a a a a a a a a a a a
logo
Tentang KamiKontak Kami

Jangan Jadikan Hak Prerogatif Sebagai Basa-Basi Politik

Jangan Jadikan Hak Prerogatif Sebagai Basa-Basi Politik
KPU teteapkan Jokowi=KH Ma'ruf sebagai presiden dan wapres terpilih
Oleh : Gugus Elmo Ra’is

Pasca Pilpres serta penyelesaian sengketa Pilpres 2019 di Mahkamah Konstitusi (MK) yang dramatis dan menguras energi, kini secara definitif Bangsa Indonesia memiliki pemimpin baru yakni Ir. Joko Widodo dan KH. Ma’ruf Amin. Hal itu setelah Komisi Pemilihan Umum (KPU) menetapkan pasangan nomor 01 itu  sebagai pemenang Pilpres 2019 dengan perolehan suara, 55,50%. Bersyukur, semua pihak legowo menerima hasil akhir Pilpres yang sempat membelah Bangsa Indonesia menjadi dua kelompok yang saling berhadap-hadapan itu.     

Setelah fase yang menegangkan itu terlewati, kini fase baru menanti dengan tingkat ketegangan yang mungkin berbeda, tetapi memiliki ‘kegaduhan’ yang tak kalah seru, yakni penyusunan kabinet dan pemerintahan baru. Dengan sistem pemerintahan presidensial, maka seorang presiden memiliki kekuatan yang ‘sakti madraguna’ yakni hak prerogatif. Menurut definisi penulis, Declaration of Indepence, Thomas Jefferson, hak prerogatif  adalah  kekuasaan yang langsung diberikan oleh kontitusi (power granted him directly by constitution).

Dalam konstitusi kita hak prerogatif itu telah diatur dalam Pasal 10-17, UUD 1945. Kekuasaan tertinggi presiden atas Polri, AD, AU,AL telah diatur dalam pasal 10, kekuasaan menyatakan perang serta damai diatur dalam pasal 11, hingga kekuasaan atas lembaga yudikatif yang diatur dalam pasal 14, semua hak itu melekat dalam diri seorang Presiden RI. Tetapi penggunaan hak prerogatif  yang berpotensi menjadi sorotan sekaligus memunculkan peluang terjadinya kegaduhan politik adalah penggunaan hak prerogatif dalam pengangkatan menteri-menteri sebagai pembantu presiden sebagaimana diatur dalam Pasal 17 UUD 1945.

Secara normatif pemberian hak oleh konstitusi itu tidak akan disalah gunakan oleh presiden senyampang fungsi pengawasan cek and balance dari parlemen berlaku efektif, apalagi posisi dua lembaga tinggi negara itu adalah neben (bisa sama). Tetapi yang terjadi di negeri ini justru berlaku sebaliknya, presiden justru tidak leluasa menggunakan hak prerogatifnya terutama dalam proses pembentukan pemerintahan dan kabinet.

Dalam menentukan susunan kabinetnya, presiden selalu terjerat oleh sistem Pemilu sebagai sebuah tahapan yang harus dilaluinya sebelum ditetapkan menjadi seorang presiden. Dengan sistem Pemilu yang multipartai, maka sangat sulit ada partai  yang memperoleh suara mayoritas, karena semua partai terutama partai aliran telah memperoleh segmen tersendiri sesuai dengan basis ideologi yang dimilikinya. Sehingga siapapun pemenang Pemliu, membangun koalisi adalah sebuah keniscayaan.

Ironisnya, Parpol di Indonesia memiliki tabiat yang khas dalam membangun koalisi. Proses koalisi tidak dibangun atas dasar kesamaan platform ala Huang Wa, tetapi lebih pertimbangan politik praktis dan horse trading (politik dagang sapi). Dengan bahasa, wani piro, setiap Parpol akan bersikap terbuka untuk diajak koalisi dengan partai lainnya. Tentu dengan berbagai konsesi yang telah disepakati. Tak mengherankan, bila  dunia politik di Indonesia seperti opera sabun, karena suatu ketika antar  kekuatan politik  itu saling bersitegang dan berhadap-hadapan, namun di waktu  yang lain saling bergandengan tangan dan  berbagi kekuasaan.

Lebih tragisnya, meski dibekali dengan hak prerogatif, seorang presiden selalu dibekali portofolio oleh partai-parti pendukung, berupa berapa jatah menteri dan lembaga yang mereka minta sebagai konsesi dukungan mereka dalam proses Pilpres. Artinya, siapapun presidennya akan selalu tersandera oleh kekuatan politik di belakanganya dalam proses penyusunan kabinet. Itupun juga belum terhitung konsesi yang harus diberikan oleh presiden terpilih, kepada partai-partai oposisi, agar mereka mau bergabung dengan pendukung pemerintah sekaligus tidak merecoki pemerintah dalam menjalankan program-programnya.

Fatsoen politik yang nyleneh itu memang sudah jamak terjadi dan hal yang lumrah dalam jagad politik nasional, selama para pihak itu bisa menggunakan amanahnya secara jernih dan profesional. Tetapi secara empiris masih menjadi pekerjaan rumah yang besar dan berat. Karena terpilihnya wakil partai dalam kabinet, masih sering dieksploitasi demi kepentingan partai dan kelompok. Sehingga tak mengherankan bila banyak menteri yang juga petinggi partai tertangkap OTT oleh KPK, karena terindikasi melakukan korupsi bersama kroni-kroninya. Sementara seorang presiden tidak bisa melakukan pendekatan profesional dalam memilih pembantunya, karena terlanjur terikat kesepakatan dengan para partai pendukung. ***
Opini Jangan Jadikan Hak Prerogatif Sebagai Basa-Basi Politik