a a a a a a a a a a a
logo
Tentang KamiKontak Kami

Hukum Dalam Tafsir Hegemoni Kekuatan

Hukum Dalam Tafsir Hegemoni  Kekuatan
Ilustrasi
Oleh : Gugus Elmo Ra’is

Etika pergaulan internasional sepeninggal Ir. Soekarno sebagai pengagas Gerakan Non Blok serta  pasca meredanya perang dingin antara Blok Barat dan Blok Timur nyaris hilang. Tata krama hubungan multansional dengan bahasa moral  sesuai dengan Pasal 53 Vienna Convention on The Law of Treatis 1989 (VCLT) yang  lahir setelah Wimbeldon Case 1923  dan menjadi konvensi dalam bentuk  Jus Cogens tak ubahnya  seperti standar moral yang simbolik. Dalam berbagai kasus seperti, krisis Palestine, Rohingya di Myanmar, krisis Suriah, invasi pasukan multinasional terhadap Iraq, semua lembaga yang memiliki ototitas untuk menterjemahkan sekaligus mengimplementasikan Jus Cogens seperti The Permanent Court of Internasional  Justice (PCI) yang menjadi ICJ juga tak berdaya.

Semua lembaga internasional itu seakan tidak memiliki taji ketika harus berhadapan dengan hegemoni Amerika Serikat yang secara leluasa menjadi global corp (polisi dunia) secara sendirian. Interprestasi hukum internasional  diterjemahkan dengan senak hatinya. Apalagi sesuai dengan konstitusi yang dimilikinya, Amerika menganut faham  monisme primat hukum internasional  yang artinya  norma-norma hukum yang  mereka miliki yang merupakan warisan dari Lord Denning serta William Black Stone itu menjadi norma hukum  universal yang bisa diterapkan secara internasional.

Maka tak mengherankan bila dalam politik luar negeri Paman Sam itu sering bersikap tengil dan kepo terhadap urusan domestik negara lain. Tak jarang Paman Sam itu mengancam negara lain menggunakan kekuatan militernya yang hegemonik, bila suatu negara lain tidak mau patuh dan tunduk terhadapnya. Dulu saya sempat berkirim surat ke Gedung Putih  terkait alasan embargo militer terhadap Indonesia. Nicholas Burn, Atase Pers Gedung Putih kala itu  sempat menjawab jika embargo militer itu diberlakukan terkait dengan adanya dugaan pelanggaran HAM oleh militer di Timor Timur.   

Tragismya, seperti tesis Hans J Morgentahu dalam bukunya Truth and Power , “Tindakan negara-negara maju itu ditentukan bukan oleh prinsip-prinsip moral  dan komitmen hukum tetapi pertimbangan kepentingan dan kekuasaan” . Bahkan Waltz secara sarkas menunding jika negara-negara maju itu tidak mampu menggunakan pertimbangan moral dalam menjalankan politik agresinya. Sehingga tidak mengherankan bila munculnya hipotesa jika banyak negara-negara maju yang menggunakan double standar (standar ganda) dalam menjalankan politik luar negerinya.

Hal itulah yang mengakibatkan beberapa negara tidak mau mengusik kekuatan negara lain yang tidak memiliki hubungan ekonomi secara langsung apalagi bisa memberikan impact secara ekonomi apabila negara-negara itu akan melakukan invasi ke negara lain. Sebutlah munculnya diplomasi opera sabun antara Amerika dengan pemimpin Korea Utara, Kim Jong Un yang terindikasi mengembangkan intalasi nuklir. Karena secara ekonomi isu Korut tidak memberikan impact ekonomi secara signifikan. Diplomasi gertak sambal itu jika dilakukan Paman Sam kepada beberapa negara lain seperti Kuba, Venezuela bahkan Amerika terkesan ogah menyikapi isu genoside yang terjadi di Myanmar terhadap suku Rakhine.

Kondisi itu akan sangat berbeda apabila menghadapi negara-negara yang memiliki hubungan ekonomi secara langsung dengan Amerika. Sebutlah betapa antusiasnya George  W Bush  melakukan agresi militer ke Iraq yang telah dituduh melakukan invasi ke Kuwait serta mengembangkan persenjataan kimia. Secara menggebu-gebu Amerika berusaha meyakinkan sekutunya yang tergabung dalam pasukan multinasional  agar berpartisipasi untuk menggempur Iraq yang nota bene memiliki cadangan minyak yang sangat besar.  

Bahkan secara tidak langsung Amerika telah berhasil menancapkan pengaruhnya secara kuat ke mitra utama koalisinya yakni Arab Saudi yang memperbolehkan wilayahnya menjadi pangakalan militer Amerika untuk menggempur pasukan Saddam Hussain. Dan eksesnya terbukti, senjata Amerika buatan pabrikan Amerika seperti Rudal Tomahwak laris manis seperti kacang goreng. Terutama oleh Arab Saudi yang tidak ingin hegemoninya di kawasan itu hilang.

Krisis teluk saat itu menjadi ajang promosi gratis kemampuan senjata buat Amerika yang nota bene mulai tidak laku lagi, karena menculnya negara-negara penghasil senjata yang canggih termasuk Indonesia melalui PT Pindad. Itulah kecerdikan Amerika yang selalu menyelundupkan kepentingan ekonomi dibalik aksi-aksi militer maupun diplomatik dengan argumentasi untuk menegakkan hukum internasional. Sehingga tak jarang jus cogens hanya dijadikan topeng untuk kepentingan ekonomi mereka. ***
Opini Hukum Dalam Tafsir Hegemoni  Kekuatan