Dalam persepektif historis sebuah klan menguasai pemerintahan itu adalah hal yang lumrah. Mulai dari jaman kerajaan-kerajaan hingga negara-negara yang menganut sistem demokrasi, dinasti politik masih sering terjadi. Sebutlah klan Gandhi yang menguasai India, klan Bhuto yang mendominasi Pakistan, Bush di Amerika, Aquino di Philipina, hingga Soekarno di Indonesia. Maka bila kini muncul isu dinasti politik terkait pencalonan kerabat pejabat di beberapa Pilkada seperti Pilwakot Tangsel yang melibatkan putri Wapres, KH Ma’ruf Amin, serta Pilwakot Solo yang melibatkan putra Presiden Jokowi, adalah sebuah polemik dan diskursus yang tidak cerdas sekaligus tidak produktif.
Seperti diketahui bahwa hak untuk dipilih maupun memilih merupakan hak politik sertiap warga negara (citizen’s rights) atau hak-hak konstitusional warga negara (the citizen’s constitusional rights) yang telah diratifikasi sesuai dengan Pasal 21 Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia (Duham). Hak memberikan suara atau memilih (right to vote) merupakan hak dasar (basic right) setiap individu atau warga negara yang harus dijamin pemenuhannya oleh negara.
Hak politik warga negara itu mencakup hak untuk memilih dan dipilih, penjaminan hak dipilih itu secara eskplisit telah tersurat dalam UUD 1945 mulai Pasal 27 ayat (1) dan (2); Pasal 28, Pasal 28D ayat (3); Pasal 28E ayat (3).56 Sementara hak memilih juga diatur dalam Pasal 1 ayat (2); Pasal 2 ayat (1); Pasal 6A ayat (1); Pasal 19 ayat (1) dan Pasal 22C ayat (1) UUD 1945. Perumusan pada pasal-pasal tersebut sangat jelas bahwa tidak dibenarkan adanya diskriminasi mengenai ras, kekayaan, agama dan keturunan.
Berdasarkan ketentuan itu, maka secara konstitusional hak dipilih maupun memilih merupakan hak yang mutlak dimiliki oleh setiap warga negara, sepanjang memenuhi syarat-syarat subyektif, misalnya telah berumur 17 tahun keatas serta memiliki kondisi kejiwaan yang sehat. Syarat yang paling penting adalah memenuhi syarat-syarat administratif misalnya harus didukung dengan nilai tertentu tergantung daerah masing-masing.
Sesuai dengan ketentuan KPU, syarat minimal dukungan calon kepala daerah jalur perseorangan berbeda-beda tiap daerah. Angka syarat minimal dukungan dihitung dari jumlah Daftar Pemilih Tetap (DPT) masing-masing wilayah. Untuk pemilihan calon gubernur dan wakil gubernur, di daerah dengan jumlah DPT 0-2 juta, maka syarat minimal dukungan sebesar 10 persen. Di daerah dengan jumlah DPT 2-6 juta, syarat minimal dukungan sebanyak 8,5 persen. Daerah dengan jumlah DPT 6-12 juta syarat minimal 7,5 persen, dan 6,5 persen untuk daerah dengan jumlah DPT lebih dari 12 juta.
Syarat dukungan tersebut haruslah tersebar di lebih dari 50 persen jumlah kabupaten/kota di provinsi tersebut. Sementara itu, untuk pemilihan calon bupati dan wali kota, daerah dengan jumlah DPT 0-250.000, syarat minimal dukungannya sebesar 10 persen. Di daerah dengan jumlah DPT 250.000-500.000, syarat minimal dukungan sebanyak 8,5 persen. Daerah dengan jumlah DPT 500.000 - 1 juta syarat minimalnya 7,5 persen, dan 6,5 persen untuk daerah dengan jumlah DPT lebih dari 1 juta. Syarat dukungan tersebut haruslah tersebar di lebih dari 50 persen jumlah kecamatan di kabupaten/kota yang bersangkutan. Sementara untuk calon yang berasal dari jalur partai setidaknya harus mendapat dukungan beberapa partai yang memperoleh kursi di badan legislative.
Apabila berbagai persyaratan administrasi itu telah dipenuhi oleh setiap calon, maka persoalan terbesarnya adalah kemampuan calon pemilih untuk menilai syarat-syarat kualitatif yang dimiliki oleh setiap calon. Misalnya tentang kapabilitas, integritas, aksebilitas sekaligus harus mampu mengesampingkan isi tas. Apabila masyarakat pemilih memang memiliki komitmen untuk menciptakan cleans and good governances. Karena sekali mentotelaransi praktek money politic, maka pemilih telah menggadaikan masa depan daerahnya sendiri, sekaligus menjaga tradisi korupsi.
Untuk menakar kapabilitas sang calon, masyarakat pemilih harus kritis dalam menilai visi dan misi sang calon selama masa kampanye. Apakah program yang ditawarkan itu rasional atau tidak serta berorientasi untuk mensejahterakan rakyatnya atau tidak. Sekaligus masyarakat harus mampu menelisik kadar kapabilitas dan integritas berdasarkan track reccord yang dimiliki sang calon. Apakah memang benar-benar telah teruji atau hanya semata-mata mengandalkan nama besar orang tuanya atau engkongnya. Maka bila masyarakat pemilih telah mampu bersikap kritis dan berpikir cerdas, isu politik itu akan menjadi dagangan politik yang basi.***