Untuk mengusir hantu imperialisme dan kolonialisme, Soekarno mencoba menghimpun semua elemen yang ada dalam bangsa ini dengan melakukan eksperimen ideologi berupa sinkretisme dari tiga ideologi besar (trilogi) antara Nasionalisme, Islamisme dan Marxisme (NIM). Gagasan itu sempat dicurahkan Soekarno dalam bukunya Nasionalisme, Islamisme, Marxisme 1926 dan lahirnya gerakan Nasakom. Semangat persatuan Sorkarno yang terilhami dari gagasan kebangsaan Karl Renan dan Karl Kausky itulah yang akhirnya terbukti bisa membebaskan bangsa ini dari cengekaraman penjajahan yang telah berlangsung selama 3,5 abad, baik dari cengkeraman penjajah Belanda hingga Nippon (Jepang).
Tetapi Soekarno lupa jika ‘perkawinan tabu’ itu membutuhkan kelapangan berpikir untuk bisa menerima perbedaan yang sangat mendasar itu. Dan Indonesia tidak memiliki cukup banyak orang-orang yang seperti itu. Karena ‘perkawinan tabu’ itu ibaratnya menyatukan antara minyak dan air, sebab dalam trilogi Marxisme yang telah diuraikan oleh Allan Woods terdapat sebuah unsur yang menyusun Marxisme yang pernah dicetuskan oleh Frederich Angel dan Karl Marx yakni materialisme dialektik dan konon pernah membuat sebuah permis jika Tuhan itu ada karena dianggap ada. Walaupun Marxisme telah diterjemahkan oleh Lenin, sebagai sebuah metode perjuangan kelas, tetapi pandangan Frederich Angel yang berbau atheis itulah yang dibuat justifikasi oleh ideologi-ideologi mainstream dan kalangan agamawan jika Marxisme adalah ideologi ‘haram jadah’.
Perbedaan pandangan yang sangat mendasar itulah yang menjadi pemantik terjadinya perselisihan. Sementara dalam geopolitik internasional terjadi dua blok pemikiran besar yang saling berhadap-hadapan, antara Blok Barat (kapitalis) dan Blok Timur (sosialis/komunis). Karena terjebak dalam pertiakian dua blok besar itulah munculah tragedi G 30 S PKI. Sehingga sering memunculkan spekulasi jika CIA yang meminjam tangan Dubes Inggris Andrew Gilchrist berada dibalik aksi pemberontakan yang mengakibatkan ratusan ribu jiwa melayang itu. Pasca pemberontakan itu munculah pemimpin baru Indonesia yakni Soeharto. Pemimpin Orde Baru ini selama 32 tahun ini relative berhasil menjaga stabilitas politik dan salah satunya menggunakan ‘mantra sakti’ yakni ‘awas ada bahaya laten komunis/Marxis’. Tak jarang lawan-lawan politiknya diberangus menggunakan framing komunis/Marxis.
Pasca Soeharto ‘lengser keprabon’ muncul gerakan reformasi yang ingin mendekonstruksi ulang semua tatanan yang pernah dibuat oleh pemerintahan Orde Baru. Kebebasan itu telah diintrodusir melalui proses amandemen UUD 1945 serta pembuatan sejumalh UU baru. Salah satu yang paling menonjol adalah liberalisme politik dalam bentuk kebebasan membuat Ormas dan Organisasi Politik (Orpol). Liberalisme politik inilah menebar bibit-bibit sektarianisme dan radikalisme, meski selama masa tiga pemerintahan yakni Habibie, Megawati dan Gus Dur sebagai presiden pertikaian idelogi tidak terlalu kentara.
Dan lagi-lagi geopolitik internasional memberikan pengaruh yang signifikan, pasca redanya perang dingin antara Blok Barat dan Blok Timur setelah runtuhnya Uni Soviet serta munculnya Arab Spring yakni gerakan demokrasi di Jazirah Arab membuat pertentangan ideologi tidak memiliki patron yang jelas dan hanya berupa gerakan-gerakan kecil salah satunya adalah sekelompok kecil orang yang terobsesi dengan gagasan PAN Islamisme ala Jamaluddin Al Afghani. Gagasan Jamaludin ini pernah dituangkan dalam sebuah majalah, Al Urwat Al Wustho (Abad 19) yang ditafsirkan secara sempit oleh sekelompok orang.
Kelompok-kelompok inilah yang menginisiasi gerakan-gerakan radikal yang sempat diusung oleh Al Qaidah dan ISIS melalui tokohnya Osamma Bin Ladin serta Al Bagdadhi. Basis ideologi kelompok ini juga sangat dhoif (lemah) karena tidak memiliki rujukan idologi maupun sejarah yang jelas, sehingga kelompok ini bisa dikatakan sebagai kelompok yang memiliki motif ekonomi ketimbang penegakan ideologi (khilafah). Apalagi tokoh-tokoh ini juga lahir secara ujug-ujug, bahkan memunculkan spekulasi jika mereka adalah bagian dari kontra intelejien. Yang dimunculkan untuk menciptakan instabilitas sekaligus bias dijadikan rujukan untuk memproduksi framing.
Pergumulan ideologi itu muncul dominan ketika era Pemerintahan SBY, apalagi setelah muncul peristiwa serangan terror yang tragis yakni Bom Bali I dan II dan ternyata para pelaku yang berhasil ditangkap itu adalah mantan anak didik tokoh-tokoh yang pernah lari dari kejaran Soeharto yakni Abdulah Sunkar dan lain-lain. Mereka diantaranya adalah Noordin Top dan Dr Azahari. Gerakan-gerakan radikalisme ini sekalipun terus bergerak secara spartan dan melakukan metamorfose tetapi ini relatif kecil dan tidak memiliki basis ideologi yang jelas.
Artinya masyarakat harus tetap waspada tetapi tidak perlu terlalu panik dan terus memproduksi framing, jika setiap gerakan intelektual Islam selalu berpotensi untuk mengarah terjadinya perubahan khilafah. Apalagi partai Organisasi Ikhwanul Muslim di Mesir yang sering dijadikan patron telah resmi dibubarkan . Sementara bila kita melakukan kalkulasi politik di Senayan peluang terjadinya perubahan secara konstitusional itu terlalu kecil. Mayoritas Parpol yang berada di Senayan itu memiliki ideologi nasionalis. Sementara bila sekelompok kecil orang itu ingin melakukan perubahan secara inskontitusional, pasti lembaga intelejien negara dan militer pasti akan segera bergerak.
Maka bila era Soekarno itu memiliki momok berupa kolonialisme, imperialisme, Soeharto momoknya komunisme, dan SBY adalah radikalisme, kini hantu yang nyata-nyata kita hadapi adalah hantu framingisme. Yakni hantu berupa sikap saling menuduh dan saling mencurigai hanya berdasarkan setitik fakta yang kemudian dipelintir menggunakan asumsi-asumsi yang sesungguhnya hanya untuk kepentingan segelentir kelompok. Sehingga sudah saatnya hantu framingisme yang mengatakan ini kelompok yang pro komunis dan yang itu adalah kelompok yang pro khilafah itu harus dihentikan secara bersama-sama.
Setidaknya bila kita mengklaim sebagai seorang nasionalis sejati, maka kita harus saling rangkul dan menghilangkan sikap saling curiga meski tetap waspada terhadap kemungkinan serangan dari luar seperti halnya doktrin nasionalismenya Andrea Andres Gellner. Hal itu yang pernah dilakukan oleh Soekarno dengan melakukan ‘perkawinan tabu’ antara dua dua ideologi besar yang berbeda antara islamisme dan komunisme, meski mendapat perlawanan hebat tetapi Soekarno tetap kekeuh. Jadi musuh kita yang nyata saat ini, bukan komunisme yang telah bermetamorfose atau radikalisme yang menyusuf melalui isu khilafah, tetapi adalah dunguisme dan framingisme.*