Tepat pada tanggal 17 Agustus 2019 lalu republik ini telah berusia 74 tahun. Usia yang lebih dari 9 windu itu seharusnya sudah memasuki fase kematangan dan kemapanan. Namun faktanya kematangan untuk memaknai paradigma berbangsa dan bernegara masih jauh panggang dari api. Bahkan terbilang mengalami distorsi dan kemunduran yang cukup parah. Sementara kemapanan sebagai puncak tujuan bangsa ini sesuai dari sila kelima Pancasila, keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia masih jauh dari harapan.
Kematangan berbangsa dan bernegara terutama bagi kalangan generasi muda saat ini terbilang berada pada titik nadir atau bisa dibilang hipokrit, karena baru sebatas retorika belaka. Saat ini hampir setiap orang dengan mudah menyatakan jika Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) adalah harga mati. Slogan dan retorika itu dengan mudah kita temui di jalan-jalan serta dilorong-lorong, namun implementasi atau pengejawantahannya masih minim.
Secara empirik kemunduran itu bisa kita lihat dengan adanya sikap saling hujat, saling menebar fitnah atau hoaks terutama melalui media sosial. Semua dengan mudah menyatakan mencintai persatuan, tetapi juga dengan mudah menyindir dan mendiskreditkan kelompok lain dengan menggunakan bahasa-bahasa yang menjadi symbol primordialisme seperti, kaum unta gurun, kaum celana ngatung, kelompok Taliban, (untuk kelompok agama) atau kelompok palang (untuk kaum Nasrani) bahkan ada yang disebut kelompok sumbu pendek. Menghadapi kompetisi politik dalam Pilpres 2019 lalu malah masyarakat terfragmentasi menjadi dua kelompok yang saling berhadapan yakni Cebong dan Kampret.
Liberalisasi politik menjadi pangkal dari semua itu karena setiap kelompok memiliki peluang untuk membentuk organisasi politik, terutama politik-politik identitas dengan menggunakan isu-isu primordial untuk merayu konstituan masing-masing. Fanatisme sempit membuat setiap kelompok mengalami kristalisasi sekaligus militansi yang pada gilirannya berpotensi menimbulkan gesekan dengan kelompok lain. Apalagi bila menyangkut dengan kursi kekuasaan, tak jarang mereka menggunakan politik zero sum game atau tumpas kelor. Yang menihilkan peran dari kelompok lain. Bahkan tak jarang karena adanya perbedaan pandangan politik memunculkan keinginan untuk memisahkan diri (disintegrasi) atau minimal jalan sendiri-sendiri.
Padahal bangsa ini berdiri dan eksis karena dibangun oleh elemen yang majemuk, karena adanya kehendak bersatu diantara masing elemen seperti tesisnya Ernest Renan maupun Otto Bauer yang diadopsi dengan baik oleh Soekarno yang memang gandrung dengan persatuan nasional. Dan perjuangan bangsa ini untuk merdeka dan berdiri sendiri itu melalui beberapa fase seperti national guest, national will dan mencapai puncaknya pada pertistiwa sumpah pemuda, 28 Oktober 1928 lalu. Semua delegasi dari berbagai daerah dan suku yang hadir menyatakan jika NKRI adalah harga mati yang langsung diimplementasikan menjadi perjuangan fisik (national daad) yang akhirnya berhasil memerdekakan bangsa ini dari belenggu penjajahan yang telah berlangsung sekitar tiga setengah abad.
Distorsi (kemunduran) atau krisis itu terjadi karena Pancasila baru dimaknai sebatas falsafah Negara yang simbolik. Mereka tidak tahu cara menterjemahkan /mengejawantahkan. Semua sepakat jika Pancasila adalah intisari peradaban bangsa ini yang lahir melalui proses dealiktif budaya Nusantara yang sangat panjang. Idealnya Pancasila menjadi standar moralitas bangsa untuk merawat persatuan yang berasal dari elemen yang sangat heterogen dan majemuk. Tetapi generasi muda sekarang/milenial tidak bisa memaknai karena kurangnya literasi tentang Pancasila sekaligus cara memaknainya.
Maka disinilah pentingnya pembekalan kepada generasi muda tentang nilai-nilai Pancasila seperti pada masa lalu melalui penataran Pedamon, Penghayatan dan Pengamalan Pancasila (P4), sehingga setiap individu bisa memaknai dan mengamalkan Pancasila secara baik dan benar. Setidaknya bisa dimulai dari mengembalikan Pendidikan Moral Pancasila (PMP) dalam kurikulum pendidikan nasional.
Dengan bekal pemahaman tentang Pancasila yang memadai, maka setiap individu memiliki pengetahuan tentang standar moralitas bangsa untuk merawat kebhinekaan sekaligus mengetahui tujuan bersama yang ingin dicapai bangsa ini yakni keadilan social bagi seluruh rakyat Indonesia. Sehingga bisa memancing partisipasi generasi muda dalam proses pembangunan bangsa.***