Banjir di wilayah Jabodetabek merupakan penyakit komplikasi yang akut dan kambuhan karena rutin terjadi di setiap musim penghujan di akhir dan di awal tahun. Karena banjir yang terjadi di wilayah ini adalah akumulasi dari kesalahan kolektiv (bersama) bangsa ini dalam mengelola lingkungannya. Daya dukung kawasan ini dalam menghadapi fenomena alam sudah hancur.
Rusaknya tata ruang, minimnya daerah resapan karena pembangunan yang mengabaikan amdal, tidak representatifnya sistem drainase, serta eksploitasi air tanah tak terkendali yang mengakibatkan turunnya permukaan tanah secara ekstrim membuat daya dukung wilayah Jabodetabek menjadi remuk. Serta kesadaran masyarakatnya yang masih sangat rendah yang suka membuang sampah sembarangan semakin melengkapi tesis jika banjir itu adalah dampak dari kesalahan kolektiv bangsa ini.
Bila ada hujan yang sangat ekstrim dengan intensitas tinggi bisa dipastikan sebagian wilayah ini akan tenggelam. Maka sangat naïf bila semua pekerjaan rumah (PR) yang sangat komplek itu hanya dibebankan kepada seorang Anis Bawesdan. Apalagi bila dia harus menanggung kesalahan-kesalahan para pendahulunya. Karena dia bukan pemimpin yang berada di ruang kosong, seperti halnya Bandung Bondowoso yang bisa merubah keadaan dengan membuat candi dalam waktu satu malam, tetapi dia adalah seorang gubernur yang terikat kontrak politik dan kontrak sosial dengan banyak pihak. Sehingga setiap kebijakan harus dinegosisaikan terlebih dahulu dengan berbagai pihak termasuk dalam proses budgeting untuk bisa mengeksekusi kebijakannya.
Dengan realitas seperti itu maka mustahil Anis akan bisa membebaskan wilayah Jakarta dari kebanjiran. Maksimal yang hanya bisa dilakukan adalah meminimalisir dan sedikit upaya memberi bantuan kepada para korban banjir. Karena tanpa sinergi dan dukungan dari semua pihak mustahil Anis bisa mengambil kebijakan yang radikal, misalnya melakukan penggusuran besar- besaran untuk normalisai sungai, melakukan pembongkaran besar-besaran terhadap pembangunan gedung-gendung yang mengabaikan amdal, atau menggusur gedung-gedung yang telah merusak tata ruang, atau melarang berat kepada masyarakat yang membuang sampah secara sembarangan. Bila langkah-langkah itu diambil pasti akan mendapat perlawanan hebat dari masyarakat.
Bahkan upaya radikal itu juga tidak pernah dilakukan oleh Gubernur-Gubernur DKI Jakarta sebelumnya seperti, Ahok, Jokowi, Foke bahkan Sutiyoso yang dikenal memiliki tangan besi. Kecuali Ahok yang melakukan penggusuran serta mengeruk sungai, yang sesungguhnya adalah program dari jaman Foke yakni JEDI, itupun ternyata tidak memperoleh hasil yang maksimal, terbukti ketika intensitas hujan tinggi, masyarakat di sekitar sungai yang telah dikeruk masih juga terkena banjir.
Melihat kondisi seperti itu, maka mengkritik secara berlebihan atau menyanjung dan membela Anis secara lebay adalah cara yang sama ideotnya. Bila kita ingin memasukan dua sikap itu sebagai bagian dari demokrasi, maka demokrasi harus tetap dibangun berdasarkan semangat kolektivitas dan bukan berdasarkan apatisme. Tetapi jika semua kritik dan sanjungan itu hanya alat untuk membungkus dan menutupi syahwat politik di 2024, yang satu hanya menjadikan sebagai sarana propaganda untuk menghancurkan popularitas serta menjegal Anis atau sebaliknya sebagai upaya untuk melambungkan popularitas politik, maka sesungguhnya itu adalah cara-cara yang idiot, karena bencana dijadikan kuda tunggangan politik, tanpa dibarengi dengan hasrat untuk menemukan solusi banjir yang sesungguhnya.
Bahkan secara terang-terangan para pejabat yang memiliki afiliasi poltik yang berbeda melakukan perang terbuka dengan saling menyalahkan. Sehingga mengindikasikan jika kendala politislah yang menghambat upaya untuk mengatasi banjir.
Maka jika kita ingin benar-benar terbebas dari banjir, semua stake houlders bisa duduk bersama dengan pikiran yang jernih termasuk melepaskan diri dari hasrat politik, bila perlu Anis dipaksa untuk melakukan presentasi cara mengatasi banjir.
Bila memang strategi yang dipersentasikan itu logis dan bisa diterima secara nalar, maka semua pihak harus memberikan dukungan tanpa reserve. Termasuk siap berkorban jika strategi itu akan mengganggu kepentingannya. Anis bisa disodori kontrak politik baru tentang kesanggupan untuk membebaskan DKI Jakarta dari bencana banjir. Jika kemudian terbukti tidak mampu baru bisa dilengserkan secara rame-rame.
Presiden pun bila perlu mengajak Gubernur DKI Jakarta untuk duduk bersama dengan DPR untuk membahas banjir itu, sehingga ada program pembebasan banjir yang jelas. Dan tidak menjadikan banjir sebagai jebakan batman bagi para pihak yang berpeluang untuk menjadi kontestan dalam ajang Pilpres 2024.***