Pro Legal News - Terorisme tak ubahnya seperti penyakit kanker yang menggerogoti bangsa ini. Bila tidak ada special treatment (perlakukan khusus) bukan tidak mungkin ekskalasi atau stadiumnya meningkat. Sepanjang tahun 2019 ini berdasarkan data Mabes Polri, setidaknya ada 68 teroris yang berhasil digaruk oleh Detasemen Khusus (Densus) 88. Bahkan sesuai data yang dilansir oleh Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) seperti yang diungkapkan oleh peneliti BNPT, Sidratahta Mukhtar, Januari 2016 lalu di negara ini setidaknya ada 2,7 juta simpatisan atau yang kerap disebut sebagai sleeper agent (agen tidur). Maka pemberantasan terorisme merupakan salah satu pekerjaan rumah yang besar bagi bangsa ini.
Ada beberapa hipotesa yang menjelaskan kenapa terorisme itu bisa tumbuh di negeri ini. Pertama adalah kesenjangan sosial dan ekonomi. Disparitas ekonomi kita sangat mencolok, ratio antara jumlah orang kaya serta kaum miskin sangat jomplang. Meski secara ideologi kita mendeklar sebagai penganut ekonomi kerakyatan berdasarkan Pancasila, tetapi faktanya kita menjalankan perekonomian pasar terbuka. Simpul-simpul perekonomian banyak dikuasai oleh sektor swasta melalui kebijakan privatisasi yang diendorce oleh International Moneteri Fund (IMF).
Liberlisme dan kapitalisme ini membuka ruang bagi kaum pemodal atau kapitalis untuk menggilas kaum lemah. Sementara struktur sosial kita lebih didominasi oleh kaum lemah. Perasaan termarginalkan atas akses ekonomi dan pendidikan inilah yang menjadikan banyak orang mudah terpapar oleh faham-faham radikal yang bisa diakses melalui internet atau figur-figur yang mememang memiliki faham yang radikal.
Kedua adalah pemahaman nilai-nilai Islam yang parsial, (sepotong-sepotong). Bila Islam dipahami secara kaffah (menyeluruh) seperti perintah dalam Al Qur’an Surat Al Baqarrah, Ayat 208 maka jelas akan terlihat jika Islam adalah agama yang lengkap dan rahmatan lil alamin seperti tesisnya Rene David maupun Cristian Snouck Hourganje yang menyatakan jika, Islam is religion of law in the full meaning of the world (Islam adalah agama yang memiliki system hukum yang lengkap di dunia). Pemahaman Islam secara kaffah, membuat setiap individu akan memperoleh referensi jika Islam adalah agama yang sangat humanis dan menjunjung tinggi toleransi serta nilai-nilai kemanusiaan.
Dengan konsideran itulah, penulis sangat menentang gagasan dari beberapa pihak yang mengusulkan agar ajaran agama dikeluarkan dari kurikulum pendidikan nasional. Ajaran agama Islam dikembalikan menjadi tanggung jawab setiap individu dan komunitas untuk mempelajari nilai-nilai Islam. Karena dengan kurikulum itulah kita bisa melakukan standarisasi kurikulum pendidikan berdasarkan mahzab-mahzab yang diyakini oleh mayoritas umat Islam yang ada di Indonesia. Dengan pemberian bekal ilmu agama yang humanis dan memadai niscaya tidak ada bibit-bibit radikalisme sekaligus menjadi benteng moral yang kokoh bagi umat Islam terutama kalangan generasi muda dari ancaman dekadensi moral.
Setidaknya kita bisa mengambil contoh dari pemerintah Jerman. Kepala Gereja Protestan Jerman, Uskup Heinrich Bedford Strohm telah mengusulkan ke 16 negara bagian federal agar memasukan pendikan agama Islam dalam kurikulum. Uskap itu berdalih jika pemberian pendidikan agama Islam di sekolah, para murid bisa mempelajari sekaligus melakukan tinjauan kritis terhadap nilai-nilai yang dipelajarinya itu.
Dengan berbagai hipotesa berdasarkan nilai-nilai agama serta antitesa dengan berbagai realitas sosial dan ekonomi yang dihadapi, setiap individu akan memperoleh sintesa yang bisa diaplikasikan dalam kehidupan sehari-hari di lingkungannya masing-masing. Masyarakat muslim di Jerman secara otomatis punya tanggung jawab moral untuk ikut melawan terorisme yang terjadi di negaranya.
Konsep deradikalisasi seperti itulah yang diharapkan berlaku efektif di Indonesia. Tidak hanya mengandalkan dari Detasemen Khusus 88 serta Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) yang memiliki kemampuan serta anggaran yang sangat terbatas.***