarta, mengurus perpanjangan sertifikat hak guna bangunan di salah satu kantor pertanahan di Jakarta. Temannya tinggal di luar kota. Kuhon harus bolak-balik sepuluh kali ke kantor pertanahan tersebut, karena selalu ada kekurangan kelengkapan dokumen. “Setiap kali kekurangan dipenuhi, muncul kekurangan lain. Misalnya, fotokopi KTP harus berwarna. Padahal sebelumnya tidak dipersyaratkan begitu,” tuturnya.

Staf kantor pertanahan juga menyuruh Kuhon ke Dinas Kependudukan dan Pencatatan Sipil. Katanya, data kependudukannya tidak sesuai dengan data yang ada di Dinas Dukcapil. “Padahal, data saya tidak ada hubungannya dengan isi sertifikat yang diurus. Saya hanya membantu teman saya yang jadi pemilik tanah tersebut,” tuturnya tertawa-tawa.
alt text Foto batas tanah dengan keterangan koordinat (menggunakan aplikasi geotagging

Foto batas

Salah satu persyaratan pendaftaran permohonan penetapan batas (pengakuran) adalah dilampirkan foto batas tanah. Tidak banyak yang tahu, bahwa foto batas harus berisi keterangan tentang koordinat lahan. Sehingga pemotretan harus dilakukan mengunakan kamera yang bisa dioperasikan dengan aplikasi geotagging.

Ternyata, lampiran foto yang dilengkapi koordinat pun tidak cukup. “Saya pernah diminta mengulangi pengambilan foto, harus ada gambar pemilik lahan atau kuasa pemilik lahan yang menunjukkan batas tanah,” kata Kuhon. “Ringkasnya, prosedur dan persyaratan pendaftaran pengukuran atau permohonan sertifikat memang sengaja dibuat berbelit-belit.” ***
Nasional Berbelit-belit, Pengurusan Dokumen Pertanahan