a a a a a a a a a a a
logo
Tentang KamiKontak Kami

Antara Presiden, Gabener dan Gudbener

Antara Presiden, Gabener dan Gudbener
Oleh : Gugus Elmo Ra’is

Dalam sistem demokrasi  kursi kekuasaan itu bukan ‘tahta suci’.  Karena sistem ini menurut tesis Plato dan Aristoteles merupakan  sistem yang melibatkan rakyat dalam proses perumusan kebijakan negara. Tesis ini merupakan antitesis  dari teori Thomas Aquina, Santo Antonius, Shin Yang hingga Machiavelli, yang menghendaki negara memiliki otoritas penuh dalam perumusan kebijakan. Maka sebagai negara demokrasi, kebebasan berpendapat merupakan prasyarat utama demokrasi (qonditio sin qua non), serta tidak membiarkan penguasa untuk mengambil sikap semaunya, le’ etat c’est mo’i (negara adalah saya) seperti yang pernah dilakukan oleh Raja Louis ke XIV.

Tetapi meski kebebasan berbicara itu merupakan prasyarat utama demokrasi yang dilindungi oleh UUD 1945 pasal 28 serta Konvenan Internasional Hak-Hak Sipil Dan Politik Pasal 19, tetapi dalam demokrasi tetap harus mengedepankan fatsoen (tata-krama). Karena kebebasan  berbicara yang merupakan hak asasi manusia itu pasti akan berhadapan dengan kebebasan orang lain yang menjadi obyek pembicaraan. Setidaknya setiap individu harus dijamin kebebasannya untuk tidak mendapat serangan verbal yang berdasar kebencian (hate speech) atau minimal terbebas dari kemungkinan mendapat perlakuan tidak menyenangkan seperti yang  diatur dalam Pasal 335 KUHP.

Tetapi fenomena yang terjadi saat ini justru sebaliknya,  karena liberalisme  politik kritik dan serangan terhadap pemerintah maupun terhadap pihak-pihak yang bersebarangan secara politik cenderung menggunakan bahasa-bahasa yang sarkas  (kasar) yang tidak elok untuk didengar dan tidak sesuai dengan karakter Bangsa Indonesia yang dikenal sebagai bangsa yang santun. Kritik itu lebih dominan  berdasarkan  kebencian (hate speech) dan apatisme politik ketimbang kritik yang konstruktif sebagai bagian  untuk melangkapi tentative solution seperti teori Karl Raymond Propper.

Serangan verbal terhadap satu tokoh  dari kelompok  tertentu niscaya akan menimbulkan reaksi  negative dari  loyalis baper, yang pada gilirannya akan melakukan serangan balasan yang sama. Maka  sangat ironis, apabila ada  kelompok yang  mengklaim  mencintai NKRI dengan harga mati, tetapi faktanya sering melakukan serangan verbal terhadap kelompok lain. Doktrin nasionalisme seharusnya diwujudkan dengan cara merangkul bukan justru menendang  dan saling meniadakan kelompok lain. Karena nasionalisme menurut premis Karl Renan  dan Otto Bauer itu adalah kehendak untuk bersatu. Meski nasionalisme menurut Andreas  W Gellner itu adalah gagasan imaginer untuk melindungi kepentingan suatu bangsa.

Seorang pemimpin baik itu presiden atau kepala daerah dengan berbagai level mulai dari Gubernur hingga Lurah  adalah symbol kehormatan dari setiap wilayah yang dipimpinnya. Maka marwah kehormatan itu seharusnya dijaga oleh semua stakehoulders. Untuk menilai keberhasilan setiap pemimpin itu harus menggunakan parameter dalam bentuk penilaian keselarasan antara visi, misi dan implementasi. Karena setiap pemimpin produk demokrasi itu telah memiliki kontrak politik dan kontrak sosial yang pernah dipresentasikan ke masyarakat selama masa kampanye dan kontrak itu ditanda-tangani ketika dilantik.

Maka ketika membuat kebijakan pemimpin tersebut harus mampu memberikan narasi terhadap kebijakan yang dia buat. Sekaligus mampu berperan sebagai information leadhersip, untuk memberikan narasi kebijakan agar rakyat faham dengan tujuan kebijakan yang dikeluarkan sehingga mereka bisa tunduk dan patuh. Sekaligus memudahkan proses pengawasan apabila proses eksekusi kebijakan itu tidak sesuai dengan ketentuan. Sehingga memudahkan masyarakat untuk menilai efektifitas kebijakan itu sekaligus mengukur tingkat keberhasilan pemimpin itu sendiri.  

Sehingga  siapapun yang ingin memberikan kritik  dan masukan itu telah memiliki  parameter yang jelas untuk menilai keberhasilan seorang pemimpin, bukan semata-mata karena karakter pribadi yang melekat dalam diri pemimpin itu. Ketika program atau kebijakan itu tidak sesuai  dengan janji-janinya tinggal memberikan masukan. Bukan justru sebaliknya menyerang pribadi secara membabi-buta, seperti misalnya ada yang mengatakan bahwa presiden hanya bisa plonga-plongo, padahal kritik itu berhulu dari ketidak mampuan mereka untuk memberikan masukan terhadap setiap program yang telah dikeluarkan oleh presiden.

Begitu juga halnya banyak pihak yang mengkritik Gubernur  yang juga secara membabi buta dengan mengatakan Gabener, pejabat pecatan, Kadrun  dan lain sebagianya tanpa mau membaca, menelaah sekaligus memberikan masukan terhadap gubernur yang bersangkutan. Kritik model seperti ini jelas hanya  berdasar dari apatisme politik. Sebaliknya, di mata pendukungnya tanpa mau mengkritisi kebijakan pemimpinnya langsung mendaulat sebagai Gudbener yang layak untuk menjadi presiden yang akan datang. Maka kritikan maupun sanjungan model seperti itu sangat jelas dilandasi oleh sentiment politik ketimbang  masukan yang konstruktif sebagai upaya untuk mencapai final solution sesuai teori Propperian (tidak begitu kelees).***
Opini Antara Presiden, Gabener dan Gudbener