Terlalu dini bila kemenangan (2-1) Tim Garuda Muda atas Timnas Qatar di Stadion SRC Mladost, Cakovec, Kroasia, Kamis (17/9/2020), dianggap jika Timnas Indonesia U-19, telah mengalami perubahan revolusioner. Tetapi penampilan anak-anak muda itu tidak bisa dipungkiri telah mengalami perkembangan yang signifikan. Setidaknya dalam pertandingan uji coba dan kompetisi persahabatan itu, Timnas mengalami progres yang menjanjikan. Ditekuk Timnas Bulgaria (0-3), lalu digebuk Timnas Kroasia (1-7) serta menahan imbang Timnas Arab Saudi (3-3) dan terakhir mempencundangi Timnas Qatar (2-1).
Hasil dua pertandingan terakhir itulah yang bisa dijadikan indikator jika Timnas telah mengalami evolusi yang menjanjikan. Apalagi selama ini Timnas Indonesia sering menjadi bulan-bulanan tim-tim dari Jazirah Arab, tetapi kini justru Pasukan Garuda bisa tampil gagah dan bisa menjungkalkan mereka. Bahkan karena hasil pertandingan itu Pelatih Timnas Arab Saudi U-19, asal Belanda, Damien Hertog mengalami nasib tragis. Dia baru saja dipecat oleh Federasi Sepakbola Arab Saudi (SAFF) Rabu 16 September 2020 sebagai imbas dari hasil imbang itu. Dan bukan tidak mungkin pelatih Timnas Qatar, Fabio Cesar akan menyusul nasib Phillip Troussier yang pernah didepak sebagai Pelatih Qatar karena kalah dengan Timnas Indonesia.
Kehadiran Shin Tae Yong, sebagai head coach Timnas Indonesia dalam berbagai level usia semula dianggap mirip dengan Anatoly Polosin yang pernah membawa Timnas menjuarai Asean Games Manila karena menggunakan latihan fisik secara spartan. Tetapi Shin Tae Yong telah melakukan ‘inviltrasi’ budaya baru dalam membentuk tim sepak bola yang handal seperti halnya sekondannya dari Korea, Park Haeng So yang telah mampu membentuk Timnas Vietnam yang mobile dan berkarakter hingga mampu menaklukan Timnas Indonesia dalam ajang AFF 2019 yang saat itu dibesut oleh Luis Milla yang nota bene mengusung gaya Tim Matador yang saat ini tengah merajai dunia dalam berbagai ajang kompetisi.
Shin Tae Yong membuat paket lengkap dalam program pelatihan tidak melulu aspek teknis, namun semua harus disupervisi secara rigid. Mulai dari habit (kebiasaan) pola makan yang tidak higienis (seperti misalnya kebiasaan makan goreng-gorengan) langsung distop dan diberi sanksi, begitu juga tingkat kedisiplinan para pemain yang diberlakukan secara straight tanpa pandang bulu. Tanpa alasan yang jelas maka para pemain dapat dipastikan akan digrounded oleh STY. Latihan fisik dilakukan secara spartan hingga tiga kali dalam sehari, tanpa peduli bila ada yang pingsan. Sehingga endurance dan kemampuan fisik para pemain bisa optimal.
Didukung oleh tim teknis yang mumpuni yang nota bene pernah menjadi timnya saat menundukan Timnas Jerman (2-0), maka akan membuat penampilan Timnas Indonesia bermain secara scientific dan mobile serta dengan kolektivitas yang tinggi. Bahkan Shin Tae Yong juga mengajarkan cara memenej energy para pemain agar timnya mampu bermain spartan dalam tempo 90 menit tanpa harus kehabisan napas, dengan cara menciptakan kolektivitas yang tinggi. Karena dengan stamina yang terjaga, maka kemampuan teknik pemain akan bisa diperlihatkan secara maksimal. Apalagi secara teknik, rata-rata pemaian Indonesia memiliki kemampuan dan kecepatan dribbling yang tidak diragukan lagi.
Secara perlahan revolusi yang dilakukan oleh Shin Tae Yong terhadap daya tahan fisik, tingkat disiplin serta cara bermain para pemain Timnas U-19 mulai menampakkan hasil, maka harapan Bangsa Indonesia bisa melihat penampilan Timnas yang bertenaga serta didukung oleh kemampuan teknik yang memadai seperti halnya yang pernah diperlihatkan oleh Taeguk Warriors (Timnas Korea) dalam ajang piala dunia 2002, tidak akan lama lagi akan terwujud. Sebuah penampilan yang membuat mantan pelatih MU Alex Ferguson terpana karena ada sebuah tim yang mampu bermain dan berlari sepanjang pertandingan. Dan hal itulah yang menjadi salah satu pertimbangannya untuk merekrut Park Ji Sung menjadi bagian dari Tim Setan Merah dan akhirnya terbukti sukses.
Maka untuk membentuk Timnas yang hebat kita tidak harus berkiblat pada Timnas Spanyol dengan tiki-takanya atau dengan Brasil yang dikenal Goyang Sambanya, tetapi cukuplah belajar dari Negeri Korea yang bisa memaksimalkan kemampuan pemain yang disesuaikan dengan budaya regional (Asia). Dan semua bisa dimulai dengan revolusi mental dan revolusi kebudayaan para pemain bola di Indonesia yang justru sering meredup saat memasuki usia emas. Meski pada awalnya terlihat sangat potensial dan menjanjikan disaat usia dini. Dan kita harus banyak menimba ilmu dari seorang Shin Tae Yong.***