Agama secara umum baik agama samawi (agama langit) maupun agama ardhi (agama bumi) menurut Emile Durkheim adalah sebuah sistem terpadu yang berdasar keyakinan. Sehingga menurut Max Muller maupun Cicero keyakinan terhadap agama bisa menumbuhkan keshalehan serta ketekunan. Atas keyakinan itulah munculah sugesti yang bisa menjawab kebutuhan trasendental manusia, akan dzat yang sangat maha yakni Tuhan YME, maka jiwa manusia akan menjadi tenang bila mengingatnya. Karena agama telah memberikan jawaban itulah setiap individu akan berusaha untuk membela keyakinannya, sebagai perwujudan dari ketekunan dan keshalehan itu.
Keyakinan atas agama yang diyakini akan melahirkan militansi. Apalagi setiap agama pasti menjanjikan sebuah pahala bagi orang-orang yang mau membela agamanya. Militansi atas keyakinan agama inilah yang secara sarkas disindir oleh Karl Marx sebagai candu atau racun. Karena dengan militansi itulah sering timbul pertikaian horizontal karena menimbulkan benturan dengan militansi atas keyakinan yang berbeda. Dalam budaya demokrasi, tidaklah elok bila kita menyinggung agama dan keyakinan orang lain yang tentu memiliki cara inteprestasi yang berbeda atas keyakinannya itu. Apalagi itu merupakan ranah privat.
Tetapi yang jelas agama meruapakan sebuah system yang lengkap baik dan system nilai, system sosial, system politik dan system hukum. Sehingga kehadiran agama terutama agama samawi bias menjadi cahaya penerang di era kegelapan (jahiliah), sehingga perilaku setiap individu menjadi lebih tertata dengan sistem nilai dan sistem hukum yang dibawa oleh agama. Agama menjadi standar moral baru bagi masyarakat yang sebelumnya bertindak barbar.
Tetapi tulisan ini hanya menyinggung tentang fungsi agama yang bisa menjawab kebutuhan traseden manusia itu mulai tergeser oleh kehadiran media sosial (medsos), yang bisa menawarkan kegembiraan dan halusinasi sesaat. Kini nyaris setiap orang memanfaatkan medsos untuk aktualisasi diri, bahkan penggunaan medsos telah mengalahkan aktifitas ritual manusia dalam menjaga hubungannya dengan Tuhan (hambluminnalah), seperti menjalankan ibadah baik ke masjid, gereja maupun tempat ibadah-ibadah lainnya.
Hampir setiap orang selalu asyik menggunakan medsos untuk menjaga hubungannya dengan manusia lainnya (hablumminannas) meski hanya sebatas di dunia maya, meski tak jarang masing-masing telah memiliki pasangan yang resmi. Yang lebih ironis, medsos tak hanya sekedar untuk menjalin silturahmi tapi lebih sekedar dari itu medsos telah menjelma menjadi messenger (penyampai pesan) yang dijadikan sebagai acuan dan tuntunan.
Tragisnya, banyak yang zonder muasabah atau verifikasi terlebih dahulu, tentang kebenaran sebuah informasi. Maka fenomena hoax menjadi sebuah kelaziman, karena ketidak mauan untuk verifikasi serta ketidak mampuan menginteprestasi. Bahkan tak jarang banyak pihak-pihak yang menggunakan hoax (ghibah) justru untuk menyerang dan mendiskreditkan kelompok lain. Terutama kelompok- kelompok yang berbeda afiliasi politiknya. Kini muncul kondisi social yang sangat paradoks, muncul militansi baru yang berbasis dari informasi yang keliru. Semua informasi yang belum tentu kebenarannya itu digunakan untuk menyerang kelompok lain.
Fenomena munculnya perselingkuhan, persekusi hingga konflik horizontal yang bermula dari isu di medsos menjadi marak sekaligus menjadi parameter jika bangsa ini tengah mengalami gegar budaya (shock culture). Bila fenomena ini tidak segera disikapi, maka dekadensi moral yang bisa mendatangkan kehancuran bangunan rumah tangga serta bangunan rumah kebangsaan sudah berada di pelopok mata.
Energy bangsa ini nyaris habis terkuras hanya untuk mengurusi fitnah yang berasal dari medsos. Bahkan bangsa ini nyaris berada di tubir perpecahan juga karena medsos. Mengajari bangsa ini agar dewasa dalam mepergunakan medsos pasti membutuhkan waktu dan proses yang panjang. Maka apakah para pemimpin kita mau bertindak radikal dan tidak popular untuk membatasi pengggunaan medsos seperti halnya yang dilakukan oleh China dan Iran ?. Sehingga bangsa ini tidak diracuni oleh medsos dengan informas-informasi yang menyesatkan sekaligus mengancam persatuan dan kesatuan bangsa.***